Januari, 2024. Kota Jakarta.
Kereta jarak jauh yang Nada tumpangi perlahan melambat saat memasuki Stasiun Gambir. Suara pengeras suara mengumumkan kedatangan mereka di Jakarta, kota yang selama ini hanya ia kenal dari layar televisi, berita, dan cerita-cerita perantau yang kerap ia dengar ketika masih duduk di bangku kuliah.
Nada menarik napas panjang. Suara deru mesin, langkah kaki yang tergesa-gesa, dan wajah-wajah asing yang berlalu lalang seolah menjadi sambutan pertama baginya. Jakarta, kota yang katanya tidak pernah tidur. Kota yang bisa menelan siapa saja yang lengah, tapi juga memberi sayap bagi mereka yang berani melawan arus.
Bagi sebagian orang, datang ke Jakarta berarti memulai perjuangan dari nol. Tapi bagi Nada, langkah pertamanya di kota ini justru terasa seperti sebuah “pengulangan takdir”. Seolah ia pernah ada di sini, seolah kota ini menyimpan sesuatu yang pernah ia tinggalkan. Namun, ia menepis pikiran itu. Ia bukan Kirana lagi. Ia adalah Nada Putri Prameswari, lulusan terbaik Universitas Gadjah Mada, Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Bukan sekadar lulus dengan predikat cumlaude, ia juga sempat menjadi finalis ajang internasional dalam bidang riset pasar dan strategi manajemen. Tak heran, saat ia melamar ke salah satu perusahaan konsultan ternama di Jakarta, ia langsung mendapat panggilan. Yang lebih mengejutkan, Nusantara Capital & Management Group (NCMG)—perusahaan besar dengan klien dari berbagai negara—tak hanya menerimanya sebagai staf biasa, tetapi langsung menawarkan posisi Assistant Manager Strategic Development.
Sebuah jabatan yang biasanya hanya diduduki oleh mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja dan membuktikan diri.
Nada tahu, ia beruntung. Tapi keberuntungan itu tidak datang begitu saja. Ada campur tangan seseorang. Salah satu dosen paling disegani di kampusnya, Prof. Mahendra Wiratama, memberikan rekomendasi langsung kepada dewan direksi NCMG. Nama besar sang profesor, yang kerap menjadi pembicara di forum ekonomi dunia, menjadi tiket emas bagi Nada.
Namun, tentu saja, NCMG tidak gegabah. Mereka meneliti rekam jejaknya, menimbang prestasinya, dan akhirnya yakin bahwa Nada adalah aset yang pantas dipertaruhkan.
Keluar dari stasiun, Nada mendongak menatap langit Jakarta yang terhalang gedung-gedung pencakar langit. Matanya menyipit karena sinar matahari yang menyengat. Udaranya berbeda—lebih padat, lebih bising, dan lebih terasa ambisi. Ia menggenggam erat pegangan koper, lalu menariknya dengan mantap.
“Selamat datang di dunia barumu, Nada,” gumamnya lirih, seolah sedang menguatkan dirinya sendiri.
Ia menyalakan ponselnya. Satu pesan masuk dari nomor yang sudah ia simpan semalam—nomor asisten HRD NCMG.
“Selamat pagi, Mbak Nada. Besok pukul 09.00, kami tunggu kedatangannya di Gedung NCMG Tower, Jl. Jendral Sudirman. Kami sudah menyiapkan dokumen kontrak dan tim penyambutan. Terima kasih.”
Nada tersenyum tipis. Besok adalah hari yang akan menandai langkah barunya.
***
Malam itu, ia menginap di sebuah kos eksklusif yang direkomendasikan oleh salah satu temannya di Jakarta. Kamarnya tidak luas, tapi cukup nyaman untuk memulai hidup baru. Dari jendela lantai lima, ia bisa melihat cahaya lampu kendaraan yang tak pernah padam, mengalir deras di jalan raya.
Ia menyalakan laptop, membuka kembali folder yang berisi semua portofolio, hasil riset, dan paper internasional yang pernah ia buat. Semua itu adalah senjata. Ia tahu dunia kerja tidak semanis dunia kampus. Apalagi dengan jabatan tinggi yang ia terima di usia muda, pasti ada mata-mata sinis, mulut-mulut yang meremehkan, bahkan orang-orang yang merasa terancam.
Namun Nada tidak gentar.
Ia mengingat masa lalu—bayangan samar Kirana dalam dirinya. Kehidupan lama yang penuh luka, dikhianati oleh orang yang ia cintai, dihancurkan oleh orang-orang yang ia percaya. Dalam hidup barunya, ia berjanji tak akan jatuh pada lubang yang sama. Jika dulu Kirana terlalu baik, terlalu percaya, maka Nada akan menjadi kebalikannya.
Ia akan tersenyum di luar, tapi menyimpan strategi di dalam.
***
Keesokan harinya, Nada berdiri di depan NCMG Tower, sebuah gedung berlapis kaca biru dengan ketinggian menjulang. Di bagian depan, terpampang logo perusahaan—sebuah lingkaran emas dengan huruf “NCMG” bergaya modern. Ia bisa merasakan tatapan orang-orang yang berlalu lalang, sebagian karyawan yang keluar masuk gedung, sebagian lagi sekadar melintas.
Nada mengenakan blazer hitam dengan blouse putih sederhana, rambutnya ia ikat rapi ke belakang. Penampilannya tidak berlebihan, tapi cukup untuk menunjukkan profesionalitas.
Saat melangkah masuk, resepsionis langsung menyambut dengan ramah. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?”
Nada menegakkan bahu. “Saya Nada Prameswari. Ada janji dengan HRD.”
Nama itu segera dikenali. Dalam sekejap, sikap resepsionis berubah lebih hormat. “Silakan naik ke lantai 25, Mbak. Tim HRD sudah menunggu.”
Nada mengangguk sopan. Ia pun mulai melangkah menuju lift, masuk ke dalamnya dan menekan nomor 25. Sebenarnya Nada cukup berdebar, tapi ia berusaha bersikap santai sebab hari ini kehidupan barunya akan dimulai.
Ruang rapat di lantai 25 dipenuhi dengan beberapa orang penting. Seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu, yang belakangan diketahui sebagai Direktur Utama Nusantara Capital & Management Group (NCMG), Bapak Surya Adipratama, menyambutnya dengan senyum tipis.
“Jadi ini Nada yang direkomendasikan langsung oleh Prof. Mahendra?” suaranya tegas, tapi tidak dingin.
Nada menunduk hormat. “Benar, Pak. Senang bisa bertemu dengan Bapak.”
Direktur itu meneliti sejenak, lalu mengangguk. “Saya dengar banyak tentang prestasimu. Tapi saya ingin lihat sendiri, apakah kamu memang pantas dengan posisi yang kami berikan.”
Nada tidak gentar sedikit pun. Senyumnya tenang, sorot matanya tajam.
“Beri saya waktu, Pak. Saya akan buktikan bukan hanya pantas, tapi juga layak menjadi salah satu aset terbaik perusahaan ini.”
Suasana ruang rapat seketika hening. Tatapan beberapa manajer yang hadir berganti-ganti, ada yang kagum, ada yang sinis, ada pula yang tampak khawatir. Nada tahu, sejak detik itu, ia sudah menjadi pusat perhatian.
Dan itulah yang ia inginkan.
Senyumnya merekah. Senyum yang bagi orang lain terlihat manis, tapi di baliknya tersimpan sesuatu—sebuah dendam lama yang perlahan mencari jalannya.