Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, Kirana pun akhirnya pulang. Ia menginjakkan kaki pertama kali di sebuah rumah yang sederhana. Rumah berlantai satu yang terletak di pinggiran kota Yogyakarta. Rumah yang sangat asing baginya.
“Apa aku tinggal di sini?” tanyanya lembut. Keningnya masih mengernyit, bingung.
Sang ibu—Damini—tersenyum ramah. “Iya, Nak. Ini rumahmu dan kita tinggal berdua di sini.
Lembut namun pasti, Kirana mengayunkan kepala dan mengalihkan pandangannya ke arah Damini. “Berdua? Tidak ada orang lain? Ayah atau saudara?”
Damini menggeleng. “Kamu anak tunggal. Ayahmu meninggal sekitar lima tahun yang lalu akibat kecelakaan kerja. Sekarang, kita hanya tinggal berdua. Oiya, kamu tahu. Sebentar lagi kamu akan wisuda. Termasuk sangat cepat, sebab prestasimu sangat luar biasa.”
Kirana hanya mengangguk lembut. Masih belum paham sepenuhnya, tapi ia akan berusaha untuk terbiasa.
Ketika masuk, aroma bunga yang lembut dan manis langsung menyambutnya. Aroma yang tidak asing, sama seperti rumah besarnya dulu. Sebab ibunya suka wewangian bunga itu dan setiap ruangan di rumah besarnya, akan diberi pewangi dengan aroma yang sama.
Aroma itu kembali membawa memorinya ke beberapa puluh tahun silam. Rumah megah, status sosial yang tinggi. Pelayan yang ramai dan Kekuasaan.
“Ada apa, Nada?” tanya Damini, lembut.
Pertanyaan itu menyentak lamun Kirana. “Maafkan Nada, Bu. Nada hanya… tidak terbiasa.”
Damini tersenyum lembut, menggenggam tangan kanan Kirana dan membawanya masuk ke dalam rumah. “Ibu, mengerti, Nak. Dokter bilang, benturan keras di kepalamu bisa saja membuatmu kehilangan ingatan. Tapi perlahan, ingatan itu pasti akan kembali. Ibu akan membantumu.”
Kirana tersenyum. Aroma wangi segar itu benar-benar mampu menenangkannya.
Kirana dibawa masuk ke sebuah kamar berukuran tiga kali empat meter. Memang tergolong sangat kecil dibanding kamarnya dulu bak istana di rumah megahnya. Tidak banyak pernak Pernik di sana. Hanya berdiri sebuah ranjang berukuran sedang serta sebuah lemari dua pintu dengan sebuah kaca besar di salah satu pintunya. Di bagian depan jendela, ada sebuah meja belajar kayu yang di atasnya tertata beberapa buku.
“Ini kamarmu. Istirahatlah, ibu akan buatkan bubur jagung kesukaannmu.” Damini akhirnya bersuara.
Kirana hanya tersenyum, mengangguk kecil dan membiarkan ibunya keluar dari kamar itu.
Sepeninggal Damini, Kirana masih memperhatikan kamar itu dengan seksama. Sangat amat berbeda, tapi ada satu yang sama: Aroma wangi bunga serta motif gorden jendela yang kembali mengingatkannya ke puluhan tahun silam.
Kirana menyibak gorden itu, Cahaya terang pun masuk ke dalam kamar Kirana. Ia buka jendelanya dan ia bisa merasakan udara segar menyentuh wajahnya.
Kirana duduk di kursinya, mengambil salah satu buku yang paling pertama menarik perhatiannya. Sebuah buku diary dan ia pun mulai membukanya.
“Ternyata ini adalah buku harian milik Nada. Sepertinya gadis itu suka sekali menulis. Sama seperti aku dulu,” lirih Kirana.
Halaman demi halaman mulai ia buka dan baca. Dari situ, ia tahu siapa Nada, apa keluh kesahnya dan bagaimana kepribadiannya.
Tiba-tiba pintu berderit, membuat Kirana tersentak. Ia menoleh ke belakang dan ternyata Damini sudah berjalan mendekat membawa sebuah nampan. Aroma wangi daun pandan dan jagung, membuat Kirana lapar.
Damini tersenyum, meletakkan nampan di atas meja lalu tersenyum. “Kamu memang suka sekali menulis. Kadang ibu heran, disaat gadis lain lebih senang nongkrong dan membuat status di sosial media, kamu malah senang menuangkan apa isi hati kamu di buku ini. Kamu bahkan tidak suka bermain sosial media.”
Sosial media? Apa itu? Pikir Kirana. Ia benar-benar seperti orang yang baru bangun dari tidur panjang selama puluhan tahun. Tidak tahu teknologi yang berkembang saat ini.
“Kamu bingung ya? Tidak mengapa. Ibu mengerti. Ya sudah, kamu istirahat saja. Ibu mau lanjut kerja. Kalau ada apa-apa, panggil saja ibu. Habiskan buburnya agar tubuhmu hangat.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Damini pun pergi meninggalkan Kirana sendirian di kamarnya.
***
Satu minggu kemudian…
Kirana baru saja sampai di kampusnya. Hari ini ada jadwal bimbingan. Ia sudah cukup lama libur setelah insiden kecelakaan yang menimpanya beberapa minggu yang lalu.
Namun pandangannya tertuju pada sekelompok orang dan mengusik fokusnya. Kirana melirik jam tangan, masih ada sejaman lagi waktu untuknya bimbingannya, jadi ia memutuskan untuk melihat apa yang sudah terjadi pagi ini.
