“Ya Allah Mas, gimana aku gak meleleh membacanya,” ujar Salamah lirih sambil menutup buku biru dari Ahmad, ditatapnya sampul buku yang terlihat sangat manis.
Biru, biru selalu memberikan kedamaian untuknya. Menatap langit biru selalu menimbulkan banyak angan yang tak bisa dikekang, melayang, membayangkan mampu menggapai tiap angan yang selalu dia impikan.
Biru, warna kesukaannya, warna dari kartun legendaris yang sangat digandrunginya, Doraemon. Warna itu dihiasi gambar hati di tengahnya. Senyum Salamah mengembang, membayangkan hatinya yang dulu tidak berwarna, tidak tahu makna rasa atau pun cinta. Kini tanpa bisa dia cegah mulai menyimpan bayangan seorang pria. Pria yang sudah memintanya pada kedua orang tuanya.
Tok. Tok. Tok.
Suara pintu yang diketuk membuat Salamah langsung bergegas menyimpan buku biru di lemari.
“Teh.” Terdengar suara memanggil dari arah pintu kamar yang terbuka.
“Ditunggu, Bu Mega di samping lapangan basket,” lanjut Putri, adik angkatan Salamah yang masih duduk di bangku kelas sebelas MA.
“Iya terima kasih ya, Put,” sahut Salamah.
“Punten kasih tahu bunda, Aku salat dulu sebentar,” imbuh Salamah.
Putri mengangguk dan langsung keluar dan menutup pintu kembali. Salamah sendiri bergegas keluar kamar untuk berwudu dan bersujud di waktu Duha. Waktu bermunajat sebelum dia melakukan kembali aktifitasnya. Waktu yang selalu dia gunakan untuk memohon kelancaran rejeki untuk Abah dan Amih di rumah. Kelancaran untuk dirinya menyelesaikan pendidikan di pesantren Al-Hikmah.
***
Salamah berjalan mendekati Mega yang duduk di salah satu bangku, di bawah pohon mangga. Tiga bangku panjang membentuk huruf U sengaja diletakan di bawah pohon mangga yang sangat rindang.
“Bun,” sapa Salamah, kemudian duduk di samping Mega.
“Sudah dibaca teh?” tanya Mega yang masih fokus menuliskan sesuatu di buku administrasi guru yang dipegangnya.
Salamah menjawab pertanyaan Mega dengan anggukan, tepat saat Mega menengok ke arahnya.
“Dih merah lagi tuh pipi, gitu kali ya ekspresi perawan kasmaran,” ledek Mega dengan tawa yang membuat Salamah celingukan melihat sekeliling, khawatir ada yang memperhatikan mereka.
“Ih Bunda, Aku malu,” rajuk Salamah sambil menyenderkan kepalanya di bahu Mega.
“Teh, Bunda minta maaf kalau sudah lancang jomblangin, Teteh. Jujur, Bunda juga nggak nyangka kalau Firman melangkah sampai sejauh itu.” Mega mengusap kepala Salamah.
Cuma Mega orang terdekat Ahmad yang memanggilnya Firman, itu dikarenakan di kelasnya dulu, ada lima anak bernama Ahmad; Ahmad Rifa’i, Ahmad Tarmidzi, Haikal Ahmad Fadholi, Ahmad Patoni dan George Ahmad Firmansyah. Akhirnya kelima anak di kelas tersebut tidak satu pun yang dipanggil Ahmad oleh Mega.
“Bunda pribadi kaget banget pas Firman ngasih tau mau ngelamar teteh, ternyata sejak Bunda nunjukin foto Teteh, dia langsung gerak cepat cari informasi dan pedekate langsung ke keluarga teteh.” Mega menghela nafas sejenak, Salamah masih bergelayut manja di lengan Mega.
“Ya seperti yang Bunda pernah omongin, Teh. Kalau sudah jodoh tuh, ya ada saja jalannya,” pungkasnya sambil melirik ke arah Salamah.
“Makasih ya, Bun, Aku yakin pilihan bunda nggak salah,” harap Salamah, wajahnya mendongak menatap Mega.
“Insya Allah, Firman lelaki baik, soleh dan bisa jadi imamnya teteh, amin.”
“Amin,” Salamah ikut mengaminkan.
“Sekarang, Bunda mau tahu gimana perasaan teteh?” tanya Mega menatap Salamah.
Salamah menggeser duduknya menghadap ke arah Mega, “Mas Ahmad ganteng, Bun,” ucapnya tersipu.
