Kesalahan Pada Mas Evin

1005 Kata
Aku menarik napas panjang. Aku sungguh merasa bersalah pada Mas Evin. Di hatiku memang tersimpan rasa sayang pada Mas Evin, tapi sebagai seorang adik tak lebih dari itu. Aku tak mau kehangatan yang terjalin selama ini hancur begitu saja.   “Maaf, Mas, aku ... nggak bisa. Maaf ....” Aku menatap wajah Mas Evin dengan penuh sesal.   “Aku hanya menganggap Mas sebagai seorang kakak, nggak lebih,” lanjutku sambil menatap Mas Evin dengan sedih.   Mas Evin bergeming. Aku jadi merasa semakin bersalah. Namun, bukankah cinta memang tak bisa dipaksa? Meskipun begitu besar pengorbanan serta perhatian seseorang, jika hati tak bisa menerima kehadirannya kita bisa apa? Selain memang aku sudah menganggap Mas Evin kakak kandungku, juga karena di hatiku masih tersimpan nama almarhum Mas Hamdan, calon suamiku. Ah, entah sampai kapan nama itu akan hilang dari ingatanku. Padahal, aku pernah dekat dengan Althan. Entahlah, aku hanya bisa pasrah menerima semua ini.   “Aku nggak mau kebersamaan dan kedekatan kita berakhir, Mas. Tanpa adanya ikatan kekasih, insyaallah akan langgeng selamanya. Nggak akan ada kebencian dan perpisahan. Aku menyayangi Mas sebagai kakak.” Aku menghambur memeluk Mas Evin. Hatiku terasa panas, jiwa dirundung pilu.   Aku terisak di d**a bidangnya. Merasa bersalah telah menyakiti hati dan perasaannya. Memang aku bodoh.   “Udah nggak usah nangis. Lupakan saja semuanya. Anggap nggak pernah terjadi apa pun.” Mas Evin mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang.   Aku merenggangkan pelukan dan mendongak, dia tersenyum. Namun, entah bagaimana dalam hatinya. Mungkin telah hancur.   “Maaf ....” Aku menghiba.   Mas Evin membenamkan kepalaku ke dalam d**a bidangnya. Mengeratkan pelukan, seolah-olah tak ingin melepasnya.   “Mas Evin harus bisa melupakanku, carilah wanita lain di luar sana. Banyak yang mau sama Mas.”   “Aku sangat mencintaimu, nggak pernah memaksa untuk membalas rasa ini. Namun, jangan pernah menyuruh untuk berhenti bahkan mencari orang lain. Rasa sayang ini akan ada sampai kapan pun. Namamu sudah terpatri dalam jiwa, sejak dulu.” Mas Evin melepas pelukan secara perlahan, lalu duduk di bangku taman. Aku mengikutinya.   Aku menelan ludah. Atma terenyuh mendengar penuturan Mas Evin. Sebegitu besarkah rasa cintanya padaku? Betapa bodohnya aku yang tak bisa membalasnya. Air mata terus meleleh menganak sungai.   “Maafkan aku, cinta nggak bisa dipaksa,” desisku.   Mas Evin mengangguk dan tersenyum. Wajahnya memang terlihat biasa. Akan tetapi, pasti jiwanya remuk redam. Aku telah mematahkan hatinya dengan sangat keras. Ia adalah tipe pria yang tak mau menunjukkan sisi emosionalnya di depan orang lain. Aku mengembuskan napas kasar. Kenapa hidupku jadi serumit ini?   Ketika seseorang mencintai kita, tak perlu bertanya mengapa dan bagaimana dia bisa mencintai kita. Karena cinta bisa datang kapan saja dan di mana saja. Ia seperti gerobak, tak tahu siapa dan bagaimana pasti ditabrak.     ***   Aku memutuskan untuk mempercepat keberangkatan ke Ibu kota. Mundur dua hari darj yang telah kurencanakan. Bukan karena pernyataan cinta Mas Evin. Akan tetapi, karena semalam mendapat kabar dari pihak kampus, jika lamaranku menjadi dosen diterima. Sebab dulu termasuk mahasiswi berprestasi dan pernah menjadi Asisten Dosen selama kuliah dulu, sehingga bisa dengan mudah diterima.   