Jangan pernah sekalipun tunjukkan kelemahan pada musuhmu, karena dia bisa menyerang setiap saat dimana saja. Kuat, teruslah berkata kalau kau adalah orang yang kuat!
***
Bau rumah sakit yang Cyra sangat hafal, sedikit membuatnya kali ini merasa mual. Neneknya kembali masuk rumah sakit karena penyakit jantung yang diderita serta komplikasi bawaan lainnya terkait usia. Pemicu utama adalah masalah Cyra. Bagaimana ini tak menjadi pikiran neneknya tatkala Cyra mulai diteror oleh orang-orang yang tak dikenal, pagi tadi ada yang mengirimkan paket dengan bangkai tikus, siangnya ada yang mendatangi rumahnya dan melempar dengan batu. Cyra sudah melaporkan hal ini ke kantor polisi, tapi pelakunya jelas sangat susah di lacak. Rumah ditempat ini jaraknya jauh-jauh dan mereka pasti tak memiliki kamera pengawas. Sekarang dia juga diberhentikan dari tempatnya bekerja lalu menulis di platform online? Jelas semua ceritanya di-take-down pada malam dia bersikeras tak mau merevisinya.
Cyra berada diluar ruang perawatan neneknya, sambil memejamkan mata menahan semua kesedihannya dia terus mensugesti diri bahwa dia kuat dan dia mampu menghadapinya semua, tapi yang namanya manusia biasa dia berusaha kuat menahannya agar genangan air mata itu tak membasahi pipinya, dia mendongakkan kepalanya agar air yang dibendungnya tak luruh.
"Cyra ... tetaplah kuat." Gumamnya pada diri sendiri.
"Cyra semua pasti ada jalan keluarnya." Lagi dia bermonolog, mencoba dan terus berusaha terapi mensugesti dirinya agar dia tak berpikir negatif yang kemungkinan akan membuatnya bertindak bodoh.
"Cyra, kau pasti tau ini tak mudah kumohon teruslah bertahan." Suaranya yang serak ini masih terus terdengar.
Saat dia merasakan cukup ruang dalam hatinya untuk bernafas dengan baik, dan air mata itu sudah kembali surut dan mampu dia tahan lalu dia kembali masuk kedalam ruang perawatan neneknya.
Wanita tua itu terlihat terbaring lemah di di ranjang pasien, Cyra melihat kesekitar dimana ruangan ini penuh berisi pasien dan keluarganya menunggui mereka. Lalu, mata Cyra kembali ke arah neneknya. Wanita yang mengurusnya sendiri sejak sepeninggalan kedua orang tuanya. Hanya dia satu-satunya keluarga yang Cyra miliki, membuatnya terbaring disini Cyra merasa sangat kecewa dengan keegoisan dirinya yang ternyata mengakibatkan neneknya menjadi seperti ini.
"Apa Anda keluarga Nyonya Naru?" Tanya laki-laki dengan pakaian putih dan celana hitamnya.
"Iya, ada apa ya?" Tanya Cyra pada perawat itu.
"Tadi Dokter sudah visit ke Ibu Naru tapi keluarga pasien belum ada, ada yang ingin dibicarakan dokter dengan keluarganya." Ucapnya ramah, namun Cyra menangkap hal ini sepertinya bukan berita yang bagus.
"Baiklah, dimana Saya harus bertemu dengan dokternya?" Cyra menanggapi dengan cepat.
"Mbaknya bisa ikut saya sekarang." Dia lagi-lagi tersenyum manis.
Cyra lalu segera keluar dari ruangan itu, mungkin saja dokter melakukan visit pasien saat Cyra sedang melaporkan kasusnya ke kantor polisi.
Entah kenapa firasat kurang baik itu sangat membuat Cyra menjadi tidak nyaman, jantungnya malah seperti orang yang sedang jatuh cinta, berdebar kencang. Walaupun dia belum mendengarkan apa yang ingin disampaikan dokter itu padanya pasti tak baik untuk neneknya.
"Wali dari Nyonya Naru ya?" Suaranya terdengar sangat ramah. Dokter ini bukan dokter yang sering menangani neneknya, dia masih terlihat sangat muda dan ... ah, ada cincin dijari manisnya. Cyra tau ini bukan saatnya untuk mencari jodoh, tapi firasat aneh ini membuat dirinya ada dalam pikiran liarnya!
"I ... iya Dok." Jawab Cyra sedikit gugup.
"Maaf sebelumnya saya bisa panggil Anda?"
"Cyra. Nama saya Cyra." Kali ini dia menjawab cepat seakan tak ingin membuang waktu.
