Dini mempercepat langkahnya. Ia harus sampai ke restoran Tristan, sebelum perempuan iblis itu kembali meracuni memori adiknya!
“Oh, Seinnaaa!” keluh Dini penuh penekanan.
Di saat seperti ini, Seina malah tidak mengangkat teleponnya?! Seharusnya gadis itu tahu dan peka bahwa Teressa tengah mengancam masa depan Tristan dengan gadis po—hhh, yah baiklah. Ia baru menyadari, bahwa gadis polos itu tidak akan peka dan membuat Teressa bisa dengan mudahnya menghancurkan keduanya kembali.
Dengan terengah, ia membuka pintu restoran yang langsung disambut oleh beberapa pegawai. Tanpa mengacuhkannya, Dini berjalan menuju ruangan Tristan yang terletak di lantai 3 bangunan tersebut. Ia tahu, Tristan tidak sebodoh itu untuk berbicara seserius ini dengan pelanggannya di tempat terbuka. Tristan pasti tidak ingin para pelanggannya yang lain atau bahkan wartawan yang tengah iseng, menangkap pembicaraan mereka.
Oh, Tuhan. Bila Teressa memang benar akan mengembalikan memori masa lalu Tristan, setidaknya biarkan dirinya menyelamatkan Seina dari situasi ini. Ia teramat tahu, Tristan tidak bisa terima dibohongi. Ia akan membenci, menggertak, bahkan melakukan hal-hal tak terduga.
Apalagi kebohongan sebesar ini?! Tamatlah riwayatmu, Dini.
Dini membuka pintu ruangan Tristan dengan tangan gemetar. Namun, bukan Teressa yang didapatinya. Melainkan Seina. Gadis mungil itu tengah duduk di atas sofa panjang nan empuk, seraya memeluk kepala Tristan yang berada di atas kedua pahanya. Seina mendekap kepala lelaki itu dengan hangat. Usapan-usapan lembut di rambut Tristan, membuat Dini yakin, itulah yang membuat adiknya kini terlihat tertidur begitu nyaman.
Seina tidak menyadari kehadirannya. Dunianya seperti terlalu fokus pada Tristan dalam dekapnya. Dan sebaiknya, Seina tidak perlu mengetahuinya. Setidaknya, Teressa tidak mengganggu kedua adiknya, bukan?
Dengan senyum, perlahan ia menutup pintu ruangan Tristan lantas berlalu.
***
Seina menghapus air matanya yang terjatuh di atas kening Tristan. Dengan begitu lembut, usapannya kini beralih pada rambut tebal lelaki itu.
“Maaf,” lirihnya seraya mengusap pipi Tristan dalam dekapnya. Napas Tristan sudah kembali teratur setelah kejadian tadi.
Bodoh! Seina Bodoh!
Bisa-bisanya ia asyik memasak di dapur dengan para koki lainnya, sementara Tristan tanpa disadarinya tengah berbicara dengan Teressa! Oh, demi Tuhan, siapa pun gadis itu, Seina mohon untuk tidak kembali datang dan membuat Tristan jadi seperti ini.
Mendengar kegaduhan para pegawai, Seina berlari menghampiri Tristan yang tengah kesakitan seraya memegang kuat kepalanya. Tristan tanpa sengaja mencengkram kuat lengan Seina hingga membiru. Seina tidak meringis, tapi dirinya menangis melihat Tristan seperti itu! Ia tidak bisa. Ia tidak sanggup melihat Tristan sakit. Beberapa pegawai membantu memapah Tristan kembali ke ruangannya.
Tristan berdeham kecil, membuat Seina tersadar dari lamunannya dan melihat wajah Tristan di dekapnya yang kini berangsur normal.
Apa benar soal Teressa itu? Apa benar semua yang dikatakan Dini bahwa Teressa datang untuk kembali merebut Tristan menjadi milik gadis itu? Mengambil Tristan darinya, setelah selama ini ia yang setia merawat dan menemani Tristan ketika lelaki itu sakit?
Yah, memang itulah seharusnya karena ia-lah penyebab kecelakaan tersebut!
Tristan mengambil posisi duduk di sampingnya, membuat Seina mau tak mau merasa sedih karena sepertinya ia tidak akan bisa memeluk Tristan lagi.
“Ada apa, Seina?”
Suara lembut itu membuatnya mengernyit samar. Wajah Seina yang begitu polos tanpa garis maupun kerutan sedikit pun, membuat dirinya bahkan terlihat seperti tidak sedang mengernyit.
Tidak tahu apa yang harus diucapkan, Seina hanya menggeleng. Namun air matanya tiba-tiba saja menetes, membuat Tristan semakin bingung. “Hey, ada yang salah? Jangan menangis, Seina.” Tristan meraih tubuh kecil itu dalam dekapnya.
“Kamu tidak mengingatnya?” tanya Seina, di sela sesegukkannya.
“Soal apa?” telapak tangannya tak berhenti mengusap punggung Seina.
“Tadi ada perempuan cantik yang datang ke sini, berbicara padamu, Tristan. Apa kamu tidak mengingatnya?” Seina menjauhkan punggungnya sedikit untuk membalas tatapan Tristan padanya. “Kamu merintih kesakitan, aku sedih karena itu.”
Ucapan polos Seina yang menyatakan “aku sedih karena itu” membuat Tristan tanpa sadar mencium kilat bibir mungil Seina. Gadis itu hanya dapat mengerjap-ngerjap dibuatnya.
Tristan tersenyum lembut, mengelus pipi Seina, lantas menangkup wajah mungil dalam telapak tangannya yang terasa besar untuk Seina.
“Aku tidak tahu, Seina. Tapi dia menceritakan bagian-bagian cerita yang membuat otakku memutarkan sebuah memori. Tapi aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Otakku terasa berhenti bekerja, kepalaku seakan mati rasa saat itu. Dia tidak memberitahu namanya, apa kamu mengenalnya, Seina?”
Seina menelan ludah sebisa mungkin. Ia tidak mengenal perempuan itu secara pribadi. Seina hanya tahu dari Dini kalau gadis itu bukan pengaruh yang baik. Dan Seina tidak ingin Tristan terluka.
“Aku... tidak,” ujarnya terdengar ragu, untungnya Tristan tidak menyadari hal itu.
“Yah, tapi wajah gadis itu terasa tidak asing untukku. Dan dia sepertinya benar-benar mengenalku, walaupun tatapannya seakan tidak bersahabat.”
“Tristan, bisa kamu tidak membicarakan gadis itu? Aku agak tidak menyukainya,” tegur Seina polos.
Oh akuilah, ia memang cemburu mendengar kata-kata Tristan yang ditujukan pada Teressa, namun sesungguhnya ia juga menghindari topik “gadis bernama Teressa” ini dalam percakapan keduanya.
Tristan tersenyum, “Kamu cemburu?”
“Manis sekali, Seina.” Tristan menunjukkan senyum mautnya yang membuat Seina terasa tercekik. “Baiklah, kamu ingin pulang? Karena sepertinya aku sudah tertidur beberapa lama tadi. Aku takut kamu merasa bosan di sini.”
“Aku tidak bosan, tapi, yah, memang aku ingin beristirahat di rumah.”
***
Rumah...
Seina mengucapkannya seolah rumah tersebut adalah rumah mereka. Untuk keluarga kecilnya. Tristan lagi-lagi tersenyum. Oh, berapa kali hari ini ia tersenyum untuk Seina? Ingatkah dulu bahwa ia jarang sekali bahkan tidak pernah melakukan hal ini untuk gadis menggemaskan di hadapannya?
Ayolah, untuk apa disesali? Lihat hari ini, saat ini. Seina ada untuknya. Dan kini Tristan pastikan dirinya akan selalu ada untuk Seina.
Entah apa yang dilakukannya. Tristan hanya menggenggam lembut lengan kiri Seina, membantunya berdiri walau Tristan tahu Seina sudah pasti bisa berdiri sendiri. Namun, pekikan Seina membuat Tristan menyadari sesuatu yang tidak beres pada lengannya. Dengan berhati-hati, perlahan dari bagian bahu, ia membuka cardigan berwarna cokelat muda yang dikenakan Seina dengan begitu lembut.
