Pengalaman Pertama

1034 Kata
Hari ini pertama kali aku mengajar. Kembali ke kampus tempat kuliah dulu. Ketika masuk ke area kampus, seketika langsung teringat Althan. Suasananya tidak banyak berubah, masih sama seperti dulu. Banyak kenangan yang tak bisa terlupakan. Apalagi perpustakaan kampus, asal mula kami berkenalan. Aku terus melangkah menapaki koridor kampus. Semua mata memandang dengan tatapan yang ... entah. Kedua alis bertaut. Apa ada yang aneh dengan penampilanku? Ah, sepertinya tidak. Pakaian pun tidak mencolok. Apa mungkin karena tubuh yang mungil? Jika dilihat dari postur memang aku masih pantas berseragam SMA. Wajah pun masih imut-imut. Tak ada salahnya, kan, memuji diri sendiri? Hari pertama mengajar harus bisa menyesuaikan dengan karakter para mahasiswa. Sebisa mungkin membuat situasi belajar mengajar yang menyenangkan dan tidak membosankan. Agar mahasiswa menyukai dan menerimaku sebagai dosennya. Ternyata menjadi dosen itu mengasyikkan, jika dijalani dengan tulus dan ikhlas. Dilaksanakan tanpa paksaan. Semua akan terasa nikmat. *** Untuk saat ini status masih sebagai dosen bantu dan bukan dosen tetap. Aku pun mengajar untuk vokasi –D3 ke bawah— karena memang hanya lulusan S1. Kalau ingin mengajar sarjana maka harus lanjut ke S2. Sebab itulah melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Rutinitasku bertambah dan semakin padat setelah menjadi dosen selama tiga bulan. Karena aku harus melanjutkan kuliah S2 demi karier. Durasi perkuliahan S2 lebih singkat, maka beban kerja juga semakin padat. Berbeda dengan masa kuliah S1 dulu, diberi waktu lebih banyak untuk menyelesaikan tugas. Sedang program magister ini jam kuliahnya lebih sedikit untuk mengumpulkan tugas. Sehingga tak bisa santai seperti dulu. Akan tetapi, aku menikmati semua ini. Demi keberhasilan dan kesuksesan masa depan. Kini, aku jarang memberi kabar Mas Evin dan mama, bukan karena lupa. Namun, waktu yang tak ada. Seringnya Mas Evin menelepon, menanyakan kabar. Aku mendengus. Mas Evin masih saja perhatian padaku, meskipun sudah kusakiti. Sungguh tak pantas untuk disakiti. Namun, aku bisa apa? Cinta tak bisa dipaksa, kan? Meskipun jadwal penuh, aku masih menyempatkan waktu sejenak menikmati panorama senja yang elok. Kebiasaan dari dulu hingga sekarang tak berubah, melihat kemolekan pemandangan senja. Warna jingga dan semburat cahaya kekuningan, menambah pesona pemandangan senja. Burung-burung terbang melayang di angkasa. Berkejaran satu sama lain, mereka berpasangan menuju rumahnya. Beban hidup sedikit berkurang dengan bersantai di taman kota ini. Aku tersentak kaget ketika ponsel bergetar. Pendar dari benda pipih bersegi panjang itu mengalihkan pandangan. [Cit, aku lulus seleksi CPNS.] Di akhir chat terdapat emoticon senyum. Aku ikut senang ketika membaca pesan dari Mas Evin. Syukurlah, keinginannya dari dulu tercapai. Aku pun mengetik balasan dan send. [Wah, selamat, ya, Mas. Semoga sukses selalu.] [Iya, makasih, Cit. Tinggal satu keinginan yang belum terwujud.] Dahiku berkerut. Apa maksud Mas Evin. [Memangnya apa, Mas?] Aku menantinya dengan hati was-was. [Memiliki dan mendapatkan cintamu.] Mas Evin memberi emoticon tertawa. Aku menghela napas panjang. Lalu, mengetik balasan. [Mas kamu itu ganteng, mandiri, hebat, dan mapan. Pastinya banyak cewek yang suka sama kamu. Cobalah untuk membuka hati untuk yang lain. Jangan mengharap cintaku.] Terkirim dan masih centang satu. Belum dibaca. Aku menunggu balasan dengan hati berdebar. Namun, sekian lama tak ada chat masuk. Aku mengecek, sudah centang biru. Berarti sudaj dibaca, kan? Kenapa tak ada balasan? Apa mungkin menyakitinya? Jiwa gelisah dan masygul. Matahari benar-benar telah bersembunyi di ufuk barat. Hari mulai gelap. Lampu jalanan mulai menyala bersatu dengan kerlap-kerlip cahaya kendaraan. Aku melihat ponsel lagi. Masih sama, tak ada balasan. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari taksi dan kembali ke tempat kos. Ingin segera merebahkan diri untuk sekadar melepas penat dan lelah. Tak perlu menunggu lama, taksi pun datang. Setelah menyebutkan lokasi tujuan, taksi melaju dengan pelan, memecah jalanan kota yang padat. Sesekali menengok benda pipih persegi panjang yang berada dalam genggaman. Atma benar-benar masygul. “Lagi nunggu chat dari pacarnya, ya, Mbak” tanya Pak Sopir. “Nggak, kok, Pak.” “Kenapa wajahnya gelisah, gitu? Aku terdiam, tak menjawab pertanyaan sopir yang kepo dan sok tahu. Taksi terus merangkak meninggalkan jalanan. Hingga tak lama kemudian sampailah di tempat kos. “Jangan lupa langsung telepon pacarnya, Mbak.” Sopir taksi menggodaku ketika aku sudah turun. Aku menoleh sekilas dan tersenyum. Tidak menghiraukan ucapannya. Baru sekali ini mendapat sopir taksi yang bandel. Aku segera membuka pintu dan langsung menghempaskan tubuh ke kasur. Lega rasanya bisa melepaskan persendian tulang. Ponsel bergetar, dengan tergesa langsung mengeceknya. [Cit, maaf, ya, tadi nggak bales lagi. Tadi di jalan soalnya.]. [Nggak apa-apa, Mas. Sekarang udah di rumah?] [Udah, Cit.] [Jangan lupas istirahat yang cukup. Kerja yang bener, jangan suka bolos. Udah jadi PNS, nggak boleh makan gaji buta.] aku membalasnya panjang lebar. [Iya, dasar bawel!] Aku hanya membalas dengan emoticon senyum. Lalu, tak ada balasan. Aku mematikan ponsel dan mencoba menutup mata. Dua jendela hati sudah tak mampu untuk tak menutup hari. *** Aku menggeliat. Mengerjapkan mata. Silau. Sinar matahari menerobos jendela yang ditutupi tirai tipis. Hari sudah pagi. Hari ini libur mengajar dan jadwal kuliah agak siang. Jadi, bisa sedikit bersantai. Dengan tergesa aku mandi. Aku memutuskan untuk jalan-jalan menikmati suasana pagi di Ibu kota. Menyisir sepanjang trotoar di sekitar tempat kos. Bertemu dengan beberapa ibu-ibu kompleks sekitar kos. Menyapa dengan senyuman. Pagi yang cerah dan tak sedingin di kota Malang. Menyenangkan. Sepagi ini jalanan sudah padat. Terdengar suara lalu-lalang kendaraan, bersatu dengan suara-suara penjaja koran, penjual asongan, pedagang kaki lima serta penjual minuman. Saling berteriak menawarkan dagangan masing-masing, bersahutan satu sama lain. Aktivitas kota yang padat. *** Siang ini sangat panas. Matahari terik tepat di atas kepala. Membuat semua orang enggan keluar rumah. Aku terpaksa pergi untuk mencari makan. Perut sudah sudah tidak bisa diajak kompromi. Melilit tidak karuan. Aku memutuskan untuk mencari makan di kafe dekat kampus. Saat tiba di kafe, segera mencari tempat dekat jendela. Merupakan tempat favorit, sebab bisa menikmati kondisi luar kafe. Karena terburu-buru dan tidak melihat sekitar, aku menabrak meja kafe. “Maaf ....” Aku menunduk. “Nggak apa-apa, dasar ceroboh.” Aku mendongak kaget karena mendengar suaranya. Sangat familiar sekali. “Althan!” seruku sedikit tertahan. Dia tersenyum. Manis sekali. Wajahnya sedikit berubah, terlihat lebih berwibawa dan keren. Terdapat kumis tipis di wajahnya, khas Timur Tengah. Dunia seolah berhenti berputar. Napas berhenti berembus. “Hei.” Althan melambaikan tangannya di depan wajahku. “Kebiasaan dari dulu. Melamun dan ceroboh,” lanjutnya. Aku tersenyum mendengar kata-kata Althan. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN