Rain mendorong kulkas dua pintu itu dan meringis kecil. Melempar sisa kaleng sodanya ke tempat sampah. "Kalau kau datang hanya untuk mengoceh, lebih baik kau pergi."
"Aku datang untuk Jerome."
"Kau mau apa?"
"Bicara."
Jerome merendahkan suaranya dengan bisikan tajam. "Terakhir kali kita bicara, berita menyebar luas kalau aku punya disfungsi seksual akut. Aku gay, humu, suka bermain anal dan banyak lagi. Siapa lagi sumber kekacauan itu kalau tidak darimu?"
Lana mendengus masam. "Kau menuduhku?"
Oda yang tidak sabaran membanting mic-nya di atas sofa. Menyeret tangan Sugus itu untuk pergi dan mengunci pintu. Membuat ketukan drum milik Zaka terdengar samar karena ruangan ini kedap suara.
"b******k! b******k! Buka pintunya!"
"Ya Tuhan," gerutu Oda masam. "Bagaimana bisa Jerome bertahan dengan jelmaan ikan arwana itu?"
Rain menggeleng. Dan Zaka meminta Oda untuk diam selagi dia masih mau menatap matahari besok.
***
"It's mine!"
"No, it's mine!"
Jerome mendesah putus asa. Ini kali ketiganya berusaha melerai kakak beradik yang bertengkar hanya karena berebut pancingan mini milik sang kakek yang tersisa satu. Karena satu lagi dibuang istrinya entah kemana.
Hiroito Roy jelas tidak akan mengeluh. Dedikasinya selain memancing ikan dengan sepenuh hati adalah mencintai kedua cucunya. Tidak ada hiburan lain yang membuatnya terasa lebih hidup di usia senja selain bersama istri tercinta dan menghabiskan waktu merawat ikan-ikan mahal kesayangan. Yang kerap kali menjadi mainan Ken dan Hani, kedua anak Hiroito Ian yang beranjak besar.
Ken, si anak sulung menginjak lima tahun dan adiknya Hani, baru tiga tahun. Terpaut usia dua tahun, wajah mereka tidak tampak berbeda jauh. Karena genetik Ian tidak bisa berbohong. Nyaris keduanya menjiplak rupa sang ayah. Meski sifat kekanakkan Ken turun dari ibunya.
"Kenapa bertengkar?"
Asha datang dari dapur. Menghampiri kedua buah hatinya yang belum mau mengalah. Berjongkok untuk melepas barang mahal itu dari kedua tangan anaknya.
"Kakak nakal!"
"Kau yang tidak mau mengalah!"
Asha mendesah. Merebut barang itu dan bangun, pergi begitu saja masuk ke dalam mansion dan membuat keduanya kembali memasang wajah marah bercampur kesal.
"Ini karenamu!"
"Salah kakak!"
Hani menghentakkan kakinya ke atas rumput pendek. Melirik pamannya yang memandang datar pada mereka dan meringis. "Kenapa Paman Jerome diam saja?"
"Kau ingin aku lakukan apa? Aku melerai kalian sudah dua kali, terhitung tiga yang baru saja. Kau dan kakakmu sama-sama keras kepala."
"Paman tidak seru!" Ken merangsak masuk ke rumah, membiarkan Hani cemberut menatap matanya. Jerome seperti melihat diri sang kakak atau dirinya di tubuh kecil itu. Keponakan cantiknya menurun sifat Ian yang sensitif dan mudah marah. Merajuk adalah senjata Ian.
Hani berlari menuju taman bermain. Di sana ada sang kakek yang sibuk memperbaiki tali ayunan yang putus karena anjing peliharaan mereka. Tampak gemas bermain-main sampai tanpa sadar merusak.
"Kenapa dengannya?"
"Berebut mainan," Jerome menyambung malas. Melihat ibunya terlihat bersemangat setiap acara makan malam mingguan yang diadakan di rumah besarnya.
Terlahir sebagai sendok emas, banyak t***k-bengek yang Hiroito Jerome lewati. Karena Ian malas mengemban tugas perusahaan meski dari kecil mendapat pendidikan bisnis yang sama, rupanya dia telah memilih jalan lain dan sukses. Lalu, semua berpindah padanya. Di pundaknya. Jerome terkenal pembangkang. Bukan anak penurut karena sedari kecil dia tidak berniat menyentuh perusahaan yang bukan mainannya. Musik adalah pelarian terbaik. Dan ibunya yang keras kepala, sempat beradu urat dengannya untuk nundur dan lepas.
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik," sahutnya tanpa menoleh.
Tamara tidak berhenti sampai di sana. Setelah putranya melewati rangkaian tur dunia dan melewatkan banyak minggu untuk makan malam bersama keluarga, ini saatnya membahas masa depan.
"Jerome."
Jerome melirik bosan.
"Kau sudah pikirkan apa yang Mama ucapkan tempo lalu? Sebelum kau pergi tur dan Mama membiarkanmu lakukan itu sepuasmu. Kau sendiri yang bilang pada media kalau musik adalah hobi, bukan tujuan hidup."