Sampai ia melihat memar berwarna biru kemerahan yang menyerupai gelang kulit pada lengan atasnya.
“Aku yang melakukannya?” Tristan mengusap lembut memar itu dengan ibu jarinya.
“Ini tidak apa-apa, kok.”
“Maaf,” ujar lelaki itu tulus. Dan tanpa terduga, Tristan mengecup lembut luka tersebut dengan ringan, membuat Seina tertawa kecil karenanya. “Itu tidak berpengaruh, Tristan.”
“Setidaknya kamu tidak begitu menyesal dengan luka ini.”
***
“Jadi, gadis itu penyebab kecelakan itu terjadi?” Teressa berkata sambil tersenyum licik.
“Benar, dan saya rasa, Dini mengetahui semuanya karena dia terlihat begitu menutup-nutupinya pada media.”
Siapa yang tidak ingin ketinggalan berita tentang pengusaha restoran tertampan seperti Tristan Rivandhi? Tanpa membuang tenaga pun, Teressa sudah bisa mendapatkan semuanya dari awak media, walaupun di setiap majalah maupun koran yang memuat berita kecelakaan itu selalu menyamarkan nama si Gadis Penyebab insiden tersebut, namun Teressa tahu apa yang sedang dimainkan oleh Dini.
Kakak tercinta Tristan yang tidak pernah ia sukai dan tidak pernah menyukainya.
Teressa memandang puas pada Bradley, selaku mata-matanya.
“Baiklah, kau boleh pergi.”
Seusai Bradley pamit, Teressa tersenyum membayangkan masa depan yang begitu indah di matanya. Tristan akan kembali padanya dan meninggalkan kakak kandungnya serta tunangan palsunya itu! Ia akan menang dan tertawa ketika ia bisa memperbudak Tristan untuk membenci kedua orang yang telah membohonginya dengan hal besar.
Teressa teramat tahu, sekecil apa pun sebuah kebohongan, Tristan akan membencinya. Benar-benar membencinya.
Ia tidak sabar kembali menantikan hari esok, esok, dan esoknya. Hingga tanggal mainnya dimulai.
***
Tristan, aku pergi ke perpustakaan sebentar ya. Aku tidak enak membangunkanmu tadi. Aku jamin, aku tidak apa-apa sendiri ^^
– Seina –
Tristan berdecak kesal, tanpa sadar membuang sembarang memo tersebut. Masih bisa-bisanya Seina memakai tanda emoji seperti itu, seharusnya ia tahu bahwa Tristan mengkhawatirkannya!
Dengan langkah gontai, ia melangkah keluar. Sebaiknya ia menunggu Seina di beranda depan rumahnya sambil membaca koran atau sekadar memikmati kopi buatan Sei—argh! Yah, buatan sendiri! Lebih baik ia membuatnya sekarang.
Tunggu...
Tristan mengernyit. Sejak kapan koran itu berada di atas meja? Biasanya, koran-koran tersebut selalu dilempar begitu saja oleh petugasnya. Kalaupun loper koran yang biasa melewati rumahnya sanggup memanjat gerbang besar dan tingginya tersebut, Seina pasti sudah “menegurnya”.
Ya, mungkin memang Seina yang meletakkannya sebelum ia pergi. Atau bisa juga Dini yang datang dan meletakannya di atas meja—hey! Sejak kapan wanita itu peduli pada gulungan koran?! Aih, mengapa memusingkan hal yang tidak penting seperti ini?!
Dengan tidak acuh, Tristan membuka koran tersebut. Melebarkannya, hingga terbentang nyaris menutupi setengah dirinya yang sedang terduduk.
Tidak ada berita menarik. Sampai kedua matanya menangkap sebuah foto yang menampilkan gambar sebuah kecelakaan. Sebuah mobil Fortuner yang terlihat sudah tak berbentuk berada dalam posisi terbalik.
Kedua bola mata Tristan menyalang pada tulisan besar di atasnya...
“Maut Menyerang, Seorang Pangeran Melindungi Sang Putri”
“Apa-apaan ini,” gerutu Tristan.
Ia merasa mual dengan judul berita itu. Namun, rasa ingin tahunya lebih besar dan ia mulai membaca berita itu.
Seperti yang dilansir judul di atas, insiden ini memang membuat semua orang yang mendengarnya begitu terharu. Pasalnya, pengemudi kendaraan Fortuner tersebut, seolah diberikan oleh Tuhan akan sebuah sinyal untuk menghindari sang gadis, yang tidak lain adalah gadis yang sama sekali tidak di kenalnya, menurut kakak kandung dari pengemudi malang tersebut saat kami wawancarai tepat di rumah sakit, hari itu juga.
Namun, dalam sekejap, media pun digemparkan dengan kabar bahwa gadis itu ternyata adalah tunangan korban. Ada yang mengatakan bahwa keduanya memang sudah lama bertunangan, persis seperti yang dikatakan kakak kandungnya. Tapi ada pula yang mengatakan bahwa keduanya bertunangan akibat sebuah alasan yang tidak diketahui media maupun satu orang pun.
Menurut kebanyakan remaja dan ibu-ibu telah diwawancarai akan insiden tersebut, mereka begitu terharu dengan keajaiban cinta dan kebaikan Tuhan pada umatnya yang telah di takdirkan untuk bersama.
Namun, menurut para Netizen yang mengomentari di sosial media, tidak sedikit yang berpikir negatif akan pertunangan Pangeran dengan Putri. Mereka beranggapan, terdapat kebohongan besar yang ditutupi pihak ketiga akan hubungan keduanya, dan semua petunjuk mengarah pada Kakak kandung korban, pengusaha sebuah restoran ternama di Indonesia.
Tristan melempar dengan kasar koran tersebut.
Apa-apaan berita itu?! Cara penyajian dan penulisannya tidak seperti kebanyakan koran yang pernah dibacanya. Bukannya sebuah kronologi, isinya malah mendongeng! Cerita picisan yang diutarakan, seolah pembacanya adalah para remaja yang menyukai hal-hal berbau romansa!
Brengsek! Ini adalah pertama kalinya ia membaca koran. Hm, atau sudah pernah sebelumnya? Entahlah, yang pasti kesan pertama Tristan untuk kertas lebar-lebar itu adalah bullshit! Ia lebih menyukai berita-berita yang disajikan para blogger di Internet, atau paling tidak, berita-berita yang jelas asal dan sumbernya.
***
Seina memasuki halaman depan dengan senyum. Betapa senangnya ia bisa bertemu dengan Bunda dan anak-anak panti. Ia tidak berbohong kepada Tristan. Ia menggunakan waktu luangnya setelah dari perpustakaan untuk menengok panti asuhan.
Seina mengernyit samar tatkala mendapatkan lembaran-lembaran koran yang berserakan. Dengan senyum tipis, ia merapikan setiap lembarannya, dan melipatnya kembali menjadi bentuk koran pada normalnya.
Baru saja ia ingin menggulungnya, kedua matanya terbelalak lebar mendapati gambar sebuah kecelakaan dan sebuah mobil yang sudah tidak berbentuk.
Jantung Seina berdegup kencang. Genggaman kecilnya pada koran besar itu semakin bergetar. Seina takut, ia begitu takut bila Tristan...
“Seina.”
Suara dingin itu memecahkan lamunannya. Ya, dingin. Dengan pandangan yang nyaris melebur karena air mata yang ingin merebak keluar, Seina masih bisa menangkap wajah Tristan yang mengeras. Lelaki itu menatapnya seolah dirinya adalah seorang pembohong, penjahat, pencuri, dan segala hal yang membuat Seina semakin merasa takut dan bersalah.
“Tristan...” lirih Seina, gemetar.
Baru beberapa langkah menghampiri Tristan, tiba-tiba ia merasa pandangannya gelap dan badannya lemas.