Sejak peristiwa di pantai malam itu, Mas Evin masih tetap berkunjung ke rumah sepulang dari bekerja. Seolah tak ada apa-apa. Masih saling bercanda dan menggoda satu sama lain. Akan tetapi, ada yang berbeda darinya. Mungkin hanya perasaanku saja. Tatapan matanya itu terlihat aneh dari biasanya. Seperti ada yang disembunyikan.
Kami masih sering menghabiskan malam bersama di teras rumah. Melihat bintang-bintang di langit. Suasana yang begitu elok.
“Citya.”
“Iya.” Aku menoleh memandang wajah Mas Evin.
“Nggak ada, ya, kata selain ‘iya’. Setiap kali diajak ngomong pasti jawabannya hanya ‘iya’. Kayak nggak ada kata lain!” sungutnya.
Aku tergelak mendengar omongannya. “Lebih ringan, jelas, dan padat,” jawabku.
“Terserahlah,” ucapnya.
“Ada apa, sih, Mas? Jangan cemberut gitu. Tambah jelek tau.” Aku menjawil hidung Mas Evin.
“Ayo, pergi jalan-jalan.”
“Sekarang?”
“Nggak! Bulan depan!” Dia cemberut. “Iya sekaranglah, kapan lagi?”
Aku terbahak dan mengangguk, lalu berdiri dan hendak melangkaj pergi. Namun, tiba-tiba Mas Evin menarik tanganku dengan kasar. Kedua alis bertaut.
“Ganti baju dulu sana!” perintahnya. “Aku nggak mau pergi sama ibu-ibu.” Dia berkata sambil menunjuk pakaian yang kupakai.
Astaga. Aku menepuk jidat. Pantas dibilang ibu-ibu, hanya memakai daster rumahan selutut. Bergegas masuk ke rumah untuk ganti baju.
“Ayo berangkat. Bagaimana penampilanku?” Aku berkacak pinggang di depan Mas Evin setelah ganti pakaian.
Aku memakai celana cargo model slim fit dengan atasan sweater serya sepatu kets. Lebih suka berpenampilan seperti ini. Lebih bebas.
Aku tersenyum ketika melihat Mas Evin mengacungkan dua jempol tangannya.
Kami pun berangkat naik motor. Tujuan kami menuju wisata malam, Taman Kunang-Kunang. Lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah. Perjalanan kurang lebih memakan waktu setengah jam saja. Dalam perjalanan kami saling terdiam. Sunyi. Lampu jalanan mulai menyala, suasana yang berbeda dari beberapa tahun lalu. Tak seramai sekarang.
Sampailah kami tiba di lokasi wisata. Lalu, menuju tempat parkir. Kemudian melangkah ke lokasi Taman Kunang-kunang. Taman yang sangat indah dengan kerlap-kerlip lampu seperti kunang-kunang.
Ada banyak lampu LED yang tersebar di seluruh area taman. Ketika malam seperti sekarang ini, pendar benda bulat menghiasi lokasi sehingga tampak seperti kunang-kunang.
Taman memiliki lima bagian yang disebut dengan plaza. Pada setiap plaza ditemukan bentuk serta jumlah lampu LED yang ditata dengan berbeda.
Kami terus menapaki area taman sambil menikmati lampu-lampu yang tertata rapi menghiasi.
“Indah sekali tempat ini, Mas.” Mataku berbinar menyaksikan penampakan yang memesona seperti ini. Tak pernah terbayangkan sebelumnya.
“Ini memang sangat indah. Baru buka awal tahun lalu.” Mas Evin menatapku. “Ingin sekali mengajakmu ke sini dari dulu,” lanjutnya.
Kami terus menyusuri wilayah taman. Rasanya tak ingin beranjak pergi dari sini. Ingin bermalam di tempat ini, agar bisa melupakan semua beban dan pikiran.
Lalu, kami melangkah ke bagian tengah taman. Ternyata terdapat tempat duduk permanen serta gazebo. Fungsinya sebagai tempat untuk menikmati kawasan sekitar taman. Maka dibuat dengan banyak bukaan pada setiap sisinya, bahkan hampir tak ada penutup dinding pada setiap sisinya. Hanya menggunakan tiang-tiang penyangga atap saja. Kami pun masuk ke dalamnya.
“Cit ... andai ada orang lain yang mencintaimu secara tulus, apakah kamu menerima orang tersebut?” tanya Mas Evin tiba-tiba memecah kesunyian.
Aku menghela napas panjang. Tak tahu harus menjawab apa.