“Kadang ada rasa minder, temen ngajarnya pasti cantik-cantik,” lanjut Salamah.
Mengalirlah cerita Salamah tentang kesan pertamanya bertemu dengan Ahmad, tepat disaat hari pertunangan mereka. Menurut Salamah, dirinya dan Ahmad adalah dua kepribadian yang bertolak belakang, Salamah yang susah untuk merangkai kata dan Ahmad yang begitu lancarnya ketika berbicara. Ahmad yang penampilannya begitu rapi dan trendi, sedangkan Salamah yang belum bisa berdandan seperti wanita lain pada umumnya.
Mega pun memberikan banyak nasehat pada anak gadisnya untuk bekal ketika memulai rumah tangganya kelak. Obrolan mereka berakhir ketika bel tanda istirahat berbunyi. Mega menyuruh para siswa yang masih asik bermain basket untuk segera beristirahat dan mengganti pakaian olahraga dengan seragam sekolah agar terlihat kembali rapi ketika belajar di kelas.
Setelah para siswa membubarkan diri, Mega mengajak Salamah ke kantin. Mereka berjalan ke kantin beriringan sambil sesekali menjawab sapaan para siswa yang berpapasan dengan mereka.
“Pasti bakal kangen moment kaya gini nih, Bun.”
“Nanti sering-sering main ya, Teh, kapan sih khotmil Qur’an?”
“Bulan April bun, pertengahan kayaknya. Do’a Al-Qur’annya sih akhir Maret, nanti datang ya, Bun,” pinta Salamah.
“Bunda apa Firman nih yang datang?” goda Mega sambil tertawa.
“Tuh kan godain mulu ih,” rajuk Salamah menghentakkan kakinya manja dan memilih tempat duduk kosong di kantin diikuti Mega.
Mereka memesan makanan dan minuman, sambil menunggu pesanan datang, sesekali mereka mengobrol dengan siswa lain yang juga menunggu pesanan datang. Obrolan tentang Ahmad terhenti karena Salamah belum mau kalau pertunangannya dengan Ahmad diketahui teman-temannya. Sudah dipastikan hal itu akan menjadi bahan godaan dan tentu sja disertai dengan pertanyaan-pertanyaan tentang hal itu.
***
Hari terus berganti sudah sebulan lebih setelah buku biru itu dititip kan pada Mega untuk diserahkan ke Salamah, tetapi belum juga ada balasan. Setiap kali Ahmad ke rumah Mega untuk mengambil pesanan kerupuk kulit, Ahmad selalu gagal menanyakan perihal buku biru itu.
Rasa rindu yang menggebu hanya bisa dia sampaikan lewat doa. Sering kali dia berkunjung ke rumah Salamah, namun, hanya abah dan amih yang menemuinya.
‘Apa mesti ke pondok ya, ya Allah, Kau yang berkehendak memberikan semua rasa. Jangan jadikan rindu ini membuatku berpaling dari tuntunan-Mu.’ Ahmad mengacak rambutnya frustasi tanpa dia sadari Ayu sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Ahmad dari tempatnya duduk
"Pak, Bapak sakit?" tanya Ayu mendekat dan duduk di kursi kosong yang ada di depan meja Ahmad. Kebetulan di ruang guru hanya ada mereka berdua karena guru lain sedang bertugas mengajar di kelas masing-masing.
"Eh nggak, Bu Ayu. Kirain tidak ada orang," Ahmad menggaruk rambutnya yang tidak gatal
"Lagi ada masalah, Pak? Bapak bisa kok cerita sama saya," tawar Ayu dengan senyum manis.
Sebagai seorang pria, Ahmad sadar kalau Ayu tertarik padanya. Apalagi bukan hanya satu-dua rekan guru yang sering meledek mereka. Ya, Dia mengakui kalau sebagai wanita Ayu cantik, penampilannya selalu rapi dan berkelas. Tapi entah mengapa hatinya malah lebih tertarik dengan gadis sepolos Salamah, yang dari segi usia saja mereka terpaut enam tahun. Bahkan, Salamah seusia dengan Adiknya, Nita.
"Nggak kok, Bu. Saya keluar dulu ya, Bu. Sudah laper,‘nih cacing dalam perut sudah demo minta dikasih makan." Ahmad mengelus perutnya.
"Oh kebetulan Saya juga belum makan, Pak. Sekalian makan bareng yuk," ajak Ayu.
Ahmad mengaduh memukul mulutnya yang salah mencari alasan untuk menghindari Ayu.