Mendekati Takdir

1082 Kata
Dua hari. Empat puluh delapan jam. Waktu terasa bengkok dan aneh di apartemen Saskia Kirana Putri. Siang dan malam melebur menjadi satu siklus panjang yang hanya diisi oleh cahaya biru dari layar laptop, dering telepon yang tak kunjung membawa kabar baik, dan ampas kopi yang menggunung di dalam cangkir. Apartemennya yang biasanya sedikit berantakan namun penuh kehidupan, kini telah berubah menjadi sebuah ruang komando perang yang kacau. Tumpukan kertas—formulir aplikasi visa, salinan rekening koran, email dari rumah sakit yang dicetak—berserakan di atas meja makan, di sofa, bahkan di lantai. Saskia masih frustrasi di Jakarta. Masih bingung apa yang harus dilakukan. Setiap pagi, ritualnya sama. Ia akan bangun setelah mungkin hanya dua jam tidur yang gelisah, jantungnya langsung berdebar. Hal pertama yang ia lakukan adalah meraih ponselnya, jarinya gemetar saat membuka email, berharap ada dua keajaiban: satu dari Pusat Medis Asan yang mengatakan Bima sudah sadar, dan satu lagi dari kedutaan Korea yang mengatakan visanya disetujui secara kilat. Tapi keajaiban tidak pernah datang. Email dari rumah sakit selalu sama: “kondisi stabil namun tidak ada perubahan signifikan.” Dan email dari kedutaan tidak pernah ada. Ia sudah membayar sedikit cicilan biaya pengobatan untuk adiknya. Sebuah jumlah yang sangat besar baginya—ia harus menguras habis sisa tabungannya dan menggunakan dana darurat yang ia simpan untuk uang muka galeri impiannya. Namun, jumlah itu terasa seperti setetes air di tengah samudra jika dibandingkan dengan total tagihan yang terus membengkak setiap harinya. Kemarin, dalam puncak keputusasaannya, ia bahkan sempat melakukan panggilan video dengan Dr. Lee Seo-jin. “Dokter,” tanyanya, berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar. “Apakah… apakah mungkin memindahkan Bima untuk dirawat di Jakarta? Biaya di sini… saya tidak yakin sanggup.” Wajah Dr. Lee di layar tampak penuh simpati, namun sorot matanya tegas. “Nona Putri, saya mengerti kekhawatiran Anda. Tapi saya harus jujur. Memindahkan pasien dengan trauma kepala seberat ini, yang tekanan intrakranialnya masih belum stabil, adalah hal yang sangat berisiko. Perubahan tekanan udara di dalam kabin pesawat saja bisa berakibat fatal.” Ia berhenti sejenak, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Terus terang, adik Anda mungkin tidak akan selamat dalam perjalanan. Kesempatan terbaiknya untuk bertahan hidup adalah di sini, dengan fasilitas yang kami miliki.” Setiap kata dari dokter itu adalah paku yang menancap di peti mati harapannya. Ia tak punya pilihan. Bima harus tetap di sana jika ia ingin adiknya tetap hidup. Pilihan lainnya adalah mengikhlaskannya—sebuah kata yang terasa begitu kejam hingga otaknya menolak untuk memprosesnya. Maka, pertempurannya pun berubah. Bukan lagi tentang bagaimana membawa Bima pulang, tapi tentang bagaimana caranya menghasilkan uang dalam jumlah yang tidak masuk akal, secepat mungkin. Ia mencoba mencari berbagai pekerjaan tambahan. Ia menghubungi semua klien lamanya, semua kontaknya di dunia periklanan. Tapi jawaban yang ia dapatkan selalu sama. “Wah, Sas, proyek baru mulai bulan depan. Sekarang lagi sepi banget.” “Kami suka sekali portofoliomu, tapi untuk proyek sebesar ini kami butuh agensi, bukan freelancer.” “Mungkin ada pekerjaan kecil-kecilan, tapi bayarannya nggak akan cukup untuk…” Nihil. Yang ada hanya tatapan kasihan dan janji-janji kosong. Rina, sahabatnya, tidak pernah meninggalkannya. Ia menginap di apartemen Saskia, menjadi asisten, koki, sekaligus terapis pribadinya. Pagi itu, saat Saskia kembali menatap kosong ke arah tumpukan tagihan, Rina datang membawa secangkir kopi lagi. “Gue gagal, Rin,” bisik Saskia, suaranya parau. “Gue kakak yang gagal. Gue nggak bisa ngapa-ngapain buat dia.” “Lo nggak gagal. Lo lagi berjuang,” balas Rina tegas. “Dan lo belum mencoba semua cara.” Ia memutar laptopnya yang menyala ke arah Saskia. Di layar, ada sebuah email yang diteruskan oleh Rina. Subjeknya: URGENT: Freelance Creative Director Needed - Hansol Group Gala. Saskia membaca isi email itu dengan malas. Grup Hansol. Vespera Events. Sebuah pameran seni privat untuk kalangan VVIP di Jakarta. Sebuah acara pameran kemewahan. Dunianya terasa begitu jauh dari semua itu. Pikirannya dipenuhi oleh suara mesin ICU dan bau disinfektan, bukan denting gelas sampanye dan gaun-gaun desainer. “Terus kenapa?” tanyanya lesu. “Event organizer-nya, Sas. Vespera Events. Itu kan EO yang dulu ngejar-ngejar mau rekrut lo tapi lo tolak karena mau bikin perusahaan sendiri,” kata Rina cepat, matanya berbinar. “Lo kenal direkturnya. Dan yang paling penting…” Rina menunjuk baris terakhir di email itu. “…lihat angkanya. Lihat fee-nya. Ini gila-gilaan, Sas. Ini cukup buat bayar tiket pesawat lo bolak-balik, dan mungkin cukup untuk biaya ICU Bima selama beberapa minggu.” Saskia menatap angka itu. Rina benar. Jumlahnya tidak masuk akal untuk pekerjaan satu malam. Tapi hatinya terasa menolak. Ia harus merancang sebuah malam yang penuh keindahan dan kemewahan palsu untuk orang-orang kaya yang tidak pernah merasakan kesulitan, sementara adiknya sedang berjuang sendirian di negeri orang? Rasanya salah. Rasanya seperti sebuah pengkhianatan terhadap penderitaannya sendiri. “Gue nggak bisa, Rin. Gue nggak punya energi buat mikirin konsep pesta orang kaya sekarang.” “Lo nggak punya pilihan lain!” desak Rina, kali ini suaranya sedikit meninggi. Ia meraih tangan Saskia. “Ini bukan lagi soal idealisme atau mood, Sas. Ini soal Bima. Lo harus telan harga diri lo. Lo harus telan semua perasaan lo. Lakukan apa yang paling jago lo lakukan: jual sihir ke mereka. Buat mereka terpesona. Ambil uangnya. Lalu terbang ke Seoul. Ini satu-satunya jalan.” Kata-kata Rina menghantamnya seperti tamparan. Ia benar. Ini bukan lagi tentang dirinya. Prinsip dan idealisme adalah kemewahan yang tidak ia miliki saat ini. Yang ada hanyalah perjuangan untuk bertahan hidup. Perjuangan untuk Bima. Saskia menatap layar laptop itu lama. Foto Han Chae-rin, sang pewaris Grup Hansol, tersenyum anggun di artikel yang tertaut di email. Wajah yang tidak pernah mengenal arti kata “mustahil”. Di sebelahnya, ia membuka tab baru dan menatap foto Bima yang tersenyum konyol. Pilihannya sudah jelas. Dengan helaan napas yang berat dan bergetar, ia menarik laptopnya mendekat. Ia membuka folder portofolionya, memilih karya-karya terbaiknya. Ia membuka email baru, ditujukan pada direktur Vespera Events. Jari-jarinya yang tadinya lemas kini mulai mengetik dengan kecepatan yang didorong oleh keputusasaan. Setiap kata yang ia tulis terasa seperti menjual sepotong kecil jiwanya. Tapi ia terus mengetik. Ia tidak tahu bahwa email yang baru saja ia kirim itu adalah sebuah langkah takdir. Sebuah langkah yang tidak hanya akan memberinya pekerjaan, tapi juga akan melemparkannya kembali ke dalam orbit seorang pria yang telah ia habiskan lima tahun terakhir untuk dilupakan. Sebuah langkah yang akan membawanya pada sebuah janji yang dibangun di atas dusta. Saat ia menekan tombol “kirim”, ia hanya merasakan satu hal: secercah harapan yang menyakitkan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN