Aku hanya tersenyum sendiri mendengar kata-kata Althan.
“Nah, kan, senyum sendiri lagi. Dasar!” Althan langsung mencubit pipiku dengan gemas.
“Ish, apaan, sih!” sungutku sambil mengusap pipiku. Walaupun dalam hati, aku merasa senang diperlakukan seperti ini oleh Elang, tetapi aku sedikit agak jaga image.
“Duduk situ!” perintahnya sambil menunjuk kursi di depannya.
Aku pun duduk di kursi di depan Althan.
“Kamu kapan ke sini?” tanyaku.
“Baru aja.” Althan menjawab dengan singkat.
“Ih, nyebelin. Maksudku kapan kamu balik dari Turki?” tanyaku lagi.
Bukannya menjawab pertanyaanku, tetapi dia malah terbahak. Huh, malah tertawa. Kan, menyebalkan! Cowok aneh! Aku merengut.
“Nggak usah cemberut gitu. Tambah jelek,” katanya menggodaku.
“Biarin! Emang, jelek!” ketusku.
“Hahaha. Baru seminggu aku balik dari Turki. Maaf nggak mengabari, belum sempet. Rencananya nanti sore aku mau ngunjungi kamu ke taman kota. Eh, ketemu di sini.” Althan menatapku sambil tersenyum.
Melihat senyum Althan, aku menjadi salah tingkah. Aku pun hanya mengangguk sambil beroh ria. Lalu, kami memesan makanan. Setelah itu mengobrol banyak hal sambil menikmati makan siang. Ditemani alunan musik klasik, menambah ketenangan suasana.
“Kamu rencana liburan atau gimana?” Aku menatap wajah Althan.
“Mau menetap di sini lagi. Karena itu nggak sempat menemuimu, karena masih mengurus kepindahanku.” Althan menjawab sambil terus menikmati makan siangnya.
Aku mengangguk. “Kupikir kamu sudah nggak akan pernah kembali ke sini. Sudah nikah sama cewek Turki.” Aku terkekeh.
“Kembali ke sini, dong. Separuh hatiku masih tertinggal di sini.” Dia menatapku lamat-lamat.
Aku mengalihkan pandangan, tak mampu membalas tatapan tajam Althan. Entahlah, ada yang berdesir aneh saat pandangan kami bersirobok.
“Cit, apa kamu merindukanku?” tanya Althan tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan Althan, aku hanya bergeming. Bingung harus menjawab apa. Malu jika harus berkata yang jujur.
“Hhmmm.” Akhirnya, hanya dehaman yang keluar dari mulutku. Aku mengendikkan bahu.
“Yee, ditanya, kok, jawabannya gitu!” sungutnya.
Aku tergelak. Sungguh Althan tak berubah dari dulu. Masih suka ceplas-ceplos kalau bicara. Itulah yang membuatku suka berteman dengannya. Bukan yang baik di depan, tapi busuk di belakang.
Althan bukan orang yang sombong. Dia berasal dari keluarga kaya raya. Namun, tak pernah membanggakan kekayaannya. Tak memandang rendah orang lain. Terbukti mau bersahabat denganku yang berasal dari kalangan biasa saja.
“Hei!” teriaknya dekat telingaku.
Aku melotot tajam dan ia terbahak.
“Apa, sih? Nggak usah teriak bisa, kan?” tanyaku.
“Makanya jangan suka melamun. Nanti kalau kesambet, aku yang susah.” Althan tergelak.
Aku mengerucutkan bibir. Dasar!
“Kamu kangen nggak sama aku?” tanyanya lagi.
Aku bergeming. Sungguh tak tahu harus menjawab apa. Apa harus berkata jujur? Aku menatap wajah Althan dalam. Dia mengangkat alis, seperti minta penjelasan.
“Sangat.” Aku menunduk, tersipu malu.
Mungkin pipiku sekarang sudah merona. Rasanya sangat panas. Aku menyesal dengan jawabanku tadi. Kenapa juga aku harus berkata jujur? Aku terus merutuk dalam hati.
“Sangat apa?” Althan menatapku penuh selidik.
“Sangat merindukanmu ... di setiap waktu, bahkan di setiap sudut kota ini selalu ada bayanganmu. Kamu tahu? Setiap masuk ke perpustakaan, aku senantiasa teringat kamu. Tempat kita bertemu pertama kalinya.” Aku menunduk menahan malu. Entah, sudah seperti apa pipiku.
Aku tak bisa berpura-pura dengan berbohong kalau tidak merindukan Althan. Aku memang sangat merindukannya.
“Kamu makin pintar, ya, sekarang.” Althan tertawa lepas.
Aku mendongak dan memukul kepalanya dengan sendok.
“Aduh. Sakit tahu!” Matanya melotot.
“Biarin. Orang ngomong serius malah ditertawakan dan dibilang ngegombal!” ketusku.
“Sorry.” Althan tertawa. “Aku pun sama, sangat merindukanmu. Di Turki selalu terbayang wajah dan senyummu,” lanjutnya.
Aku mengulum senyum dan menunduk menahan malu. Tak berani membalas tatapan mata Althan. Dunia seakan-akan berhenti berputar. Jantungku berdegup lebih cepat. Aku mengusap d**a, takut debarannya terdengar Althan. Apa ini yang dinamakan cinta?
Lalu, suasana kembali hening. Kami saling terdiam. Hanya saling menatap satu sama lain. Berbicara melalui hati. Musik klasik terus mengalun dengan lembutnya. Menambah suasana menjadi romantis. Menjadikan panasnya siang hari terasa sejuk. Althan ... membuatku tak berkutik.
***
Setelah Althan kembali, hari-hari yang kulalui kembali berwarna. Tak merasa sendiri lagi. Ditambah dengan perhatiannya padaku, membuatku terbuai. Kami memang masih sebatas berteman, lebih tepatnya sahabat. Namun, kedekatan yang terjalin membuat orang lain berpikir bahwa ada hubungan khusus di antara kami.
Para mahasiswaku juga sering menggoda. Mereka pikir Althan kekasihku.
“Wah, ternyata pacar Ibu ganteng banget. Seleranya tinggi.” Salah satu mahasiswi menggodaku ketika aku sedang menikmati makan siang di kantin.
“Bukan pacar, kok,” ucapku sambil tersenyum.
“Bukan pacar, tapi calon suami.” Lalu, mereka berdua tergelak.
Aku hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka.
“Ibu, kok, tumben sendirian?”
“Nggak apa-apa, lagi pingin sendiri aja.” Aku tersenyum pada mereka.
Biasanya Althan memang selalu menemaniku makan siang di sini. Meskipun jarak kantornya ke kampus sedikit jauh, tapi dia rela ke sini. Hanya untuk bernostalgia semasa kuliah dulu.
Aku melongok benda mungil yang melingkar di pergelangan tangan, jarum menunjuk angka setengah satu. Masih setengah jam lagi waktu untuk kuliah. Selepas makan aku bergegas menuju perpustakaan, mencari buku untuk menyusun tesis. Kuliah program S2 hanya tinggal beberapa bulan saja. Aku hanya menunggu menyusun tesis dan sidang, setelah itu wisuda. Itulah yang telah kuagendakan dalam buku catatan. Ingin secepatnya lulus, agar bisa mendaftar menjadi dosen negeri.
Rasanya sudah sangat bosan duduk di bangku kuliah. Selalu berteman dengan buku dan angka. Jangan dibilang anak Ekonomi-Akuntansi itu bisa bersantai. Justru penghitungan angka-angkanya sangat rumit dan harus telaten serta teliti. Meleng sedikit saja bisa keliru secara keseluruhan.
Tiba di perpustakaan, aku segera mencari buku. Setelah selesai aku pun segera berlalu. Tujuanku ke kampus program S2-ku. Jaraknya lumayan, capai pasti. Di kampus tempatku mengajar tidak menanggung beasiswa untuk Magister. Jadi, aku mencari kampus lain untuk menempuh pendidikan S2.
Aku pergi ke kampus naik angkot, ya, biar bisa ngirit uang saku. Jadi aku memilih tidak naik taksi. Biarlah aku naik angkot bergabung dengan banyak orang. Tak perlu gengsi, hidup harus sesuai dengan kemampuan. Tak perlu harus terlihat kaya, padahal sebenarnya tidak kaya.
Selama beberapa hari ini, aku sama sekali tak pernah menghubungi Mama. Kesibukan yang terus kulalui, sehingga lupa untuk menelepon Mama. Lalu, aku pun mengirim chat WA pada Mama.
[Ma, maaf lama nggak pernah telepon atau VC Mama.] Chat WA-ku langsung terkirim dan dibaca oleh Mama. Tak lama kemudian langsung dapat balasan.
[Nggak apa-apa, Sayang. Yang penting kamu jaga diri baik-baik, jaga kesehatan jangan lupa.] Mama menyertai chatnya dengan emot peluk.
Seorang Mama pasti memang akan terus menganggap anaknya itu seorang putri kecil.
[Iya, Ma. Mama juga, ya? Harus jaga kesehatan. Mama nggak usah khawatirkan Citya di sini. Citya baik-baik aja, kok. Citya bisa jaga diri dengan baik. Mama tenang aja.]
[Alhamdulillah kalau gitu. Gimana dengan kuliah S2-nya?] tanya Mama.
[Lancar, Ma. Semua berkat doa Mama dan kerja keras Citya.]
[Syukurlah. Jangan lupa bersyukur pada Allah, karena telah memberimu kelancaran sampai sejauh ini.]
Membaca chat terakhir Mama membuatku sedikit malas. Ya, aku malas kalau Mama sudah membahas tentang Tuhannya yang kata Mama baik dan sebagainya. Entahlah, aku belum bisa sepenuhnya memercayai Tuhan. Bagiku semua keberhasilan yang kucapai ini karena kegigihan yang aku lakukan. Bukan karena yang lain.
Lalu, aku pun segera mengakhiri obrolan via chat dengan Mama, sebelum semua semakin berlanjut. Lagi pula aku sudah sampai kampus. Mama pun hanya mengucapkan supaya aku jaga kesehatan dan jaga diri dengan baik.
Aku menghela napas dalam. Aku tak mau menyakiti Mama, karena itu jika obrolannya merambah ke hal yang aku tak suka, lebih baik aku akhiri saja.
***
Bersambung