"Baiklah Nona Cyra, jadi nenekmu ini ..."
Penjelasan demi penjelasan disampaikan oleh Dokter yang bernama Daniel ini, dan wajah Cyra jelas terlihat syok dan otaknya berpikir cepat. Ini sangat memusingkan kepalanya.
Keluar dari ruangan ini membuat Cyra lagi-lagi merasa sangat tertekan. Masalahnya jelas ada satu. UANG!
Dia memerlukan uang untuk operasi neneknya, memang ini ditanggung oleh pemerintah, tapi masalahnya jadwal antri itu masih sangat lama sedangkan neneknya harus dilakukan segera. Menggeser antrian jelas tak mungkin karena semuanya memiliki prioritas masing-masing.
Cyra berjalan lesu kembali ke kamar neneknya, tapi langkah kakinya terhenti tatka mata itu menangkap sosok yang tak asing berdiri didepan neneknya ini, dia memandang neneknya yang saat ini masih terlelap dengan tatapan yang sangat tak dia mengerti.
“Perlu apa lagi?” Tanya Cyra langsung, dia malas berbasa-basi.
“Kau perlu uang untuk segera mengobati nenekmu, kan?” Dia berkata pada Cyra tanpa melihat lawan bicaranya.
Ruangan ini cukup ramai pasien, hanya bersekat gorden antara ranjang satu dengan yang lainnya, membuat tak cukup ruang untuk privasi, sehingga wanita ini hanya diam saja malas untuk menjawab, toh dia tak ingin kisah hidupnya sama dengan novel-novel romansa yang menurutnya terlaku mengada-ada.
“Kau … apa kau tuli?” Suara laki-laki itu terdengar dingin.
“Tak penting kau tahu.” Ucapnya lagi.
“Bicara diluar.” Bisiknya pada Cyra lalu melewatinya, Cyra merasakan angin tipis berhembus diwajahnya saat laki-laki itu keluar.
Malas-malasan sebenarnya dia mengikuti laki-laki ini, tapi dia tak ingin memancing keributan ditempat yang penuh dengan orang sakit.
“Kenapa?” Cyra langsung bertanya saat dia sudah ada diluar.
“Cyra, apa …”
“Aku menolak tawaranmu.” Ucapnya ketus.
“Siapa yang ingin memberikan tawaran? Apa kau ini dukun? Mau terawang pikiran orang lain tapi sayangnya kau S-A-L-A-H!” Ucap laki-laki itu tepat didepan Cyra.
Cyra hanya diam, jujur saja rasanya ingin sekali dia menghajar laki-laki ini sekarang, tapi dia terus menahannya.
“Cyra, akui segalanya tentang puisi-puisi itu dan juga kau harus minta maaf pada publik tentang penjiplakan yang kau lakukan, karena dengan begitu kau akan mendapatkan simpati publik.” Ucapnya dengan tenang.
“Siapa kau berani memerintahku Varen.” Dia mendesis geram.
“Aku adalah orang yang akan menuntutmu jika kau masih tak mengakui tulisan itu bukan milikmu.” ucapnya penuh penekanan.
“Kenapa kau sibuk sekali dengan karya orang lain, memangnya hubunganmu dengan Rany itu apa? Apa dia memiliki kekuasaan atas dirimu? Atau kau adalah pesuruhnya?” Ucap Cyra dengan mata yang berapi.
“Yah, aku yang mewakilinya, aku adalah orang yang disuruhnya untuk menyelesaikan semua ini.” ucap Varen dengan wajah sombongnya.
“Kalau begitu, suruh dia temui aku! Kau tahu aku bahkan ingin bertanya dengan orang itu, darimana dia mendapatkan tulisanku itu.” Cyra masih berkeras dengan egonya, dia yakin sekali kalau itu memang karya yang dia buat.
“Kau akan menyesal! Kau adalah orang yang harus bertanggungjawab atas semua ini, dan nenekmu … wanita itu juga harusnya tau diri. Aku tak menyangka ternyata keluarga kalian adalah orang-orang yang berhati keras pantas saja kalian ini hidupnya tak maju-maju.” Varen berkata dengan sangat sinis pada Cyra, sedangkan Cyra mengepal keras tangannya menahan amarah yang sudah sampai diubun-ubun.
Untuk menghindari hal yang tak bisa dia kendalikan akhirnya Cyra melangkah cepat meninggalkan Varen disana, dia hanya ingin menjerit sejadinya lalu menumpahkan amarahnya ke laut! Ya ke laut! Tempat dimana suara teriakannya akan segera menghilang bersama deburnya ombak dan juga berharap rasa kesalnya juga turut terseret ombak dan tenggelam!
Varen yang memerhatikan wanita itu untuk kesekian kalinya masih tak bisa membaca pikirannya yang terlalu komplikasi, dia tak seperti pebisnis pada umumnya, dia hanya seorang wanita yang memiliki pikiran rumit.
***
Lagi Cyra meratapi nasib yang tak kunjung memihak padanya, kali ini dengan leluasa dia menumpahkan seluruh rasa yang tak tertahankan menyesakkan d**a, tangisnya pecah sejadi-jadinya lalu rasa asin dari air mata yang keluar dari ini mulai memberikan efek sembab pada matanya. Teriaknya yang keras hilang ditelan deru ombak yang memecah karang.
Tindakan ini tanpa dia sadari diperhatikan oleh seseorang yang melihatnya iba.
“Ileana, tak seterang namanya, dia hanya bisa menguasai malam saja. Kasihan …” Gumamnya pelan.
***
Sementara itu, dirumah sakit ini setelah kehebohan yang menggemparkan tenaga medis mereka sudah berusaha untuk menyelamatkan wanita ini, tapi usaha yang sudah sangat maksimal itu tak membuat takdir mengubah jalannya. Nenek Cyra, keluarga satu-satunya sekarang sudah berpulang.
Varen yang saat kejadian itu masih ada disana, dia segera menyuruh orang untuk menemukan Cyra, tapi wanita ini terlalu pintar untuk bersembunyi, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, lebih tepanya handphonenya tertinggal diruang perawatan, sehingga tak ada satupun yang saat ini bisa menghubunginya. Pilihan terakhir adalah menunggu Cyra kembali pulang kerumah sakit untuk melihat Neneknya yang hanya tinggal nama saja.
Membayangkan berada diposisi Cyra, Varen merasakan empati yang dalam, walaupun semua itu tak mengurangi rasa ingin menuntut wanitanya ke meja hijau, Varen menyruh Malken untuk mengurus semua yang berkaitan dengan kepulangan jenazah neneknya, karena walau bagaimana juga dia masih memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, anggap saja saat ini dia sedang bekerja amal.
Benar saja, setelah semuanya selesai, Cyra kembali ke rumah sakit, disana dia masih mendapati Varen yang seolah menunggu dirinya.
“Kau lagi.” Ucap Cyra malas dan dia juga enggan untuk melihat laki-laki ini lebih lama.
Namun rasa malasnya ini segera membuat gendang telinganya menangkap getaran suara seorang perawat wanita yang dengan wajah terburu-buru menghampirinya.
“Mbak Cyra?” Tanyanya.
“Iya?” Jawab Cyra cepat.
“Mbak, tadi kami sudah menghubungi Mbaknya tapi sepertinya tak bisa, jadi semuanya sudah diselesaikan oleh Pak Varen, dan kami turut berduka cita Mbak.” Ucapannya ini membuat Cyra yang wajahnya masih terlihat sedikit sembab ini ternganga dengan kalimat terakhir yang dia dengar.
“Apa kau bilang barusan?” Cyra berusaha untuk menerjemahkan kalimat itu secara perlahan, menggunakan otaknya yang masih lelah untuk berpikir banyak.
“Ya … apa Pak Varen belum memberitahu Mbaknya?” Dia lalu melihat ke arah Varen dan Cyra bergantian, sedangkan Varen hanya diam saja, dia memerhatikan Cyra, wanita yang sangat angkuh ini.
Cyra hanya menggeleng, dan masih berusaha untuk menggunakan otaknya dengan tenang, “memang Nenek kenapa?” Getaran suara berusaha untuk menolak sebuah hal yang menyakitkan berhasil ditangkap pendengaran Varen.
“Beliau sudah meninggal dan kami turut berbelasungkawa atas ini.” Ucapnya lemah.
Saat itu juga Varen menginginkan wanita sombong ini menjadi seperti sosok wanita pada umumnya, lemah dan menjerit histeris, tapi setelah hitungan kesepuluh lewat Cyra hanya diam, tak ada air mata yang keluar sedikitpun. Varen sangat heran, apa wanita ini hatinya terbuat dari batu? Atau dia memang mengharapkan kematian Neneknya?
“Mbak …” perawat ini mengibaskan tanganya dihadapan wajah Cyra, seketika itu juga kesadarannya kembali.
“Dimana dia sekarang?” Tanya Cyra dengan suara yang sedikit membuat Varen bergidik ngeri, dia wanita atau jelmaan?
“Sedang diurus untuk dipulangkan, administrasi juga sudah diselesaikan -” perawat itu melihat ke arah Varen dan Cyra akhirnya turut melihat ke arah laki-laki sombong ini.
“Terima kasih.” Ucapnya datar pada Varen dan ini membuat Varen makin bingung.
‘Apa sebenarnya mau dari wanita ini?’ batin Varen.
“Tuan, ah … Nona Cyra kami sudah mengurus semuanya, sekarang jenazah sudah siap dipulangkan ke rumah duka.” Malken memberikan laporannya pada Cyra, utamanya pada Varen.
“Terima kasih.” Jawab Cyra seakan suaranya tak terdengar.
“Nona apa kau …”
“Saya menemani jenazah Nenek saja.” Jawab Cyra terdengar lemah.
Dan … hal yang membuat Varen menjadi bertanya-tanya adalah sikap yang tercipta dari situasi ini. Sikap Cyra yang aneh tak seperti wanita pada umumnya dan juga cara perlakuan Cyra yang mengucapkan kata terima kasih dengan nada datar.
“Ikut Aku saja.” Ucap Varen ingin menarik tangan Cyra, tapi wanita itu hanya diam.
“Aku sedang tak ingin bertengkar, aku mohon padamu kali ini saja, kali ini tolong bebaskan aku Varen, aku hanya ingin bersama Nenekku.” Ucapnya pada Varen, tatapan mata Cyra seakan menghipnotis Varen dan pandangan itu seakan penuh luka, anehnya dia sangat merasa bersalah dengan kejadian ini.
Varen melepaskan tangannya dari lengan Cyra, kemudian dia melihat ke Malken untuk menemani wanita ini dan Malken hanya mengangguk saja, mengerti dengan perintah isyarat yang diberikan oleh bosnya.
Cyra berjalan dengan gontai menuju mobil jenazah, Varen mengikutinya dari belakang dengan jarak yang lumayan jauh, dia memandang punggung wanita itu. Entah kenapa dia benar-benar merasa bersalah saat melihatnya.
***
Satu hari sebelum tragedi Nenek Cyra yang kembali harus dirawat di rumah sakit karena terkena serangan jantung.
Penthouse Indah Milik Alkhilendra penulis fantasy romance tersohor yang menghilang, tempat persembunyian paling nyaman yang dia miliki.
“Varen, kau benar-benar mau menghancurkan gadis ini ternyata.” Farras berkata didepan tabletnya, melihat berita perkembangan tentang Ileana yang dia juga baru tahu nama lengkapnya adalah Cyra Ghania Eshal. Identitasnya tersebar dipublik, alamatnya, tempat dia bekerja juga pekerjaan serabutan yang sering dia lakukan.
“Tak bisa dibiarkan, Varen tak boleh salah membuat keputusan.” Ucapnya lagi.
Telpon kemudian tersambung lagi, dengan nama Informan terpampang jelas disana.
“Berita apa lagi?” tanyanya pada orang itu.
“Ada kabar yang entah ini bagus atau tidak.” ujar suara diseberang sana.
“Katakan saja aku bahkan tak suka yang bertele-tele.” Jawab Farras lagi
“Pertama, Tuan Varen mencoba mencari tahu siapa yang menyebarkan identitas wanita itu secara terang-terangan, kedua wanita itu adalah anak dari pengemudi truk yang mengakibatkan kecelakaan dua belas tahun yang lalu dan yang terakhir, kali ini wanita itu benar berada dalam masalah besar, beberapa orang sudah menerornya tidak tahu siapa pelakunya yang jelas orang-orang itu benar-benar berniat sekali untuk melakukan hal itu, mungkin karena benci dengan wanita ini.” Jelasnya panjang lebar.
“Apa kau bilang? Dia anak dari pengemudi truk itu?” Farras berusaha meyakinkan apa yang dia dengar.
“Ya Tuan.” terdengar jelas dan pasti.
“Baiklah, aku akan ke Belitung besok pagi sekali. Siapkan tempat yang bisa membuat inspirasiku bisa berjalan lebih baik dan pastikan Varen jangan sampai mengetahuinya.” perintahnya.
“Baik Tuan, aku akan menyiapkannya.”
Sambungan telpon terputus.
"Baiklah Cyra, aku ingin menyaksikan apa yang akan kakakku perbuat untukmu. Semoga kau mampu mengalahkannya." Farras tersenyum lebar lalu meletakkan tablet itu ke atas meja dan dia segera berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
***