Bel apartemen yang berbunyi heboh lekas membuat Latisha bangun. Dari tidur pulasnya semalaman suntuk, menemukan dirinya terbaring dengan pakaian lengkap dan bersama Serafina yang mengisi kekosongan di sisi ranjangnya.
What the hell? Kemana pria itu?
Tak ubahnya seperti sang kekasih yang gemar menghilang dan datang sesuka hati seperti dedemit, Latisha lantas melompat dari tempat tidur. Membuka pintu kamar setelah menekan sandi dan melihat raut murung Regan Kairo di depan pintu.
"Heh! Kau ini bersemedi atau apa? Lama sekali membuka pintu."
Latisha mendesah. Menutup rapat pintunya dan membiarkan Nyonya Kairo masuk. Menginvasi seluruh ruangan dengan sarapan pagi yang mengunggah selera.
"Aku bawa ayam goreng dan bir. Yuk, cus. Minum-minum sampai mabuk."
Bir memang tidak asing untuk mereka. Terutama manusia-manusia dewasa yang menginjak usia nyaris tiga puluh. Di antara Kairo dan Tara, Tara adalah peminum yang baik semasa mereka kuliah dulu. Disusul Latisha dan Kairo yang benar-benar sok untuk urusan bir.
"Aku tidak bisa. Memikirkan harus nongkrong di kamar mandi selama berjam-jam membuat perutku mual."
Ini alasan klasik yang bagus hanya agar Kairo tidak menyerangnya dengan u*****n karena Latisha mengelak alias menolak ajakan minum. Demi Tuhan! Ini masih pagi. Kalau ibunya tahu, Kairo sudah didorong jatuh dari lantai dua puluh kamarnya berada.
"Really? Ah, kau tidak seru. Mana si bitchy itu harus bekerja. Ajakan minum bir jelas akan dia tolak."
"Dasar dokter bodoh," maki Latisha. "Kau tahu kalau alkohol tidak bagus di pagi hari. Kenapa harus mabuk, sialan!"
"Aku sedang setres!"
Kairo kembali membidik pertanyaan Latisha dengan jawaban menohok. Dia setres. Karena pangkatnya masih dokter umum, bukan dokter spesialis seperti sepupunya yang telah lama memegang jabatan itu sejak bertahun-tahun lalu. Untuk ukuran usia Kairo yang hampir menyentuh kepala tiga, dia terhitung lamban.
Hidung Kairo mengendus sesuatu. Terutama dari sofa mahal yang sedang ia duduki. Saat pria itu mencibir, mengusap pangkal hidungnya dan mengangkat alis. "Siapa yang bertamu sebelum aku, Latisha?"
"Papa."
"Hah?" Kairo tergelak tak percaya. "Papamu? Sejak kapan Papa Liam memakai parfum anak muda begini?"
"Kau ini ahli parfum?"
Kairo mendesis. "Sebelum aku berpindah ke pabrik Christian Dior, aku memakai parfum ini sebelumnya. Ini milik satu brand besar Giorgio Armani. Bau kayu dan citrusnya tidak jauh berbeda dari milikku."
Latisha memutar mata. Tak ayal itu membuatnya cemas. "Papa semalam datang. Bersama Mama. Dan duduk di sana."
"Yah, masa kau membiarkan ayahmu duduk di lantai? Dia bukan si burung kecil alis Lei itu. Kalau dia di lantai, aku tidak terkejut. Lagipula satu-satunya sofa hanya ada di sini, ruang baca dan kamarmu."
Latisha lekas bangun. Sebelum Alana, manajernya kembali mengoceh karena dia terlambat datang dan melewatkan omelan penting dari bos agensinya. Membiarkan Alana jadi bahan semprotan pedas mulut bon cabe atasannya.
"Sudah. Aku mau mandi."
"Ikut!"
Latisha melotot. Dan Kairo melipir ke dapur. Punya jam terbang setelah jam makan siang membuatnya menjadi pria paling gabut sejagad!
***
Jika ada kategori band terbaik dalam beberapa dekade ini, selain Two Pilots, Black Death salah satunya.
Di antara semua personilnya, yang paling banyak menghasilkan uang sebenarnya bukan Hiroito Jerome, tapi Zakato Oda dan Abe Zaka. Mereka terlibat banyak proyek. Selain iklan dan beberapa undangan di acara ragam televisi.
Dim Troy sebenarnya mendorong semua member untuk tampil dan mendapat apresiasi layak. Tapi lagi-lagi seperti pernyataan Hiroito Jerome beberapa tahun silam yang bilang bahwa bermain musik adalah hobi, maka semua orang melihat pria itu sama.
Menjadi musisi jelas bukan tujuannya. Jerome menikmati perannya karena dia menyukai bass selama masa-masa SMP. Mengikuti beberapa lomba kecil dan berhasil menjadi juara umum. Kemenangan yang tidak perlu apresiasi besar, tapi cukup berkesan.
"Kau berkencan dengan model majalah dewasa itu, Zaka?"
"Siapa?"
"Amuna."
"Mendengar namanya lidahku hampir terpeleset mengatakan amuba," gerutu Oda. Yang lantas memukul bibir nakalnya dan Jerome memutar bola mata.
"Aku tidak berkencan. Media terlalu heboh memberitakan hal yang tidak-tidak."
Jerome mematikan rokok di asbak. Menatap Zaka saat dia mengembuskan asap di depan pria itu. "Seleramu masih tetap sama?"
"Berkencan dengan sesama artis jelas bukan seleraku," sahut Zaka masam. Memainkan stik drumnya dan mendesah. "Merepotkan. Menyebalkan. Dan yang pasti, buat pusing."
"Bagaimana denganmu, Jerome?"
Pertanyaan Oda jelas menjurus ke arah mana. Jerome memang tidak banyak bicara tentang masalahnya pada rekan satu grupnya. Meski Ren memaksa demi keutuhan band mereka, rupanya Jerome yang memilih bungkam membuat banyak orang penasaran.
Sejauh ini mereka peduli satu sama lain. Jerome peduli pada rekan grupnya dan mereka pun sama. Kalau ada masalah, sebisa mungkin mencari solusi dan tidak membiarkan pribadi itu depresi.
"Tidak ada yang berubah."
"Ibumu masih memaksa kau keluar dari band dan menikah?"
Jerome menautkan alis tajam. Percakapan tentang keluarga tidak begitu menyenangkan. Terutama tentang topik perjodohan dan wanita. Jerome berusaha membuang jauh-jauh hal itu dari hidupnya.
"Lihat ini," Zaka menyodorkan ponselnya. Melihat Sato Ren berpose manja di depan kandang ular phyton milik Troy yang sudah berusia empat tahun. "Dasar manajer sinting."
"Dia pernah hampir memberimu hadiah ular," tunjuk Rain pada Oda yang mencibir keras.
"Awas! Kubunuh dia!"
"Oda paling anti dengan hewan sejenis ini," balas Zaka masam. Kembali menaruh ponselnya saat Jerome termenung. Tenggelam dalam fantasinya sendiri.
"Berikan saja pada Jerome. Dia suka ular."
"Kata siapa?"
"Kataku barusan," Oda buru-buru meralat kalimatnya. "Oke, fix. Tidak dari kita semua suka ular."
Acara kumpul-kumpul mereka berantakan saat Sulana Gusi alias Sugus mendobrak masuk. Menghentikan Oda yang sedang mengecek mic, dan pada Rain yang menahan diri untuk tidak melempar soda yang sudah ia anggap bom molotov ke wajah cemberut Lana.
"Kita harus bicara, Jerome."
Jerome menaruh ponselnya dan mendesis. "Tentang?"
"Hubungan kita."
"Wah, halu ini perempuan," cibir Oda rendah. "Kau dan Jerome sudah selesai. Semengenaskan itukah dirimu sampai-sampai memaksa Jerome agar mau kembali?"
Lana menatap Oda sinis. Dengan pandangan menilai dan meremehkan yang kentara. Tahu benar kalau Zakato Oda berasal dari garis keturunan miskin. Rakyat jelata yang naik kasta karena band-nya sukses besar.
"Aku? Kau bercanda," Lana tertawa sarkas. "Jerome yang akan berlutut di depanku dan meminta kembali nanti."
Candaan itu sukses membuat Zaka beralih mencari keributan dengan memukul pukulan drum di depannya. Memandang Lana dengan tatapan tengil. "Setelah dari pintu itu, kau berbelok ke arah kiri. Tarik napas dalam-dalam setelah itu kau menjerit, Lana. Lihat ke bawah dan segera lompat. Otak sakitmu tidak tertolong lagi."
"Kau masih meledekku? Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku tidak tahu skandalmu?"