“Gina, apa yang terjadi?” Kirana terkejut melihat Gina—salah satu sahabat Nada—dirinya sendiri—terduduk di aspal. Dengan sigap, ia membantu Gina untuk berdiri.
“Heh, ada anak cupu. Hahaha… Akhirnya setelah sekian lama koma, kamu kuliah lagi. Kenapa kamu nggak mati aja waktu itu, hahaha….” Suara gelak tawa menggema. Beberapa pemuda dan gadis berdiri bersedekap di hadapan mereka.
Gina dan Kirana sudah berdiri, tapi Gina terlihat pincang. Kakinya terluka dan siku kirinya memar.
“Apa yang kalian lakukan pada Gina?” tanya Kirana. Sorot matanya tajam seolah menantang.
Seorang wanita turun dari mobil. Wajahnya penuh kesombongan, tapi anehnya wanita itu terlihat tidak asing di mata Kirana.
“Apa kau mau menantangku?” tanya wanita itu lantang seraya berkacak pinggang.
Kirana mengernyit. Memorinya kembali membawanya ke masa lalu. Bayangan yang semula hitam kini menjadi putih bahkan jelas. Wanita itu, wanita yang sama. Wanita yang sudah menghancurkan hidup dan rumah tangganya.
Aahhh… Ohhh… Harusnya aku yang setiap hari ada di kamar ini menemanimu, Arya… Lirihan itu terngiang di telinga Kirana. Tidak hanya suara lirih yang membuat bulu kuduk merinding, tapi juga gerakan tubuh tanpa busana meliuk di atas tubuh suaminya.
Dada Kirana seketika bergemuruh hebat. Wanita itu benar-benar sama, tidak ada bedanya. Matanya, wajahnya, rambutnya, bibirnya, semuanya sama. Tapi Nasib mereka terlihat berbeda, bertolak belakang dengan masa lalu yang suram.
Lamun Kirana tersentak ketika sebuah tangan menyentuh keningnya dengan keras.
“Kenapa kau diam saja? Mau sok jagoan sekarang? Apa kau pikir setelah hampir mati, kau jadi punya kekuatan?” Wanita itu tertawa sinis, seolah menaruh dendam pada Kirana yang kini ada pada tubuh Nada yang hanya seorang gadis sederhana.
Kirana dengan cepat menyingkirkan tangan itu dari keningnya. “Apa seperti itu didikan yang diberikan ayah dan ibumu? Kau terlihat kaya raya, tapi kelakuanmu lebih buruk dari preman jalanan yang tidak berpendidikan.”
Pipi wanita itu memerah—marah. Ia kembali tertawa sinis lalu melayangkan tamparan keras ke pipi Kirana.
Panas seketika menjalar di pipi mulus Kirana. Sama seperti yang ia rasakan dulu. Tapi bedanya, dulu ia dapatkan tamparan itu dari suaminya.
Berani-beraninya kau masuk ke sini dan mengganggu kesenangan kami, bentak Arya kala itu. Masih tergiang jelas di benak Kirana. Bukannya minta maaf pada istrinya, Arya malah memberikan sebuah tamparan keras di pipi Kirana yang memergoki adegan panas Arya dengan Perempuan lain.
Gina mendekat, memegangi lengan Kirana dengan lembut. “Sudah, Nada. Kamu nggak perlu belain aku. Ayo kita pergi, kita tidak perlu meladeni mereka.”
Gina berusaha membawa Kirana pergi, tapi tiba-tiba dua orang pria menghadang mereka.
“Tidak semudah itu pergi dari kami. Kau sendiri yang membuat masalah, jadi kau harus selesaikan,” ucap salah seorangnya.
Selang beberapa detik, Kirana merasakan kepalanya perih. Rambutnya ditarik dengan keras dari belakang. Kirana mencoba melepaskan, namun tarikan itu semakin kuat.
“Kau mungkin bisa selamat satu kali, tapi aku pastikan kau tidak akan mendapatkan kesempatan kedua, Nada. Kau akan benar-benar mati kali ini.” Suara itu terdengar lirih namun sangat jelas dan panas di telinga Kirana.
Tiba-tiba saja sebuah tendangan keras melayang ke pinggang Kirana, nyaris membuat Kirana tersungkur keras ke tanah.
“Kamu tidak apa-apa?” Terdengar lirih suara seseorang. Seorang pria yang baru saja menyelamatkan Kirana. Andai saja pria itu tidak datang tepat waktu, dipastikan Kirana akan celaka untuk ke dua kalinya.
Kirana mengalihkan pandangannya ke atas. Lagi-lagi ia kaget. Dengan cepat, ia menyentak tubuhnya dari dekapan pria yang sudah menyelamatkannya hari itu.
Tanpa ucapan terima kasih, Kirana langsung menyambar tangan Gina dan menariknya menjauh dari sana.
“Nada, kamu nggak berterima kasih dulu. Dia sudah selamatin kamu lho,” ucap Gina. Ia masih tidak habis pikir, kenapa tiba-tiba saja Kirana mengajaknya pergi menjauh.
Kirana hanya diam. Yang ia ingat, wajah itu sangat ia benci. Wajah seseorang yang melempar batu pertama ketika ia dihukum rajam beberapa puluh tahun silam. Senyum sinis dan tidak peduli, bahkan tidak ada belas kasih kepadanya disaat ia meregang nyawa.
Gina menyentak tangannya dari genggaman Kirana, menbuat langkah keduanya terhenti.
“Nada, jelaskan dulu kepadaku, kamu kenapa sebenarnya?” tanya Gina.
Bukannya menjawab, Kirana malah melancong pergi. Meninggalkan sahabatnya dengan berjuta pertanyaan bersemayam di benaknya—mungkin.