Aku bermimpi tentang Latihan yang di lakukan oleh Varen. Berlari naik turun gunung sampai mencapai batas tubuhnya dan menambah jarak larinya setiap hari. Latihan fisik sambil di pukuli oleh gurunya. Latihan yang amat sangat keras deng jeda istirahat yang semakin memendek setiap waktunya karena hasrat untuk menjadi kuat. Mengendalikan api hitam yang dia miliki dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi mengingat api itu bukanlah api biasa. Sampai di titik dimana ketika dapat mengalahkan sang guru.
Aku perlahan membuka mata dan melihat langit-langit yang sangat familiar, sepertinya aku berada di kamar ku sekarang tepatnya di atas kasur.
“Ugh... seluruh tubuh ku terasa sakit”
Itulah yang aku rasakan saat akan mencoba bangun dari kasur ku. Dan aku melihat hari sudah malam dari jendela ku
“Sepertinya aku terlalu memaksakan diri” ucap ku sambil memegang kepala karena terasa agak sakit.
Terlihat ada sebuah tangan tergeletak di atas paha ku. Tangan yang putih bersih terlihat sangat familiar. Ternyata Ibu sedang tertidur dengan posisi duduk di kamar ku. Mungkin dia khawatir saat aku tak sadarkan diri dan menunggu ku bangun.
Tap... tap... tap...
Suara langkah kaki terdengar dari luar kamar ku dan Ayah masuk sambil membawa nampan berisi makanan.
“Arvin kau sudah sadar,” ucapnya sambil mendekati ku.
Aku hanya membalas ucapannya dengan senyum kecil. Setelah kejadian tadi pagi aku agak tidak enak untuk berbicara dengannya.
“Syukurlah kau tak apa-apa, Ayah sudah sangat khawatir saat kau jatuh pingsan” ucapnya.
Setelah menaruh nampan tadi dia duduk kursi yang ada di sebelah kasur ku.
“Maafkan Ayah karena sudah berlebihan tadi pagi,”
Saat mengatakan itu Ayah menundukkan kepalanya dan menunjukkan ekspresi yang sedih. Aku melihat perban yang diikatkan di lengan bagian kanan dan sebuah plester luka di dagu. Aku tak dapat menatap ayah saat ini karena luka-luka itu aku yang melakukannya.
“Apa kau tau kenapa Ayah selalu menahan diri saat berlatih dengan mu?” ucapnya
“Karena Ayah tau kau kuat, Ayah tau kau sangat berbakat, kedua kakak mu itu berbakat tapi kau lebih berbakat dari pada mereka hingga sampai ke tingkat yang mengerikan.”
Saat mengatakan ini tangan Ayah gemetar. Aku tak ingin mengatakan apa-apa saat ini namun demi mencairkan atmosfer yang berat ini.
“Tidak apa-apa, Ayah sudah melakukan yang terbaik untuk melatih ku, justru aku minta maaf karena telah berkata kasar sebelumnya”
Saat Ayah mendengarkan perkataan ku dia mulai tenang dan tersenyum.
“Terima kasih nak” ucap ayah padaku
Ayah pun bangun dari kursi yang dia duduki dan memeluk ku dengan lembut.
“Istirahatlah untuk sekarang, besok kita akan bicara tentang kepergian mu” ucapnya sambil melepas pelukannya pada ku.
“Biarkanlah Ibumu tidur disini bersama mu untuk malam ini, saat kau pingsan dia menjadi sangat khawatir bahkan Ayah sampai di tampar olehnya” ucapnya sambil menggosok-gosok pipi kirinya.
“Maaf tentang itu” jawab ku sambil tertawa kecil.
“Kalau begitu selamat malam nak”
Ayah pergi keluar dari kamar sambil menutup pintu kamar. Aku yang sedari tadi merasa tak nyaman karena rasa sakit yang tubuh ku rasakan. Aku menutup mata dan mencoba meredakan rasa sakit di tubuh ku dengan cara menyalurkan energi dari inti mana ku ke seluruh bagian tubuh ku. Pelan namun pasti setiap bagian tubuh yang terasa sakit mulai mereda. Karena merasa terlalu kelelahan akibat menggunakan inti mana saat terluka aku menutup mata ku dan tidur.
Aku bangun saat subuh seperti biasanya saat orang orang di rumah belum ada yang terbangun, melihat ibu sudah tidak ada di kamar ku saat ini dan karena merasa rasa sakit di tubuh ku telah membaik aku pun menyelinap pergi keluar rumah dan melakukan lari pagi seperti biasa mengelilingi desa sambil berpikir tentang apa yang Ayah katakan pada ku tadi malam.
“Mungkin ini akibat skill Growth milik ku” pikir ku.
Skill Growth ini memang sangat lah mengerikan dimana gambaran aslinya seperti aku mengalahkan 1 lawan namun pengalaman dan kekuatan yang aku peroleh sama seperti mengalahkan tiga orang yang sama. Aku masih tak tau sampai mana batas dari skill ini namun skill ini sangat berguna untuk menjadikan ku kuat.
Sesampainya di rumah, aku masih melakukan latihan fisik seperti push up, sit up dan squat sampai benar-benar kelelahan. Sampai dimana tangan ku tak dapat menaik lagi ketika push up aku tak berhenti melakukannya. Sampai perutku terasa nyeri sekali ketika aku melakukan push up. Bahkan sampai kaki ku bergetar karena banyaknya squat yang aku lakukan barulah aku berhenti melakukannya. Semua itu aku lakukan setiap pagi saat subuh sampai sebelum sarapan.
“Arvin ayo sarapan” teriak ibu dari dalam rumah
“Baik”
Aku langsung bangun dan bergegas menuju ruang makan. Di meja makan terlihat Ayah yang sedang mengelap pedangnya yang biasa dia kenakan untuk berburu binatang di hutan.
“Sayang jangan bawa pedang mu ke meja makan” ucap ibu sambil membawa makanan dari dapur.
“Haha maaf aku akan menaruhnya sekarang” jawab ayah.
Aku pun duduk dan mulai memakan makanan yang ada di piring ku saat ini. Saat sedang menikmati makanan Ayah tiba-tiba berbicara.
“Arvin kau boleh berkelana lebih awal dari pada saudara-saudara mu”
Aku sedikit tersedak saat mendengar perkataan Ayah.
“Uhuk uhuk uhuk ehm benarkah Ayah?” tanya ku.
“Iya tapi bukan sekarang” tambah Ibu memandang ku.
“Kau bisa berkelana saat berumur 13 tahun” ucap ibu.
Aku terdiam sambil memikirkan tentang perkataan dari ayah. Tiga belas tahun itu berarti tiga tahun lagi, meskipun kecewa karena tidak bisa berkelana sekarang namun aku berusaha menyemangati diri ku sendiri. Lebih baik tiga belas tahun dari pada lima belas tahun.
“Alasan kami memperbolehkan mu yaitu karena mungkin kami tidak cukup layak mengajari mu” tambah Ayah sambil makan dengan tenang.
“Seni berpedang mu, sihir, keterampilan bela diri, pengetahuanmu semuanya diatas rata-rata anak-anak seumuran mu bahkan orang dewasa pun cukup sulit melakukannya”
“Ada yang ingin kau katakan?” ucap Ayah.
Aku pun berdiri sambil membungkuk kan badan
“Terima kasih Ayah Ibu karena membolehkan ku untuk berkelana lebih awal”
Saat itu juga ibu bangkit dari duduknya kemudian berjalan kearah ku dan memeluk tubuh ku dengan kuat sambil menangis.
“Kenapa kau ingin pergi secepat ini nak, jadilah Arvin kecil ku yang polos dan cengeng seperti dulu” ucap ibu sambil menangis.
“Tenanglah Ibu masih ada 3 tahun untukku untuk mulai berkelana, lagi pula aku tak akan pergi selamanya” ucap ku berusaha menenangkan ibu.
“Tenanglah Sayang, anakmu pergi bukan untuk berperang” ucap ayah sambil cengengesan.
Saat ibu sudah tenang kami pun melanjutkan sarapan kami dan setelah selesai sarapan aku pergi untuk membersihkan diri dan kembali ke kamar ku untuk melatih inti mana. Keesokan harinya setelah melakukan rutinitas keseharian ku. Aku bertanya tentang pembuat senjata yang ada di desa ini.
“Ayah di mana pembuat senjata di desa ini”
“Hmm? Apa kau ingin membuat senjatamu sendiri nak?” jawab Ayah.
“Tidak, aku hanya penasaran bagaimana pedang di buat”
“Kalau begitu mari pergi ke tempat teman Ayah”
Dengan begitu aku pun pergi bersama Ayah untuk melihat bagaimana proses pembuatan pedang. Dan kami pun sampai pada toko senjata yang bernama Megalo Oplo. Dan aku terkejut saat masuk kedalam toko ini karena banyak sekali pedang dan armor dengan berbagai jenis disini, bahkan banyak item sihir dan inti binatang magis yang beraneka macam.
“Apakah pedang mu rusak lagi Rodney hingga kau kesini?” ucap seseorang dari balik pintu yang tertutup.
Saat pintu terbuka seorang dwarf muncul dengan jenggotnya yang agak panjang sambil memakai celemek ala pandai besi.
“Yoo Hoobs bagaimana pedang yang kemarin” ucap ayah pada pria itu.
“Aku tak tau Monster apa yang menyebabkan pedang mu menjadi seperti itu, pedang itu terbuat dari baja mhitril yang sangat kuat bahkan sebanding dengan pedang yang di buat dari naga kristal” ucap pria itu sambil menyalakan sebuah rokok.
“Ahh mengenai itu, perkenalkan dia adalah anak ku, Arvin ayo beri salam” ucap ayah pada ku.
“Salam kenal paman Hoobs nama ku adalah Arvin Claymore senang bertemu dengan anda” ucapnlu dengan sopan.
“Kau sangat berbeda dengan Rodney yang selalu bertingkah konyol” ucapnya sambil mengelus kepala ku.
“Jadi apa maksud mu mengenai itu huh?” tanya dia pada Ayah.
“Uhm dialah yang membuat pedang ku patah” ucapnya sambil tertawa.
“jadi begitu dia yang memotong nya” ucap paman Hoobs
“Eh?”
Paman Hoobs melihat ku dan melihat Ayah kemudian melihat ku kembali sambil menunjuk kearah ku dengan ekspresi kaget.
“J-jadi d-dia yang m-memotong nya?” ucap paman Hoobs dengan terbata-bata sambil menunjuk ku dengan tangan yang sedikit bergetar.
“Ya... dia memotong nya saat kami berdua berduel dengan serius, tidak hanya itu dia juga berhasil memberi ku luka” ucap Ayah sambil mengangguk-anggukan kepalanya dengan mata terpejam.
“Huuhhh? Jadi dia yang membuat mu terluka?”
Paman Hoobs melihat ku dengan menunjukkan ekspresi yang membingungkan bahkan rokok yang dia hisap menjadi terjatuh.