Pertanyaan Berbahaya

1130 Kata
Jumat pagi, apartemen penthouse Kwon Jin-hyuk tidak lagi sunyi. Ruangan itu kini diisi oleh kesibukan yang teratur dan efisien dari satu orang: Sekretaris Cha Sung-jin. Di tengah ruang ganti yang luasnya bisa menyaingi sebuah butik mewah, Sekretaris Cha bergerak dengan kecepatan dan presisi seorang ninja. Di tangan kirinya, ia memegang tablet yang menampilkan daftar periksa digital yang sangat detail. Di tangan kanannya, ia memasukkan setelan jas Tom Ford yang baru saja disetrika ke dalam tas pakaian. Koper Rimowa berwarna perak sudah terbuka di atas ranjang, isinya setengah penuh dengan kemeja-kemeja yang dilipat sempurna, masing-masing dipisahkan oleh kertas tisu. “Dokumen untuk rapat dengan Hansol Group sudah di dalam tas kerja. Tiga set dasi—Hermès untuk makan malam, Brioni untuk pertemuan, dan Zegna sebagai cadangan—sudah disiapkan. Jam tangan Patek Philippe sudah di dalam kotak perjalanannya,” gumam Cha pada dirinya sendiri sambil memberi tanda centang di tabletnya. Ia adalah seorang maestro dalam orkestra kehidupan bosnya, memastikan setiap not dimainkan tanpa cela. Dan di mana sang konduktor dari semua ini? Kwon Jin-hyuk duduk di sofa kulit berwarna gading di ruang tamunya, ongkang-ongkang kaki. Ia mengenakan celana santai dan kaus kasmir lembut, pakaian yang jarang ia kenakan. Di tangannya, ia memegang cangkir porselen berisi espresso paginya. Ia hanya duduk di sana, mengamati kesibukan sekretarisnya dengan ekspresi tenang dan terpisah, seolah sedang menonton sebuah film dokumenter. Ia tidak perlu ikut campur. Dunianya dirancang untuk bergerak di sekelilingnya, bukan sebaliknya. “Sekretaris Cha,” panggilnya, suaranya tenang. “Ya, Daepyo-nim?” jawab Cha dari ruang ganti tanpa menghentikan gerakannya. “Pastikan kau membawa adaptor universal yang baru. Yang terakhir kali kita ke New York sedikit longgar.” “Sudah di dalam kantong depan koper, Daepyo-nim. Di sebelah obat maag Anda,” jawab Cha tanpa jeda. Jin-hyuk tersenyum tipis. Tentu saja sudah. Cha tidak pernah melewatkan satu detail pun. Inilah kenapa ia membayarnya dengan sangat mahal. Untuk ketenangan pikiran. Untuk sebuah dunia yang berjalan sesuai jadwal. Saat itulah, telepon pribadinya yang tergeletak di meja kopi berdering. Bukan nada dering biasa, tapi sebuah melodi klasik yang formal. Hanya satu orang yang menelepon lewat jalur itu. Abeoji. Jin-hyuk mengangkat telepon itu dengan helaan napas yang nyaris tak terdengar. “Ya, Abeoji.” “Kau sudah mau berangkat?” suara ayahnya, Pimpinan Kwon Dae-hyun, terdengar, tidak ada kehangatan di dalamnya, hanya bisnis. “Pesawat saya berangkat pukul sebelas.” “Bagus. Pastikan kau tidak terlambat. Han Hwejang-nim akan menjemputmu langsung di bandara. Ia bahkan mengosongkan jadwalnya untukmu. Jangan mempermalukan keluarga kita lagi seperti yang kau lakukan dengan keluarga Yoon.” “Saya mengerti,” jawab Jin-hyuk, matanya menatap kosong pada pemandangan kota di luar jendela. Rasa jengkel yang familier mulai muncul. “Ini kesempatan terakhirmu untuk menyelesaikan masalah ini dengan elegan, Jin-hyuk. Han Chae-rin adalah kandidat terbaik. Cerdas, cantik, koneksinya luas. Jangan membuat kesalahan. Paham?” “Paham, Abeoji.” “Bagus.” Panggilan itu ditutup. Jin-hyuk meletakkan ponselnya. Perasaan jengkel itu dengan cepat berubah menjadi kelelahan yang dingin. Lagi-lagi, ini bukan tentang dirinya. Ini tentang aliansi. Tentang citra. Tentang warisan. Han Hwejang-nim akan menjemputnya. Sebuah gestur penghormatan yang terasa seperti belenggu. Tekanan untuk tampil sempurna kini semakin berat. “Semua sudah siap, Daepyo-nim,” kata Sekretaris Cha yang kini sudah berdiri di dekat pintu, di samping koper dan tas kerja yang sudah tertata rapi. “Kita bisa berangkat ke bandara sekarang.” Jin-hyuk mengangguk, menghabiskan sisa kopinya, lalu berdiri dan berganti pakaian dengan setelan bepergian yang nyaman namun tetap mahal. Topeng CEO-nya kembali terpasang. Perjalanan menuju Bandara Internasional Incheon terasa hening. Jin-hyuk duduk di kursi belakang, menatap ke luar jendela. Pagi itu, Seoul tampak sibuk dan penuh energi. Ia melihat truk-truk K-Beverages di jalan tol, membawa produk-produknya ke seluruh penjuru negeri. Ia melihat papan reklame digital raksasa di Yeouido yang menampilkan iklan terbaru minuman isotonik mereka. Ini adalah kerajaannya. Sebuah mesin raksasa yang ia bangun dan kendalikan. Perjalanan ke Jakarta ini, perjodohan ini, hanyalah sebuah tugas perawatan rutin untuk memastikan mesin itu tetap berjalan lancar. Sebuah tugas yang menyebalkan, tapi perlu. Di atas pesawat, di dalam kabin kelas satu yang mewah dan privat, Jin-hyuk mencoba untuk bekerja. Ia membuka laptopnya, meninjau ulang profil Han Chae-rin dan laporan keuangan terbaru dari Hansol Group. Aset. Sinergi. Potensi pertumbuhan. Otaknya memproses semua itu dengan efisien. Namun, saat pesawat sudah mencapai ketinggian jelajah dan pramugari selesai menyajikan minumannya, ia merasa sulit untuk fokus. Ia menutup laptopnya dan kembali menatap ke luar jendela, ke lautan awan putih yang tak berujung. Di sinilah, di ruang transisi antara langit dan bumi, antara Seoul dan Jakarta, pertahanannya mulai goyah. Untuk pertama kalinya, ia tidak sedang menuju ke sebuah pertemuan bisnis. Ia sedang menuju ke Indonesia. Indonesia. Kata itu menggema di benaknya. Selama bertahun-tahun, kata itu hanyalah sebuah data demografis di laporan pasar, sebuah target ekspansi di masa depan. Tapi sekarang, kata itu terasa personal. Karena ada satu orang Indonesia yang pernah ia kenal. Pikirannya kembali melayang ke seseorang yang sangat ia kenal dulu. Seseorang yang ia habiskan lima tahun terakhir untuk coba dilupakan. Saskia. Ia tidak teringat pada pertengkaran mereka atau perpisahan mereka yang menyakitkan. Anehnya, yang muncul justru adalah kenangan-kenangan kecil yang tidak penting. Kenangan saat gadis itu mencoba mengajarinya beberapa patah kata Bahasa Indonesia di sebuah kafe di London. “Ayo, ikuti aku,” kata Saskia sambil menahan tawa. “Apa kabar?” “Annyeonghaseyo,” jawabnya otomatis. “Bukan! Apa… ka… bar!” Saskia mengucapkannya dengan pelan, bibirnya bergerak berlebihan. “Itu artinya ‘how are you’. Gampang, kan?” Ia ingat bagaimana ia menganggap aksen dan antusiasme gadis itu konyol, tapi di saat yang bersamaan, ia tidak bisa berhenti tersenyum. Ia juga ingat bagaimana Saskia bercerita tentang Jakarta. Bukan tentang pusat bisnis atau mal-mal mewahnya, tapi tentang hal-hal yang aneh. Tentang abang-abang penjual kerak telor, tentang suara adzan yang menenangkan di tengah kemacetan, tentang bagaimana kota itu terasa “kacau, berisik, tapi punya hati.” Sebuah deskripsi yang sangat tidak logis, namun entah kenapa terasa begitu hidup. Dan yang paling ia ingat adalah aroma gadis itu. Bukan parfum desainer yang mahal seperti yang dipakai wanita-wanita di dunianya. Tapi aroma yang hangat dan sedikit pedas, seperti campuran kayu manis, cengkeh, dan hujan tropis. Sebuah aroma yang begitu berbeda, begitu nyata. Sebuah sengatan aneh terasa di dadanya. Bukan rasa sakit. Bukan juga rasa rindu. Tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang terasa seperti… kehilangan. Ia telah membuang semua itu demi logika, demi kewajiban, demi kerajaan yang sekarang terhampar di bawah lautan awan ini. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, Kwon Jin-hyuk membiarkan dirinya bertanya-tanya. Di mana gadis itu sekarang? Apa yang sedang ia lakukan di kotanya yang kacau itu? Pertanyaan itu terasa berbahaya. Sebuah anomali dalam sistemnya. Ia cepat-cepat mengusirnya, meraih tabletnya, dan kembali fokus pada laporan keuangan. Tapi sudah terlambat. Hantu dari masa lalunya telah ikut terbang bersamanya menuju Jakarta. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN