Gundah Gulana

1130 Kata
Hari-hari terus kulalui seperti biasa. Tanpa terasa waktu merangkak begitu cepatnya. Bulan telah berganti tahun. Kuliahku berjalan normal seperti biasa. Namun, aku harus terus mengejar nilai IPK yang tinggi, agar terus bisa mendapat beasiswa. Setidaknya bisa membantu meringankan beban Mama, apalagi Mama berjuang seorang diri. Selama kuliah pun aku jarang sekali pulang, walau lebaran aku juga tidak pulang. Ya, sudah dua tahun aku tidak pernah pulang. Karena sayang uang sakunya. Mama pun memaklumi. Yang penting katanya aku bisa jaga diri dan kesehatan. Itu yang paling penting. Hubunganku dengan Althan, juga semakin dekat. Dia sering mengajak aku jalan-jalan sore jika aku sudah pulang dari bekerja. Althan sudah hafal dengan jadwalku, jadi dia tidak pernah mengganggu semisal aku sedang sibuk belajar ataupun bekerja. Althan sering juga mengajakku untuk bertemu dengan kedua orang tuanya, tetapi aku selalu menolak. Di antara kami tidak ada hubungan spesial, hanya persahabatan biasa. Meskipun di antara para mahasiswi sering terdengar desas-desus tak mengenakkan. Seperti siang ini, sehabis ada jam kuliah, aku sengaja tidak langsung pulang, kebetulan aku juga sedang libur bekerja. Terdengar obrolan dua mahasiswi yang terdengar jelas di telingaku. “Eh, itu Althan, cowok paling ganteng dan idola semua mahasiswi kampus, kenapa juga malah milih si cupu, sih? Udah cupu, kuper pula.” Salah satu mahasiswi berkata dengan nada sinis. Aku yang duduk tak jauh dari tempat mereka hanya diam. Aku tahu siapa yang sedang mereka perbincangkan. “Lah iya, masak Althan idola kampus malah pacaran sama siapa itu, Acitya, cewek kutu buku. Duh, Althan apa nggak melek, ya?” sahut salah satunya. “Mungkin kena pelet.” Lalu, terdengar suara tawa yang membahana dari mereka berdua. Aku pun hanya melirik sekilas. Pura-pura tidak tahu dan tidak mendengar. Masa bodoh meskipun semua mahasiswa di kampus ini menghina aku. Toh, aku dan Althan tidak pernah berhubungan apa pun. Althan juga tidak pernah mengatakan kalau mencintaiku. Jadi, ya, buat apa aku terlalu percaya diri? Lagian mana mungkin cowok idola dan keren seperti Althan jatuh cinta pada cewek cupu macam aku? Aku hanya tersenyum sendiri. “Eh, itu cewek apa budeg, atau beneran bego, ya?” Terjadi lagi percakapan di antara mereka. “Kenapa?” “Ya, masak kita omongin dari tadi nggak dengar?” “Budeg kali.” Lalu, terdengar lagi suara tawa yang menggelegar dari dua mahasiswi yang duduk tak jauh dari tempatku. Aku masih saja diam dan tak menanggapi apa pun. Kemudian, saat aku sedang asyik membaca modul kuliah, seseorang menepuk pundakku dengan pelan. “Udah selesai dari tadi jam kuliah kamu?” Aku menoleh saat mendengar suaranya yang begitu familiar. “Eh, Althan. Sudah. Kamu baru selesai?” tanyaku balik. “Iya, ini mau ngurus skripsi, jadi banyak yang harus aku kerjain.” Althan tersenyum padaku. “Wah, aku mungkin nanti juga gitu, ya, kalau udah mau skripsi.” Aku menatap Althan dengan serius. Aku sedikit melirik ke arah dua mahasiswi tadi. Mereka seperti sedang berbisik-bisik. Aku yang melihatnya begitu geram. “Althan, menurutmu lebih baik ngomong langsung, atau di belakang kamu?” tanyaku membuat Althan mengernyit. “Kamu ngomong apa, sih?” tanya Althan padaku. Aku hanya nyengir saja. Althan tidak tahu kalau dirinya sedang dibicarakan dan terkenal satu kampus. Althan menatapku dengan tajam. “Citya, hello? Kamu malah ngelamun,” sungut Althan. “Hahahaha, sorry, abisnya kamu lucu.” Aku tertawa heboh sambil menatap Althan. “Lucu kenapa?” tanya Althan sambil menatapku tajam. “Ya lucu aja, Althan. Kita itu sedang jadi bahan perbincangan seluruh kampus. Masak kamu nggak risih dikira pacaran sama aku. Padahal kita cuma sahabat, nggak lebih.” Aku menjelaskan panjang lebar pada Althan. “Ya biarlah. Lagian ngapain kita ngurusin mereka. Mereka ya biarin ngurusin kita.” Althan berkata dengan sangat santai. Setelah mendengar perkataan Althan, aku pun tak peduli lagi pada omongan para penghuni kampus ini. *** Tanpa terasa, sudah lima purnama aku berada di rantau orang. Kuliah pun telah usai. Rasanya seperti baru kemarin saja aku di sini. Setiap warsa, peradaban, pusat pemerintahan, dan bisnis berkembang maju dengan pesatnya. Lulusan sarjana semakin banyak, maka persaingan untuk meraih pekerjaan pun membludak. Sehingga membuat semakin sulit mendapat lowongan. Lulusan terbaik sebuah universitas terkenal pun tidak mudah diterima perusahaan. Aku masih terus berjuang mencari pekerjaan sesuai dengan bakat dan jurusan. Tak pernah menyerah. Mungkin memang belum rezeki, untuk mendapat pekerjaan yang layak. Masih serabutan, menjadi pelayan restoran dan penjaga toko baju. Sejujurnya aku hampir putus asa dan menyerah. Ingin sekali kembali ke kota kelahiran, tapi belum siap jika haru pulang dalam keadaan belum sukses. Suatu saat nanti akan pasti kembali untuk memeluk Mama. Rasa rindu sungguh membuncah dalam hati. Selama ini hanya suara dan gambarnya saja yang bisa mengobati. Setiap kali telepon Mas Evin, pasti selalu diceramahi, bahwa hidupku seperti ini karena tidak mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Namun, hatiku masih tertutup, tak percaya bahwa semua yang terjadi karena itu. Masih sangat benci pada Tuhan, entah kapan akan terbuka. Jika, Mas Evin mulai berbicara soal agama, maka aku langsung mengakhiri percakapan. Muak! Aku mendesah pelan. Mengacak rambut sebal. *** Malam ini terasa begitu mencekam. Hawa dingin menusuk hingga ke kalbu. Sunyi. Senyap. Seperti jiwaku yang hampa. Aku berbaring di kasur dan menatap langit-langit kamar yang bersinar karena cahaya lampu. Tiba-tiba saja, aku kangen pada Mas Evin. Akhirnya, memutuskan untuk menelepon. “Hallo, Mas,” kataku ketika panggilan tersambung. “Assalamualaikum. Biasakan mengucapkan salam, Cit.” Suara Mas Evin dari seberang. Aku memutar bola mata, selalu seperti itu. “Iya, maaf, lupa.” “Jangan ngambeklah. Gimana kabarnya?” Suara dari seberang terdengar bahagia. “Citya sehat, kok, Mas. Mama dan Mas Evin sehat juga, kan?” tanyaku balik. “Alhamdulillah Mas dan Mama sehat, kok.” Mas Evin terdengar menghela napas. “Mas kangen banget sama kamu. Memangnya kamu nggak pulang? Nggak kangen apa sama kita di Malang?” “Kangen ... Mas. Tapi belum saatnya Citya pulang. Nanti kalau sudah waktunya aja. Salam, ya, buat mama.” Aku menahan gejolak rasa dalam hati. Rindu sangat menggebu. “Iya, kamu baik-baik, ya, di sana. Jaga kesehatan jangan lupa.” Kami mengobrol banyak hal hingga larut malam. Mencurahkan rasa rindu yang terpendam. Sedikit terobati meski hanya bertegur sapa melalui udara. “Sudah malam, Mas. Citya mau istirahat dulu. Besok harus kerja. Bye.” “Salamnya lupa. Assalamualaikum.” “Iya, waalaikumsalam.” Aku menjawab malas, sempat terdengar Mas Evin terkekeh. Namun, aku tak mau bercanda, langsung mematikan telepon. Setelah obrolan selesai. Lagi, aku merasakan sesak yang teramat dalam. Menahan rindu terhadap keluarga itu rasanya ngilu sekali. Bagai ditusuk ribuan jarum, bahkan lebih dari itu. Di sini aku senantiasa sendiri. Dulu dan sekarang sama saja. Sunyi. Sepi dan hampa. Atma terasa kosong. Tiada tempat mencurahkan isi hati. Aku mengusap wajah kasar. Mencoba menutup mata, berharap bisa terbang ke alam mimpi. Karena dua jendela hati tak mampu untuk tetap bertahan. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN