Aku menyusuri koridor kampus. Badan rasanya capai sekali, waktu sudah sangat sore. Bahkan sebentar lagi senja. Lalu, terdengar bunyi ponsel berdering. Aku segera mengambil dari dalam tas. Ada notif WA dari Althan.
[Cit, kamu di mana?] WA dari Althan.
[Di kampus, nih. Kenapa?] tanyaku.
[Tumben masih di kampus jam segini. Biasanya udah di taman.]
[Iya. Padat jam kuliah tadi. Harus persiapan buat menyusun tesis. Jadi tadi menemui dosen pemimbing dulu.]
[Iya, tapi jangan terlalu serius dan jangan terlalu capek. Kasihan badan kamu.]
Aku mendengkus kesal. Ya, mungkin memang Althan begitu perhatian padaku, tapi menurutku terlalu bawel jadi semakin membuatku kesal. Entah kenapa Althan ini cerewet sekali meskipun cowok.
[Bawel.] Aku menyertai emot marah.
[Kalau udah selesai cepet ke taman. Aku dari tadi nunggu kamu.]
[Hah. Emang udah pulang kerja?]
[Udahlah.]
[Enak banget, sih, jam segini udah pulang.]
[Hei! Ini udah hampir jam lima. Makanya liat jam. Jangan lupa waktu.]
Astaga. Benar ini sudah sangat sore. Aku baru sadar setelah sampai di luar kampus.
[Iya. Ini sudah selesai, kok. Udah mau jalan ke situ.]
[Tunggu aja disitu. Aku jemput.] Althan mengirim pesan lagi.
[Eh, nggak perlu, bisa ke situ sendiri, kok,] jawabku.
[Nggak boleh nolak. Lumayan, kan, nggak kehilangan uang buat bayar ongkos bus.] Althan ngeyel ingin menjemputku.
Dasar Althan. Betul juga, sih, bisa hemat.
[Ok. Aku tunggu di sini.] Lalu, aku mengakhiri chat kami.
Aku menunggu sambil membaca buku di koridor kampus. Tak lama kemudian ponsel bergetar. Pesan w******p dari Althan. Dia sudah ada di depan. Aku bergegas meninggalkan kampus.
“Lama banget, sih!” ketusnya ketika aku sudah ada di depan gerbang.
“Ini juga cepet!” Aku tak kalah dari Althan. Kemudian masuk ke mobil.
Mobil pun melaju dengan pelan, membelah jalanan kota yang padat. Selalu seperti ini setiap sore, kendaraan lalu lalang. Wajah-wajah lelah orang pulang bekerja. Terdengar pula suara-suara pengamen jalanan, pedagang keliling yang masih berteriak menawarkan dagangannya. Saling bersahutan satu sama lain.
Suasana dalam mobil hening. Kami terdiam satu sama lain. Entah, apa yang dipikirkan Althan.
“Kita mau ke mana?” tanyaku memecah keheningan.
“Ke tama kota, tadi sudah bilang, deh,” jawab Althan, pandangannya tetap lurus ke depan.
Aku menelan ludah. Entahlah, kenapa jadi gugup begini ketika bersamanya. Tidak seperti biasanya. Aku mengusap d**a yang berdebar semakin kencang, khawatir Althan mendengarnya. Aku memalingkan wajah ke luar jendela. Melihat pemandangan yang mulai gelap dan lampu-lampu jalanan Ibu kota mulai menyala. Beberapa lampu di emperan toko berkelap-kelip seperti disko.
“Sudah sampai.” Althan membuyarkan lamunanku.
Aku tergagap. Lalu, membuka pintu dengan gugup, alhasil lama sekali.
“Makanya jangan suka melamun!” protesnya.
Sial! Siapa juga yang melamun! Bibir mengerucut dan Althan pun terbahak.
“Coba, deh, liat cermin biar tahu gimana wajahmu kalau cemberut gini. Jelek banget.” Althan mencubit pipiku.
“Aduh, sakit tahu.” Aku memegang pipi.
Bukannya minta maaf Althan malah tergelak. “Kamu lucu, sih.”
Lalu, kami kembali melangkah dalam diam. Menikmati udara malam yang tidak begitu dingin.
“Citya,” panggil Althan.
“Iya.” Aku menoleh.
Terdengar Althan menghela napas, seperti memikirkan sesuatu.
“Hei.” Aku menepuk pundaknya.
Althan menoleh dan menatapku meminta penjelasan.
“Malah melamun. Tadi aku nggak boleh melamun, kamu sendiri malah melamun,” kataku berkacak pinggang.
Dia hanya menghela napas. Lalu, pindah posisinya menghadap ke arahku dan menatap lekat-lekat. Membuat jantung berdegup sangat kencang. Bekerja lebih keras dari biasanya. Wajahnya yang bersih tanpa jerawat, alis tebal dan hidung bangir membuatku terhipnotis. Pipi terasa memanas. Tangan telah basah oleh keringat yang mulai berkumpul.
“Hei! Kenapa tegang? Aku nggak bakak gigit kamu, kok.” Althan tertawa lebar.
Aku mengalihkan pandangan. Malu. Kenapa jadi salah tingkah begini? Lalu, hening. Hanya suara lalu lalang kendaraan yang terdengar. Hari semakin gelap. Bintang di langit mulai berkerlap-kerlip, sangat cantik. Membuatku terkagum. Bulan pun tampak tersenyum menyaksikan kebersamaan kami. Malam yang indah.
Karena semakin larut, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Althan mengantarku.
***
Esok pagi aku membuka mata dan menguceknya. Aku terkaget karena mendengar bunyi ponsel bergetar. Lalu, mengambilnya di nakas. Tertera ada tiga panggilan suara dan dua chat w******p dari Althan. Aku langsung membukanya.
[Woy.]
[Bangun.]
[Tidur apa pingsan, sih? Dari tadi di telepon nggak diangkat, di-chat pun nggak dibalas.] Disertai dengan emoticon marah.
Aku tersenyum sendiri membacanya. Lalu, mengetik balasan untuknya.
[Iya, maaf. Nggak denger, kecapean.]
[Nanti malam ada acara nggak?]
[Nggak. Kenapa?]
[Jalan, yuk.]
Kedua alisnku bertaut, aku heran sejak kapan mau mengajak jalan bilang dulu? Biasanya langsung datang sendiri?
[Ke mana?] Akhirnya balasan itulah yang kukirim.
[Turki.] Dia membalas disertai emot tertawa.
[Ogah.] Aku membalasnya
[Bercanda. Ntar malam aku mau ngajak kamu dinner. Harus mau, nggak boleh nolak!]
Pupil mata membesar membaca balasannya. Jantung tiba-tiba berdetak lebih kencang dari biasanya. Kenapa tiba-tiba Althan mengajakku dinner?
[Kamu serius?]
[Iyalah. Kapan aku bercanda?]
[Setiap hari.] Aku memberi emoticon marah.
[Pokoknya ntar malam jam tujuh harus sudah siap. Nggak ada kata tidak!]
[Yei, ngajak, kok, maksa gitu.]
[Nggak boleh protes. Udah aku kerja dulu. Bye.]
Aku lalu mematikan ponsel. Menarik napas dalam. Mengapa d**a berdebar tak karuan begini? Biasanya Althan suka mengajak secara mendadak, tanpa pemberitahuan dulu. Aku harus tampil beda dari biasanya, karena malam yang spesial. Apalagi malam minggu.
***
Bersambung