Menjadi dosen sebenarnya bukan tujuan utamaku. Akan tetapi, ternyata yang diterima malah lamaran jadi dosen. Mungkin memang inilah yang terbaik untukku. Tuhan sedikit berbaik hati.   Mama memelukku sambil menangis. Seperti tak rela melepas kepergianku. Seakan-akan tak akan pernah bertemu lagi. Padahal aku juga pasti pulang setahun sekali. Mama memang mudah sekali menangis. Cengeng.   Aku memutar bola mata, ketika Mama menasihati agar aku tidak lupa menjalankan ibadah wajib pada Tuhan. Kupingku terasa panas. Entah, aku belum bisa mendekatkan diri lagi pada Tuhan, setelah apa yang telah menimpaku.   Aku hanya meminta doa restu Mama. Bukankah ridho Tuhan terletak pada ibu? Jadi cukuplah berbuat baik pada Mama, menurutku.   Mas Evin mengantar ke stasiun. Saat aku hendak meninggalkan stasiun, Mas Evun dengan erat.   “Mas, lepas. Aku bisa mati kehabisan napas.” Aku menggoda Mas Evin.   Ia pun mengurai pelukan. “Hati-hati di sana. Jangan lupa jaga kesehatan dan makan yang teratur. Jangan aneh-aneh, sholat juga.” Mas Evin menatapku.   Entah, setiap kali dinasehati soal sholat aku merasa sebal. Buat apa mendekatkan diri pada Tuhan, jika akhirnya selalu membuat hidupku menderita. Tak mau berdebat, aku pun mengangguk. Lalu, aku pun melangkah meninggalkan Mas Evin.   Aku berjalan menyusuri emperan stasiun. Orang-orang berlalu-lalang memenuhi emperan. Hendak pulang dan pergi. Menyatu dengan tukang asongan, penjaja koran, dan penjual makanan serta minuman.   Siang hari yang sangat terik. Kereta tidak terlalu penuh, mungkin karena belum banyak orang yang hendak bepergian. Aku bernapas lega, karena bisa duduk santai sepanjang perjalanan. Aku pun bergegas masuk ke gerbong kereta. Kereta listrik melaju dengan cepat membelah rel. Meninggalkan kota kecil menuju Ibu kota.   Setelah menempuh hampir lima belas jam perjalanan Kereta Listrik sampailah di stasiun Ibu kota. Gerbong di sini lebih keren dan terlihat tertutup serta sepertinya memiliki pendingin udara. Aku menatap lamat-lamat, berarti tak boleh ada penjaja asongan, penjual koran, dan pengamen dalam gerbong. Baru beberapa bulan aku meninggalkan Ibu kota, perubahannya sangat drastis. Benar-benar perubahan yang begitu cepat.   Tampak orang-orang berlalu lalang. Beranjak pulang dan pergi dari tempat kerja, jika dilihat dari wajah lelahnya. Mungkin sebagian baru pulang dari lembur karena waktu baru menunjukkan pukul empat dini hari. Rutinitas yang sama setiap hari. Kereta listrik menjadi pilihan terbaik, tak ada solusi yang lebih dari itu. Sebab, kereta listrik termasuk angkutan umum yang cepat dan murah meskipun tidak begitu nyaman. Apalagi, jika gerbong penuh dengan penumpang. Maka, kita harus rela berdiri sepanjang perjalanan.   Aku pun menuju halte terdekat untuk mencari bus. Setelah bus datang segera naik dan bus berhenti di terminal berikutnya. Aku berjalan menuju taman kota, karena hari masih sangat pagi. Aku sangat merindukan tempat ini.   Aku duduk di bangku taman kota, menanti terbitnya matahari di ufuk timur. Aku menarik napas. Setelah cukup lama berada di sini, akhirnya muncullah sinar matahari. Cuacanya tampak kemerahan dan memesona.   Akhirnya, aku bisa menyaksikan pemandangan matahari keluar dari persembunyiannya di kota besar ini. Meskipun bertahun-tahun berada di sini, aku belum pernah sekali pun melihat pemandangan yang sangat langka di sini.    Matahari terus merangkak ke barat, sinarnya mulai menyengat. Aku pun memutuskan untuk kembali menuju tempat kost.  *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN