Udara menusuk paru-paru seperti pisau tipis yang tak terlihat. Terlalu nyata untuk sekadar mimpi, terlalu asing untuk disebut kenyataan. Kirana terengah, matanya terbuka seketika, disambut cahaya lampu redup yang menggantung di langit-langit kamar sederhana. Kain putih yang menyelimuti tubuhnya terasa sedikit kasar, bukan sehalus linen yang biasa ia kenakan di rumah besar keluarganya dulu.
Sesaat, ia hanya berbaring. Mendengar bunyi detik jam yang berdetak pelan. Tubuhnya gemetar, bukan karena kedinginan, melainkan karena sensasi yang lebih menakutkan, serasa dirinya hidup kembali.
Inikah yang dinamakan reinkarnasi?
Suara serak keluar dari bibirnya. “Aku… masih hidup? Lalu aku dimana?”
Tangannya terangkat. Jemari itu pucat, dengan bekas luka tipis di pergelangan tangan seolah baru sembuh dari sayatan. Itu bukan tangannya yang dulu. Bukan kulit lembut seorang perempuan yang pernah dipuja. Ia menggenggam erat selimut, merasakan denyut jantung yang berdetak cepat.
Aku seharusnya mati. Aku ingat… batu… teriakan… sakit yang tak tertahankan.
Pikiran itu membuat dadanya sesak. Potongan-potongan memori menyeruak seperti Kilatan petir ketika hujan.
Wajah suaminya—Arya—dingin tanpa belas kasih. Sorot mata keluarga besarnya yang penuh kebencian. Jeritan ibunya sendiri yang ditahan oleh tangan kasar agar tak mendekat.
Lalu… darah, gelap dan akhirnya hening…
Kirana menggigil, tubuhnya melipat ke dalam selimut. Air mata mengalir tanpa bisa ditahan.
“Tidak mungkin… mengapa aku masih di sini? Mengapa Tuhan memberiku kesempatan?” bisiknya parau.
Pintu kamar berderit terbuka. Seorang perempuan setengah baya muncul, membawa nampan berisi bubur dan segelas air putih. Rambutnya digelung sederhana. Ia tampak terkejut melihat Kirana duduk terjaga.
“Nak, kamu sudah sadar!” serunya, tergesa meletakkan nampan di meja kayu kecil. “Kamu bikin Ibu khawatir setengah mati.”
Kirana menatapnya bingung. Wajah asing, suara asing, namun begitu nyata.
“Ibu?” suaranya tercekat.
Perempuan itu tersenyum lega, menyentuh kening Kirana. “Panasmu sudah turun. Syukurlah. Dokter bilang kamu butuh istirahat panjang setelah… kejadian itu.”
Kejadian? Apa maksudnya?
Kirana menelan ludah, mencoba mencari kata. “Aku… siapa?”
Mata perempuan itu melebar, sorotnya berubah cemas. “Nak, apa kamu benar-benar tidak ingat? Kamu Nada. Anak ibu satu-satunya. Kamu jatuh waktu pulang dari kampus, kepalamu terbentur. Kami hampir kehilanganmu.”
Nada? Nama itu terasa asing, tapi kini melekat pada dirinya. Kirana memejam, mencoba mencerna. Jadi… tubuh ini milik seorang gadis bernama Nada. Seorang mahasiswi, mungkin berusia dua puluhan. Bukan lagi istri muda dari keluarga terpandang yang mati dalam fitnah.
Air matanya menetes lagi, tapi kini bukan sekadar sedih—melainkan campuran syukur, bingung, dan marah.
Jadi ini alasannya aku hidup kembali. Tuhan tidak membiarkanku mati sia-sia. Dia memberiku tubuh baru. Kesempatan baru.
Kirana—atau Nada kini—menarik napas panjang. Ia tahu, di dalam hatinya, dendam masih membara. Arya, keluarganya, semua yang menjerumuskannya… mereka belum membayar perbuatan itu.
Namun ada sesuatu yang lain, sesuatu yang membingungkan. Kesempatan ini juga bisa berarti kehidupan yang lebih damai dari sebelumnya. Apakah ia harus menenggelamkan masa lalu dan hidup sebagai Nada? Atau menuntut balas, meski harus mengorbankan hidup barunya?
“Ibu,” akhirnya ia bersuara lirih, “biarkan aku istirahat sebentar.”
Perempuan itu mengangguk penuh pengertian. “Ya, Nak. Ibu duduk di sofa, kalau butuh apa-apa panggil saja.” Ia menepuk tangan Kirana lembut sebelum pindah dan duduk di salah satu sofa yang tersedia di ruangan itu.
Kirana kembali terbaring. Pandangannya menatap langit-langit kamar rumah sakit. Detak jam seakan menggema di kepalanya, mengiringi perdebatan batin yang tak kunjung selesai.
***
Keesokan harinya, ia bangun dengan kondisi jauh lebih segar dari sebelumnya. Di kamar itu, ada dua ranjang pasien, dan ranjang satunya itu kosong. Tapi sesaat kemudian, seorang perawat masuk membawa sprei dan selimut bersih.
“Sudah bangun ya? Gimana keadaannya sekarang, sudah baikan?” tanya sang perawat ramah.
Kirana atau Nada, tersenyum manis. “Ada pasien baru ya?” tanyanya lembut.
“Iya… Ada pasien yang umurnya hampir sama seperti kamu. Dia demam tinggi dan baru saja dirawat di IGD. Sebentar lagi akan dipindahkan ke sini.”
Kirana sedikit mengernyitkan kening, lalu tersenyum. “Oh begitu….”
Tidak lama, pintu berderit dan terbuka. Dua orang gadis muda masuk ke dalam ruangan itu. Senyum mereka lebar, wajahnya cerah dan di tangan mereka, ada beberapa bungkusan kecil. Mereka menghampiri Kirana.
“Nada, akhirnya kamu sadar juga. Kami khawatir banget lo. Ini kami bawakan makanan kesukaan kamu.” Salah seorang dari gadis itu memberikan bungkusan pada Kirana.
Kirana masih mengernyit, tidak mengerti dan ia sama sekali tidak mengenal ke dua gadis itu.
Senyum kedua gadis itu hilang seketika, berganti dengan kernyitan kening yang entah berapa jumlahnya.
“Nada, kamu kenapa? Apa kamu amnesia? Kata ibu, kamu kayak kehilangan ingatan. Apa kamu nggak kenal sama kami?” tanya salah seorang dari mereka.
Kirana hanya tersenyum kecil. Apa mungkin mereka ini Adalah Kawan baik Nada? Pikirnya.
“Nada, apa kamu aman?” Salah seorang mencoba mengayunkan tangan ke wajah Kirana, memastikan kalau sahabat mereka baik-baik saja.
Kirana tersenyum, lalu berkata, “Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah datang. Maaf kalau aku tidak ingat siapa kalian.”