10 | Premonitory

2410 Kata
Seulas seyum licik kembali menghiasi wajahnya. Sudah berapa kali Bradley melihat senyuman itu terus diarahkan padanya, namun lelaki itu tahu, senyuman itu tertuju pada foto di tangan gadis tersebut. Seina. Pemilik nama singkat itu kini menampakan senyumannya pada foto yang berada di kuasa jemari Teressa. Apa pun. Semua akan dilakukannya untuk Teressa, agar membuat perempuan itu senang dan bangga kepadanya.  “Berita yang dibuat tim kami memang tidak berpengaruh pada Tristan, namun pada gadis itu.” “Ya. Setidaknya, Tristan akan mencurigainya.” Teressa tersenyum manis pada Bradley. “Bagaimana kalau tidak?” Pertanyaan itu segera direspon Teressa dengan mata menyipit. “Tidak?” Dengan senyuman miringnya, ia bangkit dari tempat duduknya. Gadis itu mengitari Bradley yang duduk di hadapannya dengan perlahan. Jemarinya menyentuh lembut bahu lelaki itu. Menari-nari di atas lapisan jaket kulit hitam yang dikenakan lelaki tersebut. Teressa merunduk, memeluk bahu tegap Bradley dari belakangnya. “Aku tidak akan membayarmu.” Oh, persetan! Bradley tidak membutuhkan uang sepeser pun dari iblis yang membuatnya tertarik ini. Bahkan, ia mempunyai rencana untuk berbalik arus dimana seharusnya ia berada. Menyatukan Tristan dengan Iblis-nya, sama saja dengan membakarnya di dasar api neraka yang menyala.[Tata1] [E2]  Karena Bradley menyukai iblis ini dan ia juga tidak ingin gadis sebaik dan sepolos bernama Seina itu tersakiti hanya karena ambisi Teressa. “Saya akan melakukan yang terbaik untuk Nona.” *** Seina mengerjap-ngerjapkan matanya begitu ia tersadar dari tidur panjangnya. “Demi Tuhan, Seina. Jangan membuatku khawatir lagi!” “Tristan?” lirihnya. “Aku di sini,” Tristan membantu Seina duduk bersandar di kepala tempat tidur besarnya. “Apa yang kamu rasakan, hm?” ibu jarinya mengelus pipi Seina, membuat kedua mata gadis itu kontan terpejam, menikmati kelembutannya. “Aku... pusing,” keluhnya, nyaris berbisik. Tristan tersenyum lembut. Senyuman yang seharusnya tidak lelaki itu tunjukkan padanya—hey! Bagaimana dengan berita di koran tersebut?! Seina nyaris mati karena melihat Tristan yang begitu marah padanya. Apa ia bermimpi? “Tristan, kamu tidak marah?” tanya Seina berhati-hati. Tristan mengernyit, membuat kerutan bergaris rapi di dahinya yang menghiasi wajah tampannya. “Marah? Padamu? Untuk apa?” tanyanya, selembut kapas. Demi ibu peri! Bagaimana Tristan masih bisa begitu lembut setelah tahu ia adalah penyebab insiden itu?! Bukankah seharusnya Tristan telah mengetahuinya? “Aku—” “Ah,” seolah teringat sesuatu, Tristan memotong ucapannya dan kembali tersenyum. “Aku memang marah padamu karena membuatku khawatir, kamu pergi pagi-pagi sekali dan membuatku gelisah karena pesan memo sederhanamu. Kamu bahkan tidak menghubungiku. Kamu membuatku cemas. Dan membuatku semakin cemas ketika kamu menangis dan jatuh pingsan!” Kata-kata Tristan membuat bibir Seina bergetar, menahan haru yang tidak terbendung. Air mata bahagia itu tumpah tanpa mampu ditahannya. Tanpa sadar, Seina memeluk tubuh kokoh Tristan dengan erat. Dan juga di luar dugaan, Tristan membalas pelukan itu. “Terima kasih, Tristan.”  “Untuk apa?” tanya Tristan sambil tersenyum. “Untuk mencemaskanku. Mengkhawatirkanku. Memperhatikanku.” Lengan kecilnya semakin erat memeluk leher Tristan, membuat lelaki itu semakin meruduk agar Seina tidak sulit merengkuhnya. “Kamu tunanganku, Seina. Sudah seharusnya. Kamu milikku.” DEG! Degupan ini bukan degup bahagia. Jantungnya seakan tersentak dan terasa berdenyut nyeri. Tunangan... Berapa lama lagi ia harus berpura-pura? Dalam diam, Seina kembali menangis tanpa Tristan sadari. Ia hanya ingin berbahagia dengan orang yang ia cintai tanpa adanya sebuah kebohongan. Ia hanya ingin hidup dengan orang yang ia cintai dengan rasa yang murni tanpa noda. Ia hanya ingin semua ini berakhir. Tapi ia takut konsekuensi yang harus diambil ketika ia harus jujur. Ia lebih memilih mempertahankan, berbahagia, lalu dalam diam, takdir menyakitinya. Daripada ia harus melepas, bersedih, dan belum tentu takdir ingin melihatnya berbahagia. Ia hanya mempedulikan saat ini. Bersamanya. Tidak yang lalu. Tidak juga nanti. ***   Tristan mengusap kening Seina, lantas menciumnya dengan penuh kasih sebelum akhirnya ia beranjak keluar dari kamarnya. Ya, kamarnya sendiri. Ia menidurkan Seina di kamarnya, membiarkan gadis itu beristirahat di tempat yang menurutnya paling nyaman di rumah ini. Ia melangkah ke perpustakaan kecil di dalam rumahnya yang dihias oleh alamarhumah ibu dan Dini. Ruangan ini sebetulnya bukan ruangan rahasia. Hanya saja, jarang sekali ada yang masuk ke ruangan ini karena baik Dini maupun Tristan akan bersedih bila teringat mendiang ibunya yang gemar membaca disini. Tristan menekan saklar lampu dan duduk di sofa rendah dengan sandaran nyaman. Ia termenung sambil menikmati suasana perpustakaan itu. Benar. Bukankah Seina menyukai perpustakaan? Jadi Seina tidak perlu lagi meninggalkannya seperti pagi tadi dan pergi ke perpustakaan. Yang perlu ia lakukan kini adalah membeli begitu banyak novel dengan berbagai jenis alirannya, lantas mendekor kembali ruangan ini. *** “Tristan?” Dini mengernyit mendapati Tristan berdiri di depan pintu rumah mertuanya. “Aku butuh bantuanmu.” Dini memutar matanya. “Kamu datang selalu di saat kamu membutuhkanku.” Tristan mengangkat bahunya, tak acuh. “Daripada aku tidak datang sama sekali?” Tristan berdeham kecil. “Omong-omong soal ini, masih harus berapa lama kamu tinggal di sini?” “Entahlah. Mama sangat merindukanku, dan tetap ingin aku menjadi anaknya walaupun Evan telah tiada.” Dini tersenyum sendu, membuat Tristan memeluknya. “Bagaimana kabar Seina?” tanyanya seraya melepas pelukan adiknya. Tristan berdeham. “Kesehatannya agak memburuk tadi pagi, makanya aku butuh bantuanmu.” Dahi Dini semakin berkerut. “Astaga! Mengapa tidak kamu bawa dia ke dokter, Tristan? Kamu tahu aku tidak ahli menyembuhkan seseorang walaupun aku gemar membaca buku tentang itu!” Dini mendelik gemas pada adiknya. Kalau boleh jujur, Dini bukan hanya gemas, namun ia sungguh bahagia. Ya, bahagia! Bagaimana tidak? Rencananya berhasil. Seina berhasil membuat Tristan jatuh hati. Dan hari ini, Dini sudah begitu yakin bahwa Tristan memang benar-benar telah jatuh hati pada Seina. Adiknya telah mencintai gadis polos itu. Lihatlah, betapa gelisahnya adiknya saat ini. Sorot mata yang begitu khawatir tiap kali menyebut nama Seina. Tinggal selangkah lagi. Membuat Tristan menikahi Seina, lantas ia akan menunjukkan kemenangannya pada Teressa. Ia akan membuktikan pada gadis itu bahwa adiknya tidak akan lagi bertekuk lutut padanya! Ia akan membuktikan bahwa Tristan telah melupakannya. Tristan tidak akan kembali pada gadis itu. Dan tidak akan pernah disakiti lagi olehnya. “Aku tahu kamu bodoh,” ujar Tristan membuat Dini berkacak pinggang dan semakin mendelik. “Maka dari itu, aku ke sini bukan untuk meminta bantuanmu soal itu. Aku ingin kamu membantuku, mendekor ulang interior perpustakaan kecil di rumah kita dengan lebih baik. Bagaimana?” Dini menyipit menatapnya, membuat Tristan mendengus. Mau tidak mau, harus menjelaskan tujuannya pada kakak tercintanya tersebut. “Aku ingin membuat Seina tersenyum, dan merasa semakin nyaman berada di rumah. Aku ingin dia menikmati hari-harinya bersamaku dengan memberikan sesuatu yang dia sukai.” Dini menatap Tristan yang menunggu jawabannya dengan tatapan memohon. Ah, tidak pernah adiknya sampai seperti itu. Bahkan, ia sampai meminta bantuan Dini? Oh, ayolah. Tristan sangat ahli dan mahir dalam mendesain suatu ruangan, bahkan restorannya sendiri adalah hasil gambaran imajinasinya. Namun, jika kali ini Tristan sampai meminta bantuannya berarti ini sangat penting kan? Benar. Seina berhasil menjadi bagian terpenting dalam hidup adiknya. “Baiklah adik kecilku,” canda Dini membuat Tristan menggeram kecil. ***   Seina menjauhi bibirnya dari bibir gelas begitu mendengar debam pintu yang tertutup. Kedua matanya menangkap Tristan yang menghampirinya dengan seulas senyum. “Jangan minum air dingin saat sedang sakit, Seina,” tegurnya lembut, mengambil alih gelas berembun di tangan Seina. “Aku belum meminumnya, kok.” Seina mendongak, melirik Tristan dari balik bulu matanya dengan takut, seolah ia membuat kesalahan yang besar. “Aku datang tepat waktu.” Lelaki itu menampilkan senyum lebarnya. Senyum yang tidak memperlihatkan deretan gigi rapinya, namun sanggup membuat kedua mata lelaki itu menyipit seperti bulan sabit. Oh, Seina ingin sekali mencium pipi lelaki itu. Bagaimana bisa Tristan yang selalu berwibawa, dingin dan tidak terbantahkan, kini terlihat begitu cute? Bahkan, lelaki itu tampaknya tidak sadar dengan perilakunya. Untungnya, di hadapannya saat ini adalah Seina. Bagaimana kalau gadis-gadis lain yang mengagumi Tristan secara terang-terangan? Seina tidak yakin, Tristan masih berdiri tegap seperti saat ini. Pasti lelaki itu sudah terjatuh karena diseruduk oleh banteng-banteng betina itu! Huff, memikirkannya membuat Seina merasa panas dingin sendiri. Ya, semoga saja senyuman itu hanya ditunjukkan padanya, bukan “betina” lainnya. Tuk! Seina tertegun menyadari wajah mereka hampir tak berjarak. Tristan mengetuk lembut dahi Seina sekali lagi dengan telunjuk panjangnya. Lelaki itu tersenyum ketika Seina mengerjap-ngerjapkan kedua matanya.  “Apa yang kamu pikirkan, hm?” tanya Tristan. Seina menggeleng pelan, sebelum akhirnya rona merah di pipinya muncul. Hal itu membuat Tristan ingin sekali menggigit pipinya. “Aku hanya haus, dan bingung mau minum apa.” Seina meneguk ludahnya. Oh, ayolah! Siapa yang mau kepergok tengah memikirkan lawan jenis yang benar-benar ada di hadapannya sekarang? Nyaris tanpa jarak. “Memikirkan air sampai kamu tersipu, hm? Minuman apa yang membuatmu sampai malu-malu seperti ini?” Tristan tertawa kecil. “Manis sekali.”  “Rona di pipimu menjawab semuanya, Seina.” Ugh! Seandainya saja pipinya punya sakelar yang bisa dimatikan! “Ng, kenapa kamu sudah pulang?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. “Aku merindukanmu,” goda Tristan. Oh, kenapa Tristan harus mengatakan hal itu. Hatinya terasa hangat diikuti dengan hangatnya rona pipi hingga tanpa disadari kembali memerah. Tristan berdeham pelan, jemarinya besarnya menyusup pada jemari mungil Seina dan menggenggamnya. “Ayo, aku punya sebuah kejutan kecil untukmu.” Seina dibawa ke sebuah ruangan di dalam rumah itu yang belum pernah ia masuki sebelumnya. Pintunya hampir mirip dengan pintu lain di rumah ini yang terbuat dari jati. Namun, desainnya lebih simple dibandingkan yang lain. “Apa ini?” “Lihatlah sendiri.” Seina membuka pintu tersebut dengan kunci yang diberikan Tristan. Kerutan samar di dahinya bahkan tak kunjung surut. Ia masih bingung, bagaimana bisa setelah beberapa waktu tinggal di rumah ini, ia tidak mengetahui ruangan ini. Seina berharap cemas, walaupun ia tidak mengerti apa yang mendasari rasa cemasnya. Dibantu Tristan, Seina berhasil mendorong pintu besar itu dan kontan tertegun melihat apa yang didapatinya. Sebuah perpustakaan yang begitu menawan. Seluruh dindingnya dipenuhi berbagai buku yang terpajang rapi. Bahkan, di balik pintu besar yang baru saja dibukanya, ternyata adalah sebuah rak buku berdesain pintu yang semakin membuat ruangan ini terlihat indah. Di sisi kiri, terdapat sebuah sofa yang sangat nyaman dan sepertinya akan membuatnya betah berlama-lama di ruangan itu. “Aku tidak begitu mengerti soal buku yang sering kamu baca. Maka dari itu, aku membeli semua jenis novel, agar kamu bisa memilih setiap harinya. Agar kamu tidak bosan, dan tetap berada nyaman di sini.” Tristan berdeham pelan, “Sebenarnya yang mendekor semua ini bukan aku, tapi Dini. Aku meminta bantuannya, dan kuharap kamu menyukainya.” Seina menatap Tristan dengan binar mata yang begitu menggemaskan. Gadis itu tidak kuasa menyembunyikan senyumannya. Tanpa banyak bicara, ia segera memeluk Tristan. Begitu erat. Membuat Tristan tertegun namun tidak urung ia mendekap Seina lebih erat seolah tidak ingin momen tersebut akan berakhir. “Aku mencintaimu, Tristan.” Tristan tersenyum. Hatinya menghangat. “Aku senang mendengarnya.” ***   “Bagaimana reaksinya? Apa dia menyukainya?” Tristan tersenyum. “Bukan hanya menyukainya. Seina bahkan mencintai...” Tidak ada suara di seberang, membuat Tristan terkekeh geli menyadari bahwa Dini sedang menunggu kelanjutan kalimatnya. “Dia mencintaiku.” “Apa kamu membalas ucapannya?” “Untuk apa?” “Hmm, untuk membuatnya lega? Kamu tahu, perempuan bisa saja tertekan oleh kebodohan kecil yang dibuatnya.” “Maksudmu, pernyataan itu adalah sebuah kebodohan?” “Ng, ya. Semua perempuan kurasa ingin bila laki-lakinya yang mengatakan hal itu, karena kebanyakan perempuan mengutarakan hal itu bukan hanya sebagai pemberitahuan, tapi untuk mendapatkan jawaban. Kamu perlu tahu, perempuan lebih suka mendengar ketimbang mengucapkan hal ini.” “Jadi, itu hasil surveimu selama ini?” Di seberang sana, Dini mendengus keras, membuat Tristan tergelak geli. “Aku tidak menjawabnya.” “Kenapa?” “Entahlah, kurasa tidak perlu dikatakan. Itu hanya sebuah kalimat murahan yang bisa membuatnya merasa terbang sesaat. Aku hanya manusia biasa yang juga memiliki kekurangan. Aku tidak mau dia jatuh. Tapi aku akan terus selalu memujanya.” Tristan menarik napas dalam. “Lupakan kalimat itu. Yang terpenting saat ini, hidupku adalah kehadiran dirinya. Matiku adalah kehilangan dirinya.” ***   Bayangan merah itu kembali hadir di hadapannya. Pemilik tubuh kecil yang dibalut dengan sweater merah itu, kini tengah berdiri dengan kepala tertunduk di depannya. Ia meneguk ludah tatkala bayangan itu mendongakkan kepalanya dan menampilkan senyum yang teramat familiar untuknya. Ia mengernyit menatap wajah itu. Wajah yang tidak dikenalinya, namun teramat mengusik hatinya. Wajah yang bahkan tidak pernah ia temukan. Wajah yang terlihat buram, seiring detik jarum jam berputar. Tubuh kecil itu mundur dengan perlahan. Langkah kecilnya seolah sanggup membawa diri itu menjauh darinya begitu cepat. Ia tidak mengerti apa yang tengah dilakukannya, tapi tindakannya membuat sorot lampu kendaraan besar dari kejauhan menyinari tubuhnya. Seolah truk itu mampu menerkam tubuh mungil di seberang sana. Dengan kecepatan penuh, ia berlari. Berlari dan terus berlari. Namun, tubuh berbalut sweater merah itu tak kunjung mampu ia raih. Tangannya menggapai-gapai tatkala truk itu semakin mendekati tubuh malang sosok tersebut. Ia berteriak. Air matanya keluar, bahkan dengan alasan yang ia pun tidak mengerti. Sedikit lagi, langkahnya sampai membawanya pada tubuh itu. Namun terlambat. Semua sudah terlambat. DUAGH! Tubuh itu terpental. Tubuh kecil itu menghantam kerasnya aspal yang membuatnya meringis melihatnya. Tubuh kecil itu. Tubuh gadisnya. ***   “Tristan? Tristan kumohon, bangunlah.” Seina nyaris menjerit dengan air mata tumpah, bila saja Tristan tidak membuka kedua matanya saat itu juga. “Kamu kenapa? Ada apa, Tristan? Kamu mimpi buruk?” tanya Seina di sela tangisnya setelah Tristan mengambil posisi duduk. Tanpa mengatur napasnya terlebih dulu, lelaki itu langsung mendekap erat tubuh Seina. Mengatur napasnya di lekukan leher gadis itu, seolah Seina adalah sumber oksigen baginya. “Bermimpi apa, Tristan? Jangan membuatku cemas, kumohon. Kamu berteriak dalam tidurmu. Kamu gelisah. Aku takut kamu—” Sesuatu yang lembab segera membungkam bibirnya. Seina tertegun dengan apa yang dilakukan Tristan. Oh, Tuhan. Ini adalah ciuman pertamanya! Namun, Seina tidak perlu khawatir, ia hanya cukup berdiam diri dan tidak membalasnya. Karena yang dilakukan Tristan pun juga hanya menautkan bibir mereka dalam diam. Tristan melepaskan bibir mungil itu dari kuasa bibirnya. Kedua tangannya menangkup wajah Seina yang terasa pas untuknya. “Berjanjilah kamu tidak akan meninggalkanku.” Seina membalas tatapan Tristan yang begitu tegas, seolah kalimat barusan adalah kalimat penuntut yang dibuatnya agar Seina tidak diperkenankan untuk membantah. Seina mengangguk pelan seraya mengulum senyum. Ya, Seina tidak akan pernah meninggalkan Tristan. Sekalipun Tristan yang akan meninggalkannya, kelak.    [Tata1]El, kalau memang dari awal perkenalan si tokoh Bradley, dia memiliki tujuan untuk melawan Teressa, sepertinya butuh alasan kenapa Bradley membenci Teressa. Cukup dalam satu atau dua kalimat saja.  [E2]Sudah mbak, begini gimana?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN