03. Tentang Istighfar

1119 Kata
Riska memanyunkan bibirnya melihat Ustadz Rifki yang semakin menjauh. Ia melirik Kakek yang tengah menatap sawah-sawah dipinggiran jalan. Memang tampak indah. Riska menghela napas dan berjalan mendekati Kakeknya. "Kek..." "Kakek... Bantuin Riska dong, buat dapetin Ustadz Rifki..." rengeknya sambil menggoyangkan lengan Kakek. "Berjuang sendiri. Kakek nggak mau mencampuri urusan anak muda." tutur Kakek, kemudian melenggang pergi. Riska mendesah. Kakeknya sama sekali tak bisa membantu dirinya untuk mendapatkan Ustadz Rifki agar terbebas dari perjodohan itu. Oleh karena itu, ia akan berjuang sendirian. Mengejar cinta seorang Ustadz yang bernama Rifki. "Oke, gue bakal mengejar cinta Ustadz Rifki. Apapun tantangannya, bakal gue hadepin!" Riska mengeluarkan koper dari dalam bagasi mobil dan membawanya masuk ke dalam rumah. Kemudian, beranjak menuju kamar yang telah ditunjukkan oleh Bi Arum. Di rumah ini, hanya ada Kakek dan Revan—Kakak sepupunya yang sudah satu tahun tinggal di sini karena sebuah hukuman. Namun, Revan malah bersyukur dengan tinggal di desa, dirinya bisa lebih mengenal Tuhannya. "Bi Arum... Buatin Riska jus mangga ya, Bi!" pinta Riska berteriak. Meskipun, merasa letih, Riska tetap menata pakaiannya ke dalam almari. Setelah selesai, ia pun mengambil pakaian yang akan dikenakannya sesudah mandi. Rumah Kakek dan Rumahnya tidak jauh beda. Kemungkinan, dirinya akan betah tinggal di desa. Ditambah, dengan keberadaan Ustadz Rifki yang telah ditetapkan sebagai calon suaminya. "Ah, gila! Airnya seger, bener!!" seru Riska yang baru keluar dari kamar mandi. Tok tok tok Riska beranjak membukakan pintu. Ia tersenyum hangat, menyambut kedatangan Bi Arum yang membawa jus mangga. "Makasih ya, Bi." Riska mengambil gelas yang berisikan jus favoritnya dan membawanya menuju ruang tengah. Ia ingin menonton televisi yang biasanya terdapat acara gosip pagi tentang para artis. Namun, keinginannya harus terpendam. Karena Kakek sudah lebih dulu menonton televisi. "Pagi-pagi, nontonnya kok berita. Mending juga nonton gosip." ujar Riska yang menyindir Kakek. Riska berjalan keluar. Ia akan duduk santai di teras. Berharap, moodnya akan membaik karena tak bisa menonton acara gosip. Sejak dulu, jika Kakeknya tengah menonton televisi, maka tak akan ada yang bisa menganggunya. Daripada membuat masalah, Riska lebih memilih mengalah. Omelan Kakeknya itu jauh lebih panjang dari omelan yang biasanya ia dapat dari Mamanya. Mungkin, karena Kakeknya itu sudah kakek-kakek. "Ustadz Rifki bakal lewat lagi, nggak ya?" gumamnya. "Woy! Riska!" teriak seorang pemuda yang memakai peci dengan posisi miring, serta sarung yang diikat dipinggangnya. Riska bangkit dari duduknya dan berlari menghampiri pemuda tersebut, yang tak lain adalah Kakak sepupunya—Revan. Sudah lama sekali, mereka tak berjumpa. Hingga di desa ini, rasa rindu keduanya terobati. "Bang Revan!! Gue kangen banget sama, lo!" pekik Riska di dalam pelukannya. "Sama gue juga." sahutnya sambil mengeratkan pelukan. Riska melepaskan pelukannya. Ia tersenyum manis. Melihat senyum yang sudah lama tak dilihatnya, membuat Revan merasa gemas. Pemuda tersebut mengacak rambut Riska yang dikucir kuda. "Makin imut aja, lo, Ris!" "Iya, dong! Nggak kek lo, Bang, makin amit-amit!" ejek Riska menjulurkan lidahnya. Kemudian, berlari menghindari Revan yang akan mengejarnya dan berakhir menggelitiki perutnya. "Anjim, lo, Ris!" umpat Revan mengejar adik sepupunya. Terjadilah, aksi kejar-kejaran di halaman rumah sang Kakek. Riska merindukan hal-hal seperti ini. Sudah sangat lama, ia tak tertawa lepas. Hidupnya di kota penuh dengan drama. Dimana, ia tampak begitu bahagia, padahal hatinya merasa kesepian. Ia mencoba mencari kebahagian tersendiri dengan terus menghabiskan waktu di luar rumah, tetapi orangtuanya malah berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Dan berakhirnya dengan masalah perjodohan kemarin. "Ah, udah, Bang, gue capek!" keluh Riska duduk lesehan di lantai. "Cemen, lo!." ejeknya pada Riska. Revan duduk disebelahnya. Kemudian, tangannya meraih jus mangga milik Riska yang berada di atas meja. Lalu, meminumnya tanpa meminta izin kepada si empunya. "Dosa lo, asal minum jus orang." ucap Riska kesal. "Nanti, gue istighfar, biar dosa gue diampuni." Riska terdiam. Ia sama sekali tak tahu apa itu istighfar hingga dapat mengampuni dosa. Apakah, jika dirinya beristighfar, dosanya juga bisa diampuni?. Mengingat, dosanya yang begitu banyak. "Istighfar itu apa, Bang?" Revan membelalak. Ia kaget, karena adik sepupunya tak mengetahui kalimat istighfar. Tanpa sadar, Revan menggeleng dan Riska hanya menampilkan cengiran khasnya. "Istighfar itu, astaghfirullahal adzim. Dengan kita menyebut kalimat itu, Allah menghapus dosa-dosa kita." jelas Revan. "Berarti, kalo gue is-is, is apa, Bang?" "Istighfar! Is.tigh.far." "Oh iya. Berarti kalo gue istighfar, Allah menghapus atau mengampuni dosa kita ya, Bang?" "Hm." Riska termenung mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Terutama membohongi kedua orangtuanya adalah dosa yang sering dilakukannya. Jika dipikir-pikir, selama hidupnya Riska selalu menumpuk dosa. Ia menjadi tak yakin, jika Allah akan mengampuni dosa-dosanya. "Bang, lo yakin, kalo gue istighfar, Allah bakal mengampuni dosa gue?" Revan mengangguk mantap. "Tadi, istighfar itu gimana, Bang?" tanya Riska yang terlupa akan kalimat istighfar. Revan menghela napas. Sepertinya, ia harus bersabar menghadapi gadis semacam Riska. Namun, dirinya juga merasa bahagia karena Riska mulai tertarik dengan agamanya sendiri. Ia yakin, kehidupan adik sepupunya itu sangatlah jauh dari agama. "Astaghfirullahal adzim. Astaghfirullahal adzim. Astaghfirullahal adzim." ucap Revan tiga kali berturut-turut. "Itu artinya, apa, Bang?" tanya Riska yang ingin tahu arti kalimat yang diucapkan oleh kakak sepupu. "Aku memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung." Riska mengangguk beberapa kali. Di dalam hatinya, ia terus mengucapkan kalimat istighfar. Meskipun dengan terbata-bata. Sejenak, ia terhanyut dalam menikmati pemandangan pagi di desa. Banyak orang yang berjalan bersama dengan pakaian taninya. Dengan canda tawa menggema membuat Riska mengulum senyum. Berbeda sekali dengan tempat tinggalnya, yang hampir semua orang akan pergi kemanapun menggunakan kendaraan beroda dua ataupun empat. "Gue ke dalem, bentar." pamit Revan masuk ke dalam rumah. Riska tak menjawab. Ia masih fokus menatap orang yang berlalu-lalang di jalan depan rumah. Sesekali, dirinya tersenyum pada orang yang memberinya senyum pula. "Hidup di desa dan kota itu sangat berbeda." lirih Riska seraya merebahkan tubuh di lantai. Seketika, dosa-dosanya kembali terbayang. Ia pun bangkit dari rebahannya dan segera mengucapkan istighfar. Tetapi, dirinya terlupa. Entah mengapa, ingatannya begitu lemah jika berkaitan dengan agama. "Tadi, apa ya? As-as, astoge? Astaga naga? Duh, apa sih? Gue kok jadi lupa gini, ya?! Kalo kek gini terus, gimana dosa gue bisa diampuni? Kali aja, dengan istighfar gue bisa masuk surga, karena dosa gue 'kan udah diampuni semua? Tapi, apa emang bisa ya? Tau ah, gue pusing." Riska menggaruk rambutnya yang baru di keramas. Saking pusingnya mengingat kalimat istighfar, kepalanya sampai berasap. "Bang, tadi istrigfair itu, gimana?" tanya Riska berteriak. "Bukan istrigfair, t***l!! Yang bener itu, istighfar!!" jawab Revan berteriak pula. "Dosa lo, Bang, ngomong tolol." gumam Riska yang tiba-tiba senang menghitung dosa yang dilakukan oleh kakak sepupunya. "Istighfar? Istighfar itu gimana, Bang? Gue lupa!!" Tak ada sahutan. Riska terdiam sejenak. Mencoba kembali mengingat kalimatnya. Namun, otaknya terasa buntu. "As, apa ya?" ucap Riska yang hanya mengingat awalnya saja. Riska mendesah. Sepertinya, ia harus kembali bertanya kepada kakak sepupunya. "Bang Revan, tadi itu, As apa, Bang?" tanyanya berteriak, karena malas menghampiri Revan yang berada di dalam. "Asyuuuu!" jawabnya membuat Riska geram.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN