Latisha melepas pelukannya pada Serafina yang sibuk mengendus aroma parfum mahalnya. Dengan kedua mata menyipit, Latisha menyalakan lampu ruang tengah dan terkejut menemukan pria itu duduk serampangan di sofanya. Terlihat dominan sekaligus menyebalkan. Sosoknya yang membuat Latisha terkadang berdebar penuh antisipasi tak karuan. Pacuan adrenalin yang muncul kerap kali membuatnya sakit kepala sekaligus mendamba.
"Kenapa tiba-tiba—,"
"Aku sudah bilang, kalau kau menghindariku dengan konyol seperti itu, aku akan menerobos masuk seperti perampok. Kau tidak menganggap itu serius, kan?"
Latisha mendesis. "Jangan bercanda. Kau akan tertangkap basah dan semua orang menuduhmu yang tidak-tidak. Kau mau mendapatkannya? Hinaan itu?"
"Aku serius," desahnya. Bangun dari sofa untuk menghela gadis itu ke dalam pelukan. Mengekori Latisha sampai ke dapur dan mencari minum.
"Aku sudah rindu."
Pria ini adalah perayu paling ulung. Latisha mencibir keras. Menaruh botol minumnya di atas meja dapur dan menatap mata pria itu.
"Kau bau rokok," gumamnya masam. "Kau mabuk? Berdansa di lantai bar malam lagi? Membuat onar?"
"Absolutely, no. Aku tidak mabuk. Kali ini aku bisa bersumpah padamu. Aku masih sadar dan bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri."
Latisha mengangkat alis sekilas. Lalu, mengangguk dan berbalik untuk menaruh gelasnya ke wastafel. Sebelum dia mencuci tangan, dan dekapan berasal dari balik punggungnya mengerat. Mengencang. Yang tanpa sadar membuatnya menggeliat geli dan mendadak tak nyaman. Bagaimana dengan perutnya? Latisha berdeham, membuat pelukan itu sedikit mengendur walau tidak sepenuhnya melepaskan.
"Bisa kau jujur padaku?"
Latisha terdiam sesaat.
"Kau benar-benar mengandung?"
Latisha tidak bicara. Melainkan tetap diam dan membiarkan pancuran air pada kran wastafel mengalir membasahi sela-sela gelas kacanya.
"Kenapa tiba-tiba?"
"Karena aku senang," katanya. Masih tenggelam dalam punggungnya. "Aku tidak akan berkencan diam-diam denganmu. Kita akan dengan bangga mengumumkan ini di depan publik. Kau dan aku berkencan dan siap menikah. Kita siap berkeluarga. Bagaimana? Itu terdengar menyenangkan, bukan? Aku sudah tidak sabar."
Latisha menghela napas lelah. Mengusap tangannya dengan tisu dan membuangnya ke tempat sampah. Hampir tersandung karena pria itu masih tidak mau melepaskan pelukannya.
"Apa-apaan ini? Lepas."
"Jangan risih. Begini-begini, kau tergila-gila padaku."
Mencibir menahan tawa, Latisha melihat Serafina duduk di atas sofa. Menatap datar padanya dan pada sang kekasih yang masih manja. "Kau lihat dia? Serafina bosan melihatmu di sini. Dia terlihat ingin bertengkar dan menyadari kalau kau tidak pernah sepadan dengannya. Serafina selalu melihatmu sebagai musuh dan ikan busuk."
"Aku akan membuang kucing itu nanti."
"Jangan coba-coba," tegurnya dan pria itu terkekeh pelan.
Latisha merasakan bulunya meremang. Saat telapak tangan besar nan kasar itu menggerayangi perutnya. Terutama menelusup masuk melalui celah sweater cokelatnya. Menyebarkan afeksi samar yang perlahan nyata dan membuat kepala Latisha pening bukan main.
"Aku akan berganti pakaian."
Menepis tangan kokoh itu dengan kasar lalu bergegas masuk ke dalam kamar. Menutup pintunya rapat-rapat dan membiarkan pria itu menunggu di depan selagi dia berganti pakaian.
Hanya membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit, Latisha telah kembali. Memakai piyama bergambar kartun kesukaannya. Kali ini dia memakai piyama kuning bergambar. Memakai sandal rumahan dan mengikat rambutnya tinggi. Melihat pria itu belum pergi dan malah bersandar malas pada sofa mahalnya. Membiarkan Serafina memeluk pahanya dengan manja. Kucing aneh yang bisa berubah sikap kapan pun dibutuhkan. Latisha menggeleng muram, memandang mereka berdua dengan datar.
"Dia ini kucing bergengsi tinggi," gumamnya tiba-tiba. Membuat Latisha tersentak karena tiba-tiba mata itu menatapnya tajam. "Sering kali melihatku sinis, tapi terkadang suka mencari perhatian."
"Kau tidak alergi dengan bulu kucing, kan?"
Kepala itu menggeleng.
"Bagaimana dengan ular?"
"Jangan bercanda," desisnya dan Latisha tertawa lepas.
Pria itu memindahkan Serafina ke sisi sofa lainnya. Dan menarik tangan Latisha mendekat, meminta gadis itu lebih merapat. Membuat Latisha kehilangan napas selama beberapa saat karena mencium parfum mahal beraromakan kayu dan daun basah khas sehabis hujan yang menyengat hidung. Pria ini selalu beraroma mahal dan khas anak band pada umumnya. Dia bukan perempuan pertama karena masih banyak jutaan penggemar lainnya tergila-gila dengan pria ini.
"Aku serius, Latisha. Pemberitaan dari Dispass membuatku penasaran. Bagaimana bisa mereka lebih tahu dulu daripada aku? Ayah bayi itu?"
"Kau yakin ini anakmu? Bagaimana kalau tidak? Kau percaya pada mereka?"
Latisha mengulum senyum menikmati bagaiman rupa itu merengut kesal dan sekilas mendelik tajam ke arahnya. Dia dan Calvin telah lama berakhir. Lebih tepatnya Latisha yang tidak menganggap pria itu ada. Dan menjalin hubungan diam-diam di belakang Calvin sempat membuatnya takut.
"Aku akan membunuh Calvin kalau ini anaknya."
Latisha mendengus pelan.
"Jadi benar," ucapnya dingin. "Kau hamil."
"Lana berbicara yang tidak-tidak pada media karena kami sempat syuting bersama. Gadis itu benar-benar—ugh," Latisha mengerang keras. Mengepalkan tinjunya ke udara. Dia ingin sekali memukul gadis itu tepat di hidung bekas meja operasi.
"Yang dia bicarakan kebenaran?"
Latisha mendongak, menatap bagaimana bentuk hidung itu terlihat tinggi dan sempurna. Membuat napasnya berkejaran. Dia takut bicara ini. Terutama pada orangtuanya. Dan pada dua sahabat baiknya. Dia masih terlalu takut untuk berterus-terang dan masih membutuhkan waktu lebih lama demi mengulur kebenaran ini.
"Ya."
Kedua mata pria itu memicing tajam. "Berapa bulan?"
"Baru telat satu bulan," balasnya. "Aku merasakannya dan ini datang tiba-tiba. Sedikit aneh pada awalnya. Aku membeli alat tes kehamilan diam-diam dan tidak memakai manajerku atau dia akan berisik."
Latisha bergerak mengusap perut ratanya. Dia masih bisa memakai piyama kesayangannya tanpa perlu ketakutan kalau suatu saat dia harus memakai daster karena perutnya membesar.
"Mau tidak mau, semua orang akan tahu."
Latisha mendesah berat.
"Bagaimana kalau—," dia kesulitan mengatakannya. "—gugurkan?"
"Kau gila?"
Latisha mengangkat bahu. "Aku takut."
Pria itu ikut mendesah kesal. Menatap wajah cantik yang tampak putus asa di dadanya dengan dingin. "Kau pikir aku sebrengsek itu? Meninggalkanmu ketika kau mengandung?"
"Kau mungkin tidak mau mengecewakan penggemarmu?"
"Usiaku sudah tiga puluh, punya anak adalah keajaiban. Para penggemar tidak akan keberatan. Kalau mereka memintaku mundur, aku akan mundur."
"Ya Tuhan," Latisha mendesah tak sabar.
"Aku serius."
"Aku juga serius."
"Jangan. Pernah. Berpikir. Membunuh. Bayi. Itu," suaranya penuh penekanan. Membuat Latisha merinding. Seluruh bulu kuduknya meremang. Terlebih saat sentuhan itu terasa membakarnya. Membuat Latisha kehilangan napas. Menikmati bagaimana rasa bibir dingin itu menyapa bibirnya. Seperti satu slot Americano dengan pasta gigi mint yang menenangkan.
Membuatnya terbuai dan tanpa sadar sudah berbaring pasrah di atas sofa dengan tubuh sang kekasih menindihnya penuh kehati-hatian.