Rahma keluar dari bilik santri sendirian. Dia baru saja dari Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren) sehingga masih berpakaian rapi, sedangkan Salamah bersiap-siap terlebih dahulu. Biasanya para santriwati berpakaian santai tanpa kerudung ketika berada di bilik, bahkan tidak sedikit yang hanya memakai kaos dan celana pendek di dalam kamar mereka, karena hampir tidak pernah ada lelaki yang masuk ke bilik santriwati.
"Assalamualaikum." Rahma mengucapkan salam, tapi sedetik kemudian, Dia tampak bingung karena yang ada di depan Bu Nyai dan Abah Kiyai tidak satu pun yang dikenalnya.
"Waalaikumsalam." Serempak semua membalas salam Rahma.
"Kok Rahma yang ke sini? Salamah mana Nok?" tanya Bu Nyai.
(Nok adalah sapaan anak perempuan di Indramayu yang punya arti sama dengan Neng dalam bahasa Sunda.)
"Tetehnya masih di kamar, Umi, kata Mbak Zaenab bestel, dikira amih sama abah yang kesini, Umi," tutur Rahma menjelaskan.
"Oh ya nggak apa-apa, sini, Nok Rahma kenalan dulu sama calon Masmu." Abah Kiyai memberi isyarat untuk Rahma duduk.
"Ini adik Salamah, Pak Restu, namanya Rahma." Bu Nyai memperkenalkan Rahma, sedangkan Rahma bersalaman mencium tangan Ahmad sekeluarga beserta Ibu dan Abah Kiyai.
Begitu banyak pertanyaan yang tiba-tiba berputar di kepala Rahma. Dia memang tahu kalau sang kakak, Salamah sudah bertunangan dengan seorang laki-laki yang bernama George Ahmad Firmansyah. Namun, dia sama sekali tidak tahu darimana Ahmad berasal, darimana Ahmad bisa mengenal Salamah. Selama ini kakaknya memang jarang terbuka membicarakan hal tersebut dikarenakan malu kalau sampai didengar santriwati lain.
"Rahma, itu mas Ahmad." Abah Kiyai menunjuk Ahmad.
Rahma mengangguk dan tersenyum ke arah Ahmad. ‘Ganteng juga,’ batin Rahma memberi penilaian pada wajah calon kakak iparnya.
"Ibu, ibunya Mas Ahmad, ini ayahnya, dan Nita, adiknya Mas Ahmad," lanjut Meri memperkenalkan keluarganya.
Rahma juga tersenyum pada anggota keluarga Ahmad yang diperkenalkan oleh Meri. Dalam hatinya ada sedikit rasa lega karena melihat Mer, calon mertua sang kakak begitu ramah.
"Nok Rahma udah gede ya, kelas berapa sekarang?" tanya Restu.
"Kelas sebelas MA, Pak," jawab Rahma
"Ibnu, si bungsu anaknya Pak Mul juga disini, Pak Restu," tutur Bu Nyai.
"Berarti semua anaknya Husna disini ya, Umi?" timpal Meri.
‘Kok mereka kayak sudah kenal ya sama Abah Kiyai dan Umi, akrab banget. Kenal juga sama Amih dan Abah. Apa, teteh dijodohkan dengan Mas Ahmad oleh Abah Yai….’
Rahma sibuk dengan pikirannya sendiri. Dengan banyaknya pertanyaan yang muncul begitu saja. Ada rasa kepo dengan asal mula pertunangan Salamah dan Ahamd. Dia bahkan berencana akan segera mengintrogasi Salamah saat tiba di bilik nanti.
Tak lama berselang Salamah muncul dari arah bilik santriwati. Dia mengenakan long tunik berwarna marun dengan bawahan sarung hitam bermotif bunga.
Semua santriwati di Pondok pesantren AL-Hikmah diwajibkan memakai sarung di dalam kawasan pesantren kecuali ketika mereka bersekolah. Mereka memakai rok sesuai seragam tingkatan mereka, karena di Yayasan tersebut bernaung juga lembaga pendidikan formal Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan Madrasah Aliyah (MA).
Langkahnya terhenti melihat tamu yang sedang bercengkrama di depan rumah Kiyainya. ‘Itu Mas Ahmad dan keluarganya, kok bisa kesini ya? Duh bisa geger ‘nih kalau sampai ada yang tahu.’
“Teteh,” teriak nita memanggil Salamah yang berdiri mematung dengan tatapan bingung ke arah mereka. Salamah mengangguk untuk menanggapi panggilan Nita. Dia kembali berjalan mendekati mereka. Melangkah dengan wajah tertunduk, tak kuasa menahan malu, harus bertemu Ahmad dan keluarganya dihadapan Abah dan Umi Kiyai.
'Ya Allah meski polos tanpa polesan sungguh cantik ciptaanmu, puji Ahmad pada Salamah dalam benaknya.
"Tuh kan, belum apa-apa udah netes ilernya," bisik Nita membuyarkan lamunan Ahmad.
"Apaan sih ganggu aja," cebik Ahmad sambil melotot menanggapi godaan Nita.
"Assalamualaikum." Salamah mengucapkan salam dan serentak mereka semua membalas salamnya.
Salamah menyalami Meri, Restu dan Nita, sedangkan pada Ahmad dia menangkupkan tangan di d**a sebagai pengganti salaman. Ahmad kembali menarik tangannya yang sudah terlanjur terulur, diiringi tawa cekikikan Nita.
"Kasian deh," desis Nita sambil menggoyangkan telunjuknya dari atas ke bawah.
"Mah, Itu masmu kayaknya sudah nggak sabar nunggu ijabsah." Abah Kiyai tersenyum melihat Ahmad yang ekspresi wajahnya benar-benar kentara begitu bahagia bisa bertemu dangan Salamah.
"Wah, Abah nggak tahu nih anak saya tiap hari itu kaya ayam kena kok, ngelamun terus," papar Restu membuat mereka semua tertawa, kecuali Salamah yang hanya terdiam menunduk menahan malu.
(Kok adalah penyakit pada ayam yang menyebabkan ayam terlihat pucat dan sangat lesu yang diakibatkan oleh virus Newcastel Disease atau dalam bahasa jawa disebut tetelo tetapi masyarakat di Indramayu menyebut penyakit ini 'kok')
"Gimana persiapan nya, Bu Meri," tanya Bu Nyai.
"Insya Allah sembilan puluh persen sudah siap, Umi. Undangan, tempat, konsumsi dan lain-lain sudah beres, tinggal ngepasin baju pengantin aja, tapi nanti itu mah bisa nyusul setelah acara Khotmil Qur'an," jawab Meri.
“Wah Alhamdulillah ya, Mah, bisa dapat ibu mertua super kayak Bu Meri ini,” puji Umi Nyai pada Meri dengan menatap Salamah yang terus tertunduk
“Pokoknya, Nggak bakal nyesel Bu Meri dan Pak Restu memantu Salamah. Dia santriwati idaman di sini. Banyak yang ngincer loh, Mad,” gurau Abah Kiyai yang tambah membuat Salamah bukan hanya sekedar malu mengangkat wajah. Namun, kini wajahnya juga terasa merah memanas.
Seandainya bisa, dia ingin berlari saja, segera menjauh dari tempat ini. Di saat mereka terus terlibat obrolan hangat seputar acara Khotmil Qur'an dan persiapan pernikahan Ahmad dan Salamah.
Berbeda dengan Ahmad yang justru memanfaatkan kesempatan tersebut untuk sepuasnya menatap Salamah. Entah disadari atau tidak oleh mereka, Ahmad begitu seringnya mencuri pandang pada Salamah sampai Nita selalu menyenggol lengan Ahmad dengan siku, ketika Ahmad tidak menanggapi pertanyaan yang diajukan padanya.
Selang tiga puluh menit kemudian Restu sekeluarga pamit pada Abah dan Umi Nyai, Salamah dan Rahma mengantar mereka sampai mobil. Beberapa santriwati yang kebetulan sedang menuju atau kembali dari kantin atau pun Kopontren menatap Salamah dan Rahma penuh tanya perihal siapa yang datang mengirimi bestel. Pasalnya mereka tidak mengenal satu pun diantara yang datang sebagai keluarga Salamah.
"Ini buat jajan ya, Nok," Meri menyerahkan amplop berisi uang pada Salamah.
"Nggak usah, Bu, Amih baru hari Minggu kemarin bestel kesini," tolak Salamah halus.
"Diterima, Nok, bisa buat keperluan lain," saran Restu lembut sambil memberikan isyarat dengan mata agar Salamah mau menerima amplop yang diberikan istrinya.
"Terima kasih Bu, Yah,” ucap Salamah sambil bergantian menatap Meri dan Restu.
"Iya, Teh, barangkali nanti dimintain PeJe ‘kan lumayan buat traktir-traktir," sambung Nita. (PeJe; Pajak jadian).
"Husst jangan goda tetehmu, Nit," hardik Meri menyenggol bahu Nita.