Ujian

1543 Kata
Anak panah yang aku lepaskan melesat dengan sangat cepat menuju landak besi yang berjarak sekitar dua puluh lima meter dari ku. Saat anak panah itu mencapai tubuh bagian punggung landak besi itu, landak itu ter pental sekitar dua meter dari tempat dia berada tadi, padahal landak besi itu berukuran cukup besar, mungkin sebesar domba di bumi. Aku tak menyangka bahwa aku menjadi sekuat ini. “Uwaahh mungkin ini akibat skill Growth milik ku” ucap ku karena takjub. Aku pun berlari menghampiri Landak besi tadi untuk melihat apakah panah itu memang mengandung efek racun yang aku Enchant atau tidak. Namun sesampainya di tubuh landak itu aku agak kecewa dengan hasilnya karena aku tak bisa tau apakah itu berhasil atau tidak karena landak besi tadi mati seketika dengan punggung yang hancur karena kekuatan ku. “Entah aku harus senang atau tidak, saat ini mungkin aku bocah berumur 10 tahun terkuat yang ada di dunia ini” ucap ku sambil menggaruk-garukkan kepala ku. “Namun ini jauh dari tujuan awal ku, aku harus lebih banyak melatih diri ku” Hal itu yang ku pikirkan karena untuk mencapai tujuan ku yaitu membunuh Tuhan maka aku harus menjadi sangat-sangat kuat hingga tidak mungkin bisa dikalahkan oleh siapapun. Dengan adanya skill Growth dan yang lainnya juga skill yang aku miliki dari Varen maka aku harus bisa mencapai titik dimana aku tak terkalahkan. Karena hari sudah hampir gelap aku mulai berjalan pulang ke rumah sambil berpikir tentang apa yang akan aku lakukan di masa depan. Aku berpikir apa aku harus menunggu berumur lima belas tahun untuk mulai berkelana atau aku harus mulai saat ini juga karena mengingat apabila aku terus menerus ada di pedesaan ini maka aku tak akan bisa berkembang. Sesampainya di rumah aku membicarakan hal ini pada kedua orang tua ku. “Ayah... Ibu... apa aku bisa berkelana saat ini?” Seketika ayah memberhentikan tangannya untuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya. “Kenapa Arvin? Apa kau rindu dengan kedua kakakmu?” Tanya ayah. “Uhm bukan begitu, aku hanya ingin mulai berkelana sekarang sehingga aku tak berumur 20 tahun ketika kembali kesini” ucap ku sambil mencari-cari alasan. “Tidak Arvin kau masih terlalu kecil” ucap ibu sambil memandangi ku. “Hmm mari kita putuskan besok pagi, untuk sekarang ayo makan dan tidur” ucap ayah. Saat itu aku belum menyadari apa maksud ayah tentang memutuskannya besok, aku hanya masuk ke kamar ku dan tidur, hingga keesokan harinya. (Braaaakkk) suara pintu di buka dengan keras “Ayo kita mulai ujian nya” Ucap nya dengan wajah serius. Aku yang terkejut akan suara pintu itu secara naluri langsung melompat dan bersikap waspada di pojok kamar ku. Namun saat sadar yang datang adalah Ayah maka aku menurunkan penjagaan ku dan mulai berjalan mendekatinya. “Ujian? Ujian apa yah” tanya ku. “Kau bilang kau ingin berkelana di umur mu yang sekarang maka kau harus lulus dari ujian yang kuberikan Arvin” jawabnya. “Setelah kau membasuh muka mu langsung datang ke halaman biasa kita berlatih” tambahnya. Aku pun langsung menyadari maksudnya dan langsung bergegas membasuh muka dan mengganti baju. Sesampainya di halaman belakang ayanh sudah menunggu dengan memegang pedang yang terbuad dari besi namun kurasa tidak tajam karena terlihat dari pinggiran yang dia mainkan. Sedangkan di belakang ada ibu yang duduk sepertinya dia akan menyaksikan ujian yang di berikan oleh ayah. “Arvin cepat ambil pedang yang ada di situ an kemari” ucap Ayah sambil menunjuk pedang yang ter jejer rapi di samping pintu belakang. “Ambil mana pun yang kau inginkan dan cepat kesini” tambahnya. Aku pun memilih pedang-pedang itu dengan seksama dan pilihan ku jatuh pada pedang yang seimbang, tak terlalu berat tak terlalu ringan dan tak terlalu panjang namun tak terlalu pendek. Atau bisa dibilang pedang sejenis ini sangat cocok dengan ku namun semua pedang yang ada disini tidak ada yang tajam satu pun. Saat telah selesai memilih pedang aku menghampiri Ayah. “Ayah kenapa semua pedangnya tidak ada yang tajam” tanya ku pada Ayah. “Kita akan bertarung sekarang dan itu alasan mengapa pedangnya tidak tajam” jawabnya sambil menunjuk ku dengan pedang yang dia pegang. “Hah? Apa kau serius?” tanya ku kembali “Keluarkan semua kemampuan mu untuk saat ini karena aku tak akan mengalah seperti biasanya” ucap Ayah sambil berjalan menjauh. Aku agak kaget dan sedikit marah dengan apa yang Ayah katakan. Dia mengalah setiap latihan untuk membuat ku menjadi percaya diri dan puas akan kemampuan ku yang sedikit berkembang. Maka dari itu aku akan mengalahkannya dengan segala kemampuan ku. “Sayang kau yang memimpin aba-abanya” kata Ayah pada Ibu. “Kalau begitu kalian bisa mulai ketika batu yang kulemparkan jatuh ke tanah” ucap ibu. Aku dan Ayah saling mengambil jarak dan memulai kuda-kuda kami masing-masing. Seperti biasa Ayah menggunakan