Tiba di perpustakaan aku langsung menuju rak buku dan mengambilnya satu. Ketika hendak meraihnya, ternyata dari arah yang berlawanan sudah ada yang memungutnya. Aku mencari lagi, ternyata tidak ada buku dengan judul yang sama. Aku sangat kecewa, padahal tujuan utama tadi adalah buku itu. Lalu, asal mencomot yang lain.
Saat sedang asyik duduk sambil membaca, tiba-tiba ada yang menyodorkan buku. Aku mengangkat wajah dan terlihat dengan judul yang sama tadi. Mulutku sedikit ternganga, pupil mata membesar melihat seorang cowok berkacamata, dia tersenyum. Aku hanya memandangnya meminta penjelasan.
“Iya, ini bukunya buat kamu saja. Kayaknya kamu sangat membutuhkan buku ini,” katanya sambil menyerahkannya padaku.
Tanpa berpikir panjang aku pun mengambilnya. “Makasih banyak, ya,” ucapku sambil tersenyum.
Dia mengangguk. “Aku Althan,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
“Acitya,” kataku tanpa menyambut uluran tangannya.
“Senang berkenalan denganmu, gadis cupu yang tidak punya teman,” ucapnya sambil tersenyum kecut.
Aku berhenti membaca dan mendongakkan wajah. Mengernyitkan dahi, menatapnya heran. Ternyata dia sama saja dengan yang lainnya. Aku mengeram kesal.
“Hahaha, maaf bukan maksud untuk mengejekmu. Cuma sering dengar para mahasiswa membicarakanmu.” Dia menangkupkan tangan di depan d**a.
Aku tetap bergeming. Hati masih diselimuti rasa dongkol. Seenaknya saja kalau berbicara.
“Penasaran sama gadis yang di bilang cupu. Bagaimana rupa dan sikapnya. Harusnya bukan cupu sih, ya, kan selalu mendapat nilai IP tertinggi,” lanjutnya sambil duduk di depanku.
Aku masih membisu, tidak menyahut ucapannya. Biarkan dia berpendapat apa pun. Ah, ternyata aku cukup terkenal di kampus ini. Banyak yang tahu tentang siapa aku. Ternyata menjadi terkenal itu gampang, cukup jadi diri sendiri tanpa harus berubah menjadi orang lain.
“Aku anak fakultas Ekonomi, jurusan Ekonomi-Manajemen.” Dia menatapku lekat. “Kamu?” tanyanya.
“Fakultas Ekonomi juga, hanya beda jurusan Ekonomi-Akuntansi,” jawabku singkat.
Kulirik dia sekilas, wajahnya blasteran Turki-Jawa, saat tersenyum tadi terlihat lesung pipit di pipinya. Kulitnya sawo matang seperti kebanyakan orang Indonesia, tapi hidungnya sangat mancung.Wajahnya benar-benar keturunan Timur Tengah. Tubuhnya menjulang tinggi. Terlihat sangat keren. Ah, apa sih yang ada di pikiranku.
Hari-hari kujalani dengan semangat tanpa mengeluh. Hal yang paling menyenangkan adalah ketika pulang kerja di sore hari. Selalu menyempatkan diri ke taman kota. Melihat pemandangan yang menurutku sangat indah.
Aku duduk di bangku taman. Terlihat matahari sore. Warna jingga memenuhi angkasa. Awan-awan bahkan benda-benda lainnya pun terlihat jingga. Burung-burung terbang di angkasa, bergerombol menuju tempat istirahatnya. Sungguh pemandangan yang sangat indah menjelang senja. Panorama yang tidak akan pernah kulewatkan.
“Hei, Acitya. Kamu masih di sini?”
Aku menoleh. “Althan,” desisku.
“Sedang apa? Setiap senja di sini?” Althan menatapku lekat.
Aku mengangguk. “ Aku senang menikmati pemandangan sore yang indah.” Tanpa menoleh pada Althan.
Ia mendekat dan duduk di sampingku. Kami terdiam cukup lama. Larut dengan pikiran masing-masing.
“Hmmm, Citya,” panggil Althan.
“Ya,” jawabku sambil tetap melihat indahnya langit senja.
“Apa setiap senja kamu selalu di sini?”
“Iya.”
Aku meliriknya. Dia manggut-manggut, seolah berpikir sesuatu.
“Kamu sendiri ngapain ke sini?” Aku menatap Althan.
“Tadi ada kelas sore, saat turun dari Bus tadi kulihat seperti kamu. Jadi ke sini deh.” Althan tersenyum.
Duh senyumnya itu manis sekali, lesung pipit di pipinya membuatku ingin terus menatap wajahnya. Entahlah, saat bersama Althan jiwa terasa damai dan tenang. Mungkinkah hatiku sudah sedikit mencair?
Kami terus membicarakan banyak hal, termasuk yang sepele. Hingga tak terasa malam menginjak datang. Warna jingga di langit berubah menjadi gelap dan sekeliling sudah berubah terang dengan cahaya lampu kota. Pemandangan malam yang sangat indah.
Kami memutuskan untuk pulang. Althan menawari untuk mengantar, tapi aku menolak. Lebih suka naik kendaraan umum. Althan terus mendesak, tapi aku tetap bersikeras menolak secara halus. Akhirnya dia mengalah dan menemani menuju halte terdekat.w.
Menunggu bus datang dalam diam. Hanya ditemani suara hingar-bingar kendaraan. Entah, d**a berdesir aneh. Belum pernah seperti ini selain dengan Mas Hamdan dulu. Apa mungkin hatiku terbuka? Ah, entah.
Setelah menanti kira-kira tiga puluh menit, bus tiba. Aku mengucapkan terima kasih pada Althan, kemudian naik ke bus.
***
Sejak pertemuan di taman kota sore itu, hubungan kami semakin akrab. Menjadi sepasang sahabat. Dia kakak tingkatku. Mungkin bisa dibilang tidak sopan karena memanggil dia tanpa sebutan kakak. Akan tetapi, masa bodoh dengan panggilan, yang paling penting tetap hormat dan menghargainya. Dia juga tidak mempermasalahkan sebuah panggilan.
Kebiasaanku melihat pemandangan sore yang indah dengan warna awan yang jingga masih tetap berlanjut. Hanya bedanya, kini tak sendiri lagi. Ada yang menemani setiap sore. Althan.
Dia selalu ada kapan pun dan di manapun aku butuhkan. Setelah sekian lama berada di kota asing sebatang kara, barulah sekarang mempunyai seorang teman. Seorang yang selalu mengisi hari-hariku. Selama ini aku memang selalu menutup diri untuk siapa pun. Akan tetapi, ketika Althan berusaha mengenalku, aku membiarkannya begitu saja.
Kini, hidupku sedikit berubah. Tak lagi terpuruk. Mulai menata hati. Melewati hari dengan senyuman.
Setiap malam, seusai menyaksikan indahnya pemandangan senja dengan warna jingga, kami menikmati indahnya kota dengan jalan-jalan di sekitar taman. Suasana yang elok. Lampu-lampu kota ditambah dengan kerlap-kerlip cahaya dari kendaraan yang lalu-lalang terlihat sangat memesona.
“Hidup itu harus dinikmati. Jangan terlalu serius menjalaninya. Memang benar kita harus mencapai impian, tapi jangan lupa untuk selalu bahagia. Kita harus berdamai dengan takdir, Insyaallah akan semakin santai menjalani hidup,” nasehat Althan padaku.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum mendengar nasehatnya. Sudah seperti seorang kakak pada adiknya.
“Kalau diajak ngomong itu jangan Cuma tersenyum, kebiasaan deh!”
“Hahaha, iya pak guru. Maaf.” Aku menggodanya.
“Dasar gadis mungil yang cupu,” ucapnya mengejekku.
Aku tak marah, meskipun dia mengolok seperti itu. Sudah biasa, hanya gurauan saja.
Saat berjalan bersamanya memang aku seperti kurcaci, kecil dan mungil. Karena tubuhnya menjulang tinggi, seperti kebanyakan warga negara Turki.
Kami, berjalan dalam diam. Entah, kenapa tiba-tiba teringat Mas Hamdan. Ah, andai saja Mas Hamdan masih ada mungkin aku tidak berada di sini, masih tetap di kota kecil. Entah, bagaimana keadaan di sana sekarang. Sudah lama sekali tidak pulang. Berulang kali mama menyuruh pulang jika kuliah sedang libur, tapi aku menolak secara halus. Bukannya tidak rindu mama, tapi belum sanggup untuk mengingat kenangan di sana. Setidaknya sampai benar-benar bisa melupakan nostalgia bersama Mas Hamdan.
Aku berjingkat ketika Althan memanggil dengan teriakan di dekat telinga. Pupil mata membesar.
“Jangan kenceng-kenceng kalau manggil!” ketusku.
”Hahaha.”
“Malah ketawa!? Dasar cowok aneh.”
“Makanya kalau jalan itu jangan sambil melamun. Diajak ngomong dari tadi diam saja.”
Aku bergeming. Menoleh sekilas kembali menatap lurus ke depan dan terus melangkahkan kaki.
“Jangan cemberut gitu, wajahmu jelek banget. Dasar mata bulat,” ucapnya sambil tertawa.
Hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Althan. Dia memang telah memberi warna dalam hidupku yang suram. Mengisi kekosongan yang selama ini kurasa.
Lalu, kembali hening dan sunyi. Kami sama-sama larut dengan pikiran masing-masing. Berjalan menyusuri trotoar. Sambil melihat kendaraan yang melaju tiada henti. Berjalan sambil terdiam. Hanya suara kendaraan yang terdengar.
***
Bersambung