Jerome masih diam.
"Usiamu sudah tiga puluh. Kau dan Ian berbeda lima tahun. Sama seperti Ken dan Hani," nasihatnya lagi. "Oh, maaf. Ken dan Hani terpaut dua tahun. Tapi ya, sama saja."
"Mama ingin aku membawa perempuan? Ke rumah? Untuk dikenalkan? Atau berakhir di kandang perjodohan?"
Tamara menghela napas. Kalau sifat Ian lebih ke suami, Jerome adalah kembaran dirinya. "Kenapa kau berpikir kalau perjodohan itu buruk?"
"Aku tidak hidup di masa penjajahan moral. Atau memang Mama meragukanku?"
"Lana bukan perempuan nakal, kan?"
Ya Tuhan.
"Aku sedih mendengarnya," Asha menyahut dari kursi seberang. Menyantap nanas segar di atas piring. "Lana? Sulana Gusi? Ya Tuhan, Mama serius? Tidak ada perempuan lain?"
Hiroito Tamara merengut masam. "Kau tidak tahu duduk perkaranya, Asha."
Asha menautkan alis. "Tidak tahu pada bagian mana? Aku yakin seratus persen mengenal adik iparku dengan baik," balasnya santai. Menatap Jerome yang balas melempar tatapan dingin dan tanpa ekspresi. "Aku berkencan dengan Ian selama sepuluh tahun. Menikah lima tahun yang lalu. Apa yang aku lewatkan dari seorang Hiroito Jerome?"
"Rasa-rasanya Asha lebih mengerti Jerome daripada aku," suara dalam Ian mengalun. Mengambil tempat di sebelah Asha saat dia mencari kemana kedua anaknya yang menyebar bagai lalat buah.
"Tidak. Kalian tidak tahu bagaimana kecemasanku."
Jerome mendesis pelan. Mengambil potongan apel dan bergegas pergi. Membiarkan kursi kayu itu kosong dan beranjak masuk ke mansion. Meninggalkan gurat lelah pada wajah cantik Tamara. "Anak itu benar-benar."
"Jerome selalu membuat ibunya kerepotan sejak lahir. Mana ada bayi lahir berwajah cemberut? Dia membuat satu ruangan geger."
Ian menggeleng dan Asha menahan tawa.
"Kalau Jerome masih macam-macam, kurasa dia pantas masuk ke dalam perut ibunya lagi."
"Tidak mau. Sudah alot. Anak itu sudah besar. Sudah berhasil membuat separuh rambutku memutih," sungut Tamara kesal dan Roy tertawa.
"Lantas, apa yang Mama cemaskan?"
Iris kelam Tamara menyapu menantu satu-satunya di keluarga Hiroito. Meski Asha berasal dari keluarga kelas menengah biasa, kecerdasan dan bagaimana attitude yang baik dan sempurna membuat Tamara tidak menolak saat Ian membawanya ke rumah. Dia sangat setuju. Asha pandai dalam banyak hal. Dan dia berharap Jerome juga menemukan pendamping yang setara dengan kakaknya.
"Jerome tidak menyukai perempuan?"
Roy tersedak sosis bakarnya dan Ian buru-buru menegak jus jeruknya. "Ingat Tuhan, Mama. Setan baru saja berbisik di telinga Mama."
"Aku serius," Mama Tamara mencelos melihat celaan putra sulungnya. "Aku membuat akun di banyak jejaring media sosial hanya untuk memantau perkembangan putraku. Peduli setan dengan ketiga berandal lainnya, yang aku pedulikan adalah anakku. Dan kalian tahu apa yang aku temukan? Jerome punya disfungsi seksual, Ian! Mama mau menangis darah sajalah."
Roy yang masih berdebar dan terkesan kurang pergaulan sekaligus tidak up to date diam-diam mengumpat kata-kata kotor untuk anak keduanya. "Benarkah itu?"
Tamara mengangguk sedih. "Dispass juga memberitakan hal yang sama. Aku malu sekaligus sedih. Kata sumber di sana, rudal Korea Utara tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah rudal Hiroito Jerome. Masuk lubang sembarangan. Ya Tuhan, hati ibu mana yang tidak hancur saat putranya mendapat cibiran seperti itu?"
"Risiko sebagai bintang populer, Mama. Jerome tidak akan mendapat berita baik-baik saja selama karirnya."
"Maka dari itu, aku memintanya mundur dari dunia hiburan. Band hanya menjadi hobi, bukan prioritas hidup."
Sedangkan Ian masih berpikir keras. Mencari makna arti rudal Korea Utara tidak berbahaya dan rudal Jerome yang jelas mematikan. Sejak kapan Jerome pintar meracik nuklir?
"Tapi tidak dengan menjodohkan Jerome dengan Lana, bukan? Mama lihat saja bagaimana wajah masam Jerome tadi," masih dengan Asha yang bicara.
"Lana siapa?"
"Kekasih Jerome."
"Mantan," sela Asha. Meralat ucapan ibu mertuanya. Dan Tamara mengalah. "Kalau dilihat-lihat, Lana bukan tipe Jerome."