kuda-kudanya yang biasa di pakai. Sedangkan aku memakai kuda-kuda yang di pakai Varen saat akan melawan musuh yang kuat dimana aku hanya berdiri biasa dengan menggenggam erat pedang ku. “ Bersiap” ibu berteriak. Saat ibu berteriak aku merasa tekanan yang amat sangat kuat yang di keluarkan oleh ayah saat dia menyalurkan inti mananya ke seluruh tubuhnya. Namun aku tak terpengaruh akan hal itu dan juga melakukan hal yang sama. Setelah itu Ibu melemparkan batu ke atas dan belum sampai satu detik batu itu menyentuh tanah. Ayah langsung menyerang ku dengan menusuk kan pedangnya dengan sangat cepat dan lurus kearah leher ku, memang serangan Ayah berbeda dari sebelumnya, lebih kuat dan sangat cepat namun tak mustahil aku tangkis. Aku menangkis serangan Ayah dengan menggunakan bagian fuller pedang ku dan membelokkan serangannya meskipun tubuh ku sedikit terpental karena serangannya. Aku sekarang mengerti mengapa dia menahan diri di setiap latihan kami. Karena mungkin kami akan seketika mati saat dia serius, namun hal itu tak berlaku pada ku. Dengan memanfaatkan keseimbangan tubuh ku yang kehilangan pijakan Ayah mencoba menebas ku dengan cara memutar tubuh nya sambil mengayunkan pedang sekuat tenaga namun masih bisa aku tangkis meskipun membuat aku menjadi ter pental karena perbedaan ukuran tubuh kami. “Ugh... jadi begini jika Ayah serius” ucap ku sambil bangun dari tempat ku terjatuh. “Lalu kenapa Ayah terus mengalah saat latihan?” “Ingin aku puas akan kemampuan ku?” “Atau ingin aku tidak berkembang?” Aku mengatakannya dengan keras karena merasa kecewa dengan perlakuan Ayah terhadap ku. Saat itu juga ayah melancarkan serangannya menggunakan sihir angin menyebabkan pohon di belakang ku menjadi bolong saat aku menghindar. “Baiklah jika itu yang Ayah inginkan maka aku akan melawanmu sekuat tenaga” Aku berlari ke arah Ayah berdiri dengan melancarkan beberapa serangan tipuan dan mencoba menyerang ulu hatinya namun Ayah dapat menghindar dengan mudah karena langkah ku yang terlalu kecil untuk membuat serangan mendadak. Perbedaan kami terlihat jelas disini karena tubuh ku yang sekarang masih jauh lebih lemah dan kecil dari pada dulu. Aku hanya dapat mengadalkan insting dan perkiraan untuk menghindari semua serangan Ayah dan menyerang balik mengandalkan momentum dari serangan yang ayah luncurkan. Pada saat krusial ini aku melihat bayangan tentang serangab apa yang akan ayah keluarkan beberapa detik kedepan namun karena perbedaa tubuh kam, aku terkena serangan dari ayah. Braaaakkkk.... brughh Sebuah tinjuan dari Ayah mengenai punggung ku dan menyebabkan aku terpentak hingga menabrak pohon dan sesaat kehilangan kesadaran diri. Dalam waktu sesaat itu aku mendengar suara ku saat masih di bumi mengatakan suatu hal. “JIKA KAU TAK BISA MENGALAHKANNYA MAKA BALAS DENDAMMU HANYA AKAN MENJADI MIMPI” Saat itu juga aku ter sadar dan merasa sangat marah, aku bangun dari jatuh ku dan menatap dimana ayah sedang berdiri “Dia harus aku kalahkan” pikir ku. Seluruh tubuh ku mengeluarkan petir hitam yang hampir menyelimuti ku. Petir hitam ini adalah hasil latihan ku secara diam-diam dari beberapa tahun lalu. Petir hitam ini merupakan elemen lanjutan dari api hitam milik Varen yang dia turunkan pada ku. Aku melihat Ibu dan Ayah terkejut dengan Petir hitam Yang aku keluarkan namun mereka masih tak menghentikan ujian ini. “Hah baiklah jika ini mau mu” ucap ku Aku mengambil ancang-ancang untuk menyerang Ayah dan dengan sekejap aku sampai di dekatnya dan menebas tubuh bagian bawahnya namun dia masih bisa menghindar. Sambil mengeluarkan elemen anginnya Ayah mencoba menyerang ku kembali namun belum sampai pedangnya ter ayun aku memotong pedang yang dia pakai dengan pedang ku yang telah aku aliri dengan petir hitam ku. Saat pedangnya terpotong Ayah dengan cepat melompat menjauh dari ku. Pedang ayah yang terpotong masih menyisakan bagian gagang dengan sedikit bilang pedang yang di atasnya ada api hitam yang menyala. Aku berusaha tak memberi Ayah waktu untuk menyerang ku kembali karena tubuh ku sudah sangat kelelahan dan hampir mencapai batas ku. Dengan cepat aku berlari kearah nya dan menyerang tangan kanannya saat dia lengah. Craassshhh Aku berhasil menyerang lengannya dengan meninggalkan sedikit luka, namun aku kecewa karena serangan ku kurang dalam. Aku langsung berbalik arah dan mengarahkan pedang ku ke arah dagunya namun ayah berhasil menghindar kembali dari serangan itu meskipun aku berhasil melukai dagu nya sedikit. Saat akan menyerangnya kembali pandangan ku mulai buram dan bergoyang-goyang tubuh ku sudah mencapai batasnya dalam menggunakan petir hitam ini. Brughhhh.... Aku jatuh ter kapar dengan dengan tangan yang masih menggenggam pedang ku. Disaat kesadaranku akan hilang aku mendengar suara Ayah dan Ibu menanggil ku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN