Seorang pria muda sedang berjalan tergesa-gesa di koridor rumah sakit, kaki jenjangnya melangkah dengan tegas membuat perempuan-perempuan melirik ke arahnya. Ia tidak mengindahkan sapaan orang-orang yang mengenalnya. Ada hal yang lebih penting daripada itu.
“Bagaimana keadaan nenek, Bun?” tanya Daffa dengan nada cemasnya.
“Lagi di periksa dokter Daf,” jawab Anella—Bunda Daffa.
Daffa tertunduk lesu di depan ruangan perawatan neneknya. Ia terbang dari singapura menuju Indonesia dengan tergesa-gesa, semata-mata hanya demi neneknya. bahkan Ia rela meninggalkan pekerjaannya di kantor. Bagi daffa nenek adalah segalanya-galanya.
Daffa Farid Akbar adalah laki-laki jakun yang sangat digilai para wanita. Daffa adalah definisi sempurna yang sesungguhnya, dengan tinggi yang mencapai dua meter, wajah tampannya bisa menarik siapa saja untuk mendekatinya. Tatapan tegasnya membuat semua orang tunduk padanya dan tak berani membantah. Dengan wibawanya membuat semua orang segan hanya sekedar untuk menyapanya.
Daffa sekarang tinggal di singapura, mengurus cabang bisnis keluarganya. Dan juga ia menjadi dosen di salah satu universitas di jakarta. Tapi untuk sementara waktu ia mengurus bisnis keluarganya sekaligus melanjutkan pendidikannya.
“Daffa, Ayah mau ngomong sama kamu,” kata Aditya—ayah Daffa.
***
“Ayah, tapi Daffa masih punya banyak urusan di Singapura,” kata Daffa menolak permintaan Ayahnya.
“Nak, itu permintaan Nenek kamu, dia ingin melihat kamu menikah dengan perempuan pilihannya,” kata Aditya dengan serius.
“Tapi Yah, Daffa belum siap berumah tangga. Daffa belum mapan, belum punya jaminan hidup buat istri Daffa nantinya,” ucap Daffa menolak halus permintaan Ayahnya.
“Daf, ini permintaan nenek kamu, Ayah nggak ada hak buat maksa kamu,” kata Aditya.
“Yah, Daffa …,” ucap Daffa lirih, ia tidak tau keputusan apa yang harus ia ambil.
“Kamu pikirkan lagi,” kata Aditya meninggalkan Daffa sendiri, di koridor rumah sakit.
Daffa tidak mengenal perempuan yang akan dijodohkan dengannya, ia tidak tau rupa perempuan itu seperti apa. Di satu sisi ia belum siap menjadi seorang suami di lain sisi ia harus menuruti kemauan Neneknya. Entahlah ia bimbang dengan semua ini.
Lama bergulat dengan pemikirannya, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke depan ruangan neneknya. Di sana ada kedua orangtuanya, dan juga om dan tantenya sedang menunggu Dokter menanggani Neneknya.
“Daffa, maaf kami telah merepotkanmu,” kata Fauzan—adik ayah Daffa.
“Nak, kami tidak ingin memaksa kamu, tapi pikirkan lagi gadis itu anak yang baik. Bunda rasa dia orang yang pas untuk kamu,” kata Anella—Bunda Daffa.
Daffa menatap satu persatu anggota keluarganya, ia tau keluarganya berharap ia menerima pejodohan ini, demi neneknya. Ia pu tau tidak mungkin neneknya menjodohkannya dengan orang sembarangan.
“Baiklah, Daffa akan pikirkan lagi, beri Daffa waktu,” kata Daffa membuat semua orang lega.
***
Waktu terus berlalu, tidak ada yang berubah Kania masih sering di abaikan Ayahnya, Kania berada di halte bus, ia sedang menunggu bus atau angkot yang lewat. Sepertinya semesta tidak berpihak padanya sudah sejam menunggu tetap saja tidak ada tanda-tanda anggkot atau bus lewat. Berkali-kali ia melihat jam di pergelangan tangannya, ia takut nenek akan marah jika ia pulang terlambat. Ia muak melihat akting Claudia yang pura-pura menjadi anak baik dan menyudutkannya di rumah. Claudia bisa bersipat bak malaikat jika berada di rumah, Claudia akan membelanya jika ia dimarahi ataupun Claudia bersedia menangis untuknya hanya untuk mengambil perhatian semua orang di rumah. Berbanding terbalik dengan Claudia di kampus yang menjadi ratu kampus disukai banyak orang dan sering merendahkannya.
Kania berjalan masuk ke dalam rumahnya, terlihat ada beberapa mobil terpakir di depan rumahnya. Ia jadi penasaran siapa yang datang.
“Assalamualaikum,” salam Kania.
Semua orang menoleh ke arah sumber suara.
“Waalaikumsalam.”
“Kania, duduk dulu sini,” ajak Mila—nenek Kania.
Kania melangkah mendekat ke arah neneknya, ia penasaran apa yang akan dikatakan neneknya tidak biasanya neneknya bersikap baik begini.
“Ini kenalin tante Anella dan om Aditiya anak teman kakek dan nenek,” ucap Mila dengan ramah sambil mengelus tangan Kania.
Kenapa rasanya sakit sekali batin Kania melihat tangan neneknya bertengker manis di tangannya.
“Ini yang namanya Kania, manis ya, Yah,” puji Anella dengan tulus.
“Iya Bun, cocok banget sama anak kita,” balas Aditiya sambil tersenyum ke arah semua orang.
“Ouh iya sampai lupa tujuan kita ke sini, jadi begini nak tan-“ Belum sempat Anella berucap Dania langsung menyela.
“Ada baiknya kita makan dahulu,” sela Dania cepat.
“Kania, kamu ganti baju dulu gih, nanti turun ikut makan malam,” sambungnya lagi.
Kania mencoba memahami situasi, ia tidak mengerti apa yang terjadi dan siapa wanita paruh baya yang ada di rumahnya. Perasaannya mendadak tidak enak mengingat apa yang dikatakan Anella tadi, 'Cocok banget buat anak kita yah'
“Apa aku akan menjadi tumbal lagi?” gumam Kania, yang sedang berada di depan cermin.
“Kania, semua orang nunggu lo di bawah, cepat.” Claudia membuka pintu kamar Kania dengan kasar.
“Iya ini mau turun,” ucap Kania melangkah menuju pintu.
“Lelet banget jadi orang,” cemeeh Calaudia, sesekali ia mendorong bahu Kania agar melangkah lebih cepat.
Kania hanya diam tak menjawab perkataan Claudia, ia membiarkan saja Claudia berbuat semena-mena padanya.
“Kania, jadi tujuan om dan tante ke sini, buat ngelamar Kania untuk anak om,” jelas Aditya pelan-pelan ia tak mau perjodohan ini menjadi beban Kania.
“Iya Nak, kamu mau kan?” tanya Wahyu—ayah Kania dengan lembut, ia sangat berharap Kania mau. Ia tidak ingin mengorbankan Claudia dalam hal ini biarkan saja Kania yang berkorban.
"Pa, apa Kania bukan anak papa sehingga Papa nyakitin Kania berkali-kali," batin Kania menatap dalam ke arah papanya.
Sekilas ia melihat mamanya menatap sendu ke arahnya. Kania tau mamanya ditekan oleh nenek dan papanya agar ikut mendukung pernikahan ini. Apa yang harus Kania lakukan jika sudah begini, jika ia menolak mamanya juga akan menjadi sasaran amukan papanya.
Mungkin ini yang terbaik, semoga berakhir bahagia batin Kania.
“Tapi, Pa Kania masih kuliah,” ucap Kania melakukan pembelaan.
“Kamu masih bisa kuliah Nak, kami akan membiayai kuliah kamu,” kata Anella menyakinkan Kania.
“Bukan begitu Tan, Kania juga punya mimpi Kania juga in—iya Kania setuju,” ucap Kania cepat setelah melihat papanya mencengkram erat tangan Mamanya. Seakan-akan papanya mengancamnya jika tidak ingin mamanya kenapa-napa ia harus menerima pernikahan ini. Ia tidak tega melihat mamanya kesakitan seperti itu.
“Makasih sayang, makasih banget sayang,” ucap Mila memeluk Kania.
Lalu ia berbisik. “Pilihan yang tepat anak bodoh,” bisik Nenek di sela pelukannya.
Kania hanya tersenyum paksa menanggapi semua orang, sepertinya sudah cukup ia disakiti sudah cukup ia mengalah. Sudah cukup ia diberlakukan tidak adil.
Tahan sebentar lagi Kania kamu bisa pergi dari rumah ini batin Kania. Berkali-kali ia menarik napas agar amarahnya tak meledak.