“Nggak ngerti, Mas ....”
Mas Evin menarik napas dalam. Tangannya menggenggam erat tanganku. Aku merasa panas dingin. Terasa ada debaran aneh dalam hati.
“Hei, kenapa jadi tegang gini, sih?” Mas Evin terbahak.
“Siapa yang tegang! Biasa aja, kok.” Aku menarik napas. Mencoba bersikap setenang mungkin.
“Sudahlah, nggak usah dipikir omongan tadi. Nggak penting.”
“Uumm ... Mas Evin nggak bosen jomblo?”
“Nggak. Lebih enak gini.”
“Aneh.” Aku melangkah meninggalkan Mas Evin.
“Nggak aneh, kok, karena dengan jomblo aku bisa terus bersamamu tanpa ada yang melarang.” Mas Evin menelisikku tajam.
Aku menunduk, tak berani membalas tatapan mata Mas Evin. Tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan hatiku. Merasakan desiran aneh saat tatapan kami bertemu. Namun, ini bukan cinta. Aku tak merasakan kasmaran pada Mas Evin. Hanya sebatas rasa sayang pada seorang kakak. Aku merasa damai ketika bersamanya. Tak ingin jika kenyamanan ini harus berakhir.
***
Minggu ini tampak cerah. Matahari menyembul dari persembunyiannya. Cahayanya kemerah-merahan. Awan tampak tipis di cakrawala langit. Udara dingin menyergap. Pagi yang indah. Menyenangkan. Membuat siapa pun tak mau beranjak dari ranjang.
Kalau saja tak mendengar pintu diketuk, aku tak mungkin bangun. Dengan malas melangkah untuk membuka pintu. Masih dengan wajah kusut khas bangun tidur.
“Elah, gadis, kok, ngebo. Jam segini belum bangun. Matahari sudah tinggi, noh.” Mas Evin berdecak kesal.
“Masih pagi, Mas. Dingin.”
“Sana cepat mandi! Nggak boleh males dan banyak alasan!” perintah Mas Evin.
“Males.” Aku mengerucutkan bibir.
“Mandi!” perintahnya lagi. “Setelah itu jalan-jalan. Nggak pakai lama, aku tunggu di luar,” lanjutnya.
Mas Evin berlalu. Dengan mengentakkan kaki aku melangkah ke kamar mandi.
Setelah bersiap-siap, langsung menemui Mas Evin.
“Memang mau ke mana, sih, Mas?” tanyaku.
“Ke Taman Kota. Sebelum kamu kembali ke Ibu kota.” Mas Evin berdiri lalu melangkah dan menarik tanganku.
Aku kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh. Aku bersungut-sungut, tapi Mas Evin justru terbahak.
Kami berjalan sepanjang trotoar menuju taman kota. Mengobrol banyak hal. Bersenda gurau. Hingga tanpa sadar sampailah dj taman kota. Suasa d minggu pagi tampak sangat ramai. Lalu-lalang kendaraan tidak sepadat hari kerja. Orang-orang memanfaatkan waktu bersantai dengan keluarga.
“Kamu kapan kembali ke Ibu kota?” Mas Evin menoleh padaku.
“Minggu depan, Mas.” Pandanganku tetap lurus ke depan.
“Kesepian lagi, deh,” ucap Mas Evin.
“Makanya cari cewek biar nggak kesepian terus.” Aku menggodanya.
“Cewek nggak ada yang mau sama aku.” Mas Evin terbahak.
“Bukannya nggak mau, tapi Mas yang nggak niat cari.” Aku meliriknya.
Mas Evin berhenti lalu menatapku tajam. Hati berdebar tak karuan. Jantung berdetak lebih cepat. Wajah pun terasa memanas.
“Citya ... aku mencintaimu. Tak mau kehilangan untuk yang kedua kalinya.” Mas Evin menangkup kedua pipiku.
Aku tercekat mendengar pengakuan Mas Evin. Tak pernah menyangka sebelumnya. Tenggorokan terasa kering. Lidah pun terasa kelu. Ternyata yang selama ini kutakutkan terjadi.
Aku masih membisu. Tak tahu harus menjawab apa.
“Sudahlah, lupakan saja. Anggap nggak ada apa-apa.” Mas Evin melepas pipimu dan membuang pandangan.
Aku benar-benar bingung harus berkata apa. Sungguh aku tak memiliki rasa apa pun pada Mas Evin. Karena Mas Evin saudaraku, juga sudah kuanggap seperti kakak kandung sendiri. Aku sungguh dilema.
***
Bersambung