Bayangan merah itu kembali muncul menghantuinya. Ia kali ini dapat merasakan dentuman keras yang terasa seperti nyata dan membuatnya nyaris mati. Seolah mendapat pelukan yang begitu erat, ia tidak dapat keluar dari mobilnya yang sudah tak terbentuk lagi.
Pelukan itu semakin nyata. Semakin membuatnya merasa nyaman dan tidak peduli bahwa dirinya masih berada di dalam mobil tersebut.
Ia menghirup napasnya dalam-dalam, seolah ia begitu tercandu dengan aroma di dekatnya.
“Maafkan aku.”
Bisikan itu seolah semakin mengeratkan pelukan di tubuhnya. Ia mengernyit. Lirihan itu begitu terdengar kecil, tulus, dan penuh rasa bersalah.
Perlahan, ia menoleh. Mengamati wajah si pemeluk tubuhnya yang terlihat samar, namun ia merasa mengenalnya.
Hingga gadis itu menampilkan senyuman... senyuman lugu yang selalu hadir di hari-harinya.
“SEINA!”
Napasnya terengah.
Mimpi itu lagi!
Ya, mimpi itu. Bayangan merah itu. Mengapa selalu menghampirinya?! Mengapa mimpi-mimpinya seolah membentuk sebuah petunjuk.
Petunjuk? Oh ayolah, memang apa yang telah Tristan perbuat?! Tristan hanya berdecak menanggapi pemikiran absurdnya tersebut.
Sebuah ketukan lembut menyadarkannya. Menyadari pintu kamar dikunci, ia lantas membuka pintu. Menampakkan sosok mungil berwajah polos di hadapannya.
“Ada apa, Seina?”
Tristan mengernyit. Bukan, bukan karena kehadiran Seina yang berdiri sambil meremas kedua tangannya gelisah di ambang pintunya. Terlebih karena dirinya sendiri. Oh, semoga Seina tidak menyadari nada bicaranya barusan yang terdengar begitu lembut.
“Kamu tidak apa-apa? Aku tadi mendengarmu berteriak, makanya aku bergegas kemari.” Kepolosannya membuat Tristan–tanpa disadari keduanya–menarik sudut bibirnya, membentuk seulas senyum.
Ah, ini sudah tengah malam, pantas saja Seina terlihat menggemaskan dengan piama Winnie the Pooh-nya. Belum lagi rambut yang sedikit berantakan, khas orang yang baru saja terbangun.
Tristan mencoba menahan senyumnya.
Oh ayolah! Kau baru saja mengganggu tidurnya! Tidakkah kau rela memberikan padanya seulas senyuman saja? Ini baru senyuman, Tristan. Bukan hal lain. Seina pasti senang bila kau tersenyum, menampakan kau memang baik-baik saja.
Tristan memang tersenyum. Senyuman yang menular pada Seina, hingga gadis itu ikut tersenyum polos tanpa tahu sebabnya.
“Tidak. Aku sedikit pusing,” ujarnya, berbohong.
Oh, s**t! Maki dirinya dalam hati.
Kenapa harus mengatakan hal itu?! Tristan meringis samar akibat tindakannya sendiri. Semoga Seina tidak menyadari kebohongannya!
Seina berdeham kecil, “Baiklah. Kamu butuh istirahat, ya? Aku akan menjagamu di luar yah.”
Tubuh kecil itu berlalu. Dan ini sanggup membuat Tristan menahan geraman yang begitu ingin ia lepaskan agar Seina berhenti melangkah!
Oh, siapa yang tengah bermain-main saat ini?!
Tristan yang bahkan dulu tidak pernah menginginkan Seina berada di rumahnya, kini benar-benar harus menelan ludahnya sendiri. Ia selalu ingin berada di dekat gadis itu! Hey, semua orang pasti berubah, oke? Terimalah pemikirannya yang sudah berubah.
Tristan menghela napasnya. Benar apa kata Dini, perasaannya terhadap Seina pasti akan muncul perlahan, sedikit demi sedikit. Ah, atau mungkin perasaannya kembali muncul, mengingat Seina adalah tunangannya?
Ya, mungkin seperti itu.
***
“Apa kamu suka keju?” Seina mengangkat roti sobek di tangan kanannya. “Atau cokelat?” kembali ia mengangkat tangan kirinya.
“Cokelat.”
Dengan patuh, Seina mengangguk lantas memasukan roti tersebut ke dalam keranjang trolley.
Tristan yang menjalankan keranjang beroda itu, tidak bisa melepaskan pandangannya dari Seina yang tak henti-hentinya berjalan, berpindah-pindah mencari kebutuhannya.
Pasar modern di hari Minggu ini memang tidak sedikit yang ingin berbelanja memenuhi kebutuhannya. Tristan agak khawatir dengan kondisi ini. Oh, tidak. Dirinya tidak mempermasalahkan para keluarga yang ingin berbelanja memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun bulanan mereka, namun dirinya hanya sedikit—ah, ralat! Begitu khawatir dengan Seina yang sejak tadi terlihat tak seimbang, terhuyung-huyung berjalan, bahkan nyaris terjatuh kalau saja gadis itu tidak sigap segera memegang apa pun di dekatnya.
Shit! Tristan ingin sekali menghampirinya, berada di sisi tubuh kecil itu upaya memberinya perlindungan. Oh, s**l! Bahkan hingga detik ini, Tristan hanya bisa menahan geraman kuatnya saat seorang ibu-ibu berbadan gembul menyenggol bahu Seina hingga gadis itu benar-benar limbung dan terjatuh.
Persetan dengan gengsinya! Dengan langkah panjang ia menderap, menarik kedua tangan Seina ke dalam pelukannya. Membuat seluruh mata di sana memandang keduanya dengan tatapan iri dan bahkan tersentuh karena perlakuan Tristan begitu tahu gadisnya tersungkur di lantai...
Tunggu... gadisnya? Lupakan.
Ia hanya takut Seina terjatuh kembali, dengar?
***
Seina menggeliat sebelum akhirnya ia membuka kedua matanya. Ia mengernyit mengamati interior kamarnya yang berbeda. Begitu dingin namun terlihat maskulin. Ia tidak ingat bagaimana ia bisa sampai di kamar ini. Hal terakhir yang dia ingat adalah mereka baru saja pulang berbelanja dan ia tidak bisa menahan kantuknya di mobil.
Seseorang membuka pintu kamarnya, membuat dirinya kontan terduduk lantas tersenyum pada Tristan yang membawa sebuah mangkuk sup di tangannya.
Tristan?! Oh, Tuhan. Ia baru menyadari di mana dirinya sekarang!
Diam-diam Seina melirik bantal serta selimut Tristan yang dikenakannya. Matanya mengamati dengan detail, apakah tadi ia membuat danau dari mulut kecilnya? Semoga tidak.
“Aku menidurkanmu di kamarku karena kamu mengunci kamarmu, dan aku tidak tahu di mana kamu menyimpan kuncinya.”
Shit s**t s**t! Apa kamu tidak memiliki kosa kata yang lebih pantas, Tristan?! Selain “menidurkanmu”, terkesan begitu... aih! Tristan terlalu gengsi untuk meralat ucapannya. Seolah ia telah memegang teguh prinsip bahwa “Tristan Rivandhi tidak pernah salah!” Ya Tuhan.
Seina tersenyum, “Aku minta maaf, Tristan.”
“Ini, aku buatkan krim sup jagung. Mungkin tidak senikmat buatanmu, tapi kuyakin kamu akan menyukainya.”
Tristan meletakan mangkuk tersebut di atas nakasnya. Tersenyum simpul sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Seina yang menahan debaran kencang di jantungnya.
Jemari kecil nan lentiknya, meraih dan meletakan mangkuk tersebut di atas pangkuannya. Seina tidak mengerti apa saja bahan-bahan yang Tristan padukan agar menjadi sup jagung yang begitu nikmat dengan krim lembut begitu terasa di mulutnya.
***
Tristan mengamati Seina tanpa disadari gadis itu. Sejak masuk ke mobil, pandangan Seina selalu tertuju pada pemandangan di luar jendela, membuat lelaki itu bisa dengan leluasa mengambil kesempatan untuk merasa puas karena melihat wajah polosnya.
Ini adalah hari pertama ia benar-benar kembali lagi ke restorannya. Setelah pernyataan akan kesembuhannya yang disahkan oleh dokter beberapa hari lalu, memantapkan dirinya untuk bermain lagi ke restorannya.
Serta mengajak Seina untuk kali pertamanya.
Oh, benarkah kali pertamanya? Entahlah, Tristan tidak mengingat apa pun. Namun, begitu mereka sampai di restoran, semua karyawannya mengenal Seina, dan ini membuat Tristan semakin yakin kalau Seina memang benar tunangannya.
“Tristan, boleh aku bergabung memasak di dapur?” tanya Seina dengan mata membulat, gemas.
Tristan tersenyum simpul, “Apa pun yang kamu mau.”
Dengan bertepuk tangan kecil, Seina menghampiri beberapa chef di dapur luas nan bersih tersebut dengan riang gembira. Tristan tersenyum mengamati Seina yang begitu senang melihat chef Duno yang tidak jarang mengeluarkan api besar yang menari-nari di penggorengannya dengan lihai, seolah gadis itu tengah menikmati permainan sirkus.
Getaran ponsel di sakunya membuat Tristan reflek berjalan keluar dari dapur dan mengangkatnya.
“Tristan, kamu di mana?”
Tristan mengernyit mendengar suara Dini yang terkesan terburu-buru. “Di restoran.”
“Aku mohon kembalilah pulang. Biar aku saja yang memeriksa keadaan restoranmu.”
“Dokter mengatakan bahwa aku sudah sembuh total. Lalu apa lagi alasanmu melarangku memasuki restoranku sendiri?” geram Tristan dengan intonasi tinggi tertahankan.
Hening sesaat, lantas sambungan terputus.
Shit! Ada apa dengan Dini sebenarnya?!
Tidak begitu mempedulikan, Tristan berniat menghampiri Seina lagi di dapur. Namun, sebelum langkahnya sampai di ambang pintu, seorang pelayan dengan sopan memanggilnya.
“Maaf, Pak Tristan bila saya lancang. Tapi, nona di meja nomor 13 itu terus menerus meminta saya memanggil pemilik restoran ini, Pak.”
Tristan tersenyum simpul seraya mengangguk lantas menghampiri meja nomor 13, dimana seorang gadis dengan rambut panjang bergelombang berwarna kemerahan yang menempatinya, memunggunginya.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?”
Gadis itu menoleh. Menampilkan sorot tak terbaca dari mata kucingnya. Membuat Tristan tanpa sadar tertegun membeku karena sesuatu yang tidak diketahuinya. Sesuatu yang sepertinya terasa hilang, kini telah kembali.