Nada baru saja menginjakkan kaki keluar dari lift. Udara sejuk dari pendingin ruangan langsung menyambut, bercampur dengan aroma kopi yang samar-samar tercium dari lantai bawah. Jam istirahat siang baru dimulai. Suara riuh obrolan karyawan terdengar dari berbagai sudut, sebagian terburu-buru ke pantry, sebagian lain menuju kafe yang ada tepat di bawah gedung megah NCMG—tempat Nada bekerja.
Nada melangkah pelan, tangannya masih menggenggam ponsel yang tadi ia simpan tergesa. Hari ini cukup melelahkan, meeting sejak pagi membuat kepalanya terasa penuh. Ia butuh waktu untuk sekadar duduk, meneguk segelas kopi hangat, dan menikmati makanan sederhana.
Namun langkah itu tiba-tiba terhenti.
Di depannya, seorang wanita berdiri dengan penuh wibawa. Cantik, elegan, berkelas—dengan pakaian branded yang jatuh sempurna mengikuti lekuk tubuhnya. Rambut panjangnya bergelombang, tersisir rapi. Parfum mewah yang ia kenakan menusuk hidung, aroma yang tak mungkin salah dikenali. Nada seolah menabrak dinding tak kasat mata.
“Mau apa kau ke sini? Mau melamar kerja? Apa kau pikir kau pantas berada di sini? Jangankan jadi staf, bahkan jadi OB pun, kau tidak pantas,” ucap wanita itu dengan nada pedas.
Nada tersenyum tipis. Ia mencoba menyingkir tanpa menjawab. Tetapi sebuah tangan tiba-tiba mencengkeram rambutnya kasar, menarik hingga tubuhnya nyaris jatuh. Refleks Nada menahan keseimbangan. Ia mendesah, menahan sakit, lalu menoleh.
“Aku tidak punya masalah denganmu, Luna. Jadi tolong, jangan ganggu aku,” ucap Nada, tegas namun penuh penekanan.
Luna mendekat, melipat tangan di d**a. Tatapannya menusuk, seolah ingin merobek kepercayaan diri Nada.
“Aku heran, kenapa kau selalu saja hadir dalam hidupku. Dasar wanita kampungan.”
Tangan Luna hampir saja melayang ke pipi Nada. Namun Nada dengan cepat menangkap pergelangan itu. Suara tepukan tertahan membuat beberapa karyawan yang lewat spontan menoleh.
Nada berdiri tegak. Ada api yang menyala di matanya. Ia ingat semuanya.
Dulu, kau bisa berbuat semena-mena terhadapku, Ratih. Kau tersenyum manis di depan semua orang, tapi di belakang menusukku habis-habisan. Kau merebut cinta suamiku. Kau mengatur siasat busuk hingga aku mati tanpa salah. Kau pikir aku lupa? Tidak. Aku akan pastikan semuanya berbalik padamu.
Nada kembali mengingat masa lalunya sebagai Kirana, dan Ratih adalah wanita yang dulu merebut kepercayaan dan cinta suaminya dari diri Kirana.
“Luna, kenapa kamu begitu berambisi dengan wanita biasa sepertiku? Bukankah kamu sendiri yang mengatakan kalau kita ini tidak selevel? Aku hanya gadis kampung biasa, sementara dirimu? Kau gadis kaya yang bergelimang kemewahan. Jadi buat apa kamu cari masalah denganku, Luna?” Nada tersenyum miring. Jelas ia mengejek dengan kalimat yang sangat halus.
Mendengar ucapan Nada, Luna semakin panas. Ia kembali mencoba menampar, tapi sekali lagi Nada menangkis. Bahkan kali ini ia menggenggam tangan Luna kuat-kuat. Mata mereka beradu, tajam seperti pisau yang siap menebas.
“Auhh….” Tiba-tiba Luna berteriak. Ia menjatuhkan dirinya sendiri ke lantai ketika melihat seseorang menghampiri.
Nada menghela napas. Masih sama. Bahkan setelah puluhan tahun pun trikmu tetap murahan, Ratih, batinnya.
Seorang pria muda dengan postur gagah mendekat. Pakaiannya rapi, mengenakan jas berwarna navy yang membuatnya terlihat sangat berkharisma.
“Apa yang terjadi, Luna?” tanyanya lembut seraya membantu Luna berdiri tegap.
Luna menunjuk Nada dengan tangan kirinya. Namun seketika ia pegang sikunya dan mulai berpura-pura cedera.
“Dia berusaha mencelakaiku. Apa dia melamar kerja di sini? Kalau iya, cepat hubungi HRD dan katakan, buang saja berkas lamarannya karena tidak ada tempat untuknya di sni. Jangankan staf, OB pun tidak akan pantas untuknya.” Suara Luna menggema, penuh amarah.
Kejadian itu menarik perhatian orang yang tiba-tiba saja melintas. Sebagian dari mereka langsung pergi dan berusaha tidak peduli. Namun Sebagian lagi mencoba mengintip dari balik lorong, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Sorot mata tajam menghujam ke wajah Nada. Bibir pria itu memang belum mengungkapkan sepatah kata, namun pandangannya seolah menginterogasi dengan kejam.
Nada menghela napas sesaat. “Tidak perlu bertanya kepadaku tentang apa yang sebenarnya terjadi. Bukankah perusahaan ini adalah perusahaan besar? Setiap sudut ruangannya ada CCTV bukan? Bahkan punya sistem keamanan yang canggih. Jadi kalau mau tahu apa yang sebenarnya terjadi, tinggal buka CCTV dan beres,” ucap Nada singkat penuh rasa percaya diri, lalu mencoba berlalu.
“Tunggu!”
Sebuah suara bariton menghentikan langkah kaki Nada. Ia pun perlahan berbalik dan menatap sumber suara.
“Apa kau tahu dengan siapa kau bicara saat ini?” ucap suara itu lagi.
Nada menyilangkan tangan di d**a. Tatapannya datar, tak gentar. “Siapa pun anda, saya yakin anda tidak akan menelan mentah-mentah fitnahan seseorang. Itu juga kalau anda lelaki bijak. Tapi kalau tidak, artinya anda lelaki lemah. Jangan sampai lelaki seperti anda ini, menjadi pimpinan di sebuah perusahaan, apalagi perusahaan sebesar ini.”
Kalimat itu mungkin kalimat biasa, namun tidak biasa ketika keluar dari bibir Nada. Sarkasme begitu kentara, menggetarkan dan mampu memecah emosi seseorang.
Sang pria merapikan jasnya, berjalan mendekat ke arah Nada.
Nada melepaskan tangannya dari d**a. Berdiri tegap, siap siaga jika sewaktu-waktu hal yang tidak ia duga akan menimpanya. Sebelum menginjakkan kaki ke Jakarta, Nada sudah berlatih ilmu beladiri. Sejak sadar kembali sebagai Kirana, Nada mencoba membuat pertahanan diri agar tidak lemah dan mudah ditindas.
“Saya adalah Arfa Ardana. Pewaris tunggal Nusantara Capital & Management Group.” Suara Arfa berhenti sejenak. Matanya menyorot Nada dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu ia melanjutkan ucapannya. “Jadi tolong jaga batasan-batasan anda di sini.”
Bukannya takut, Nada malah tersenyum. Senyuman yang tidak biasa, sedikit mengejek.
Yang aku tahu kamu adalah Arya Pranaja. Pria yang paling keji yang tidak pantas disebut laki-laki. Batin Nada.
“Entah kenapa Tuhan mempertemukan kita lagi setelah puluhan tahun kita berpisah. Tapi aneh sih, kok sifatnya tidak berubah sama sekali.” Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari bibir Nada.
Arfa langsung mengernyitkan kening. “Apa maksud kamu? Apa kamu mengigau?”
Nada langsung tertawa. “Maaf… Maksudku, setelah lama tidak ketemu. Kalau nggak salah, kita pernah ketemu beberapa kali di kampus. Ah iya, terakhir kamu membantuku waktu aku didorong oleh Luna. By the way, makasih yaa….” Tanpa diduga, Nada malah mengulurkan tangannya ke arah Arfa.
Bukannya membalas uluran tangan Nada, Arfa malah membalik badan, merapikan jasnya dan menekan langkah kasar sebelum menghilang di balik pintu lift.
Nada mengalihkan pandangannya ke arah Luna. “Jadi dia anak direktur utama ya? Oh, aku baru tahu. Oiya, satu hal yang perlu kamu ingat, Luna. Aku ini adalah Nada, bukan Kirana. Jadi jangan main-main denganku. Satu hal lagi, aku adalah Assistant Manager Strategic Development di sini. Dan aku dapat rekomendasi khusus dari Prof. Mahendra Wiratama. Jadi aku bukan OB di sini. Aku harap kamu paham, Ratih.”
Nada segera membalik badan dan berlalu meninggalkan Luna di sana.
“Ratih? Kenapa wanita gila itu menyebut namaku Ratih? Jangan-jangan dia memang sudah gila. Kenapa om Surya mau menerima karyawan gila seperti dia?” bisik Luna gemetar, nyaris tak terdengar.
Lorong itu kembali sepi, hanya menyisakan aroma parfum mahal Luna yang kini bercampur dengan hawa tegang yang belum hilang.