Pagi ini terasa berbeda untuk Kalla. Badannya masih terasa lemas, tidak seperti biasanya yang kuat dan bersemangat. Sekarang terasa lesu, lemas, juga tidak bersemangat. Kalla bersiap ke kampus dengan sisa tenaga yang Kalla punya. Rambuatnya diikat agar terlihat sedikit lebih segar, bibirnya Kalla warnai dengan lipstik yang lebih merah dari biasanya. Pipinya pun Kalla beri warna lebih terang dari biasanya. Semua untuk menutupi wajahnya yang terlihat sedikit pucat dan kurang sehat hari itu. Setelah selsesai, Kalla masih sempat memeriksa semua bawannya sebelum turun ke bawah dan berangkat ke kampus.
“Hmmmm, aman semuanya,” ucap Kalla sambil memeriksa semua bawaannya di tas maupun tas kecil yang Kalla bawa.
Kalla membuka pintu kamarnya, menutup lalu berjalan menuju tangga. Namun, Kalla terkejut tiba-tiba ada suara seperti barang jatuh. Suaranya sangat keras sekali. Kalla buru-buru turun ke bawah untuk melihat suara apa sebenarnya. Sampai di tengah tangga, Kalla melihat Mama dan Papanya sedang sama-sama diam. Mama Kalla sudah menangis, Papa Kalla terlihat sangat emosi di wajahnya. Kalla antara ingin langsung pergi, atau menengahi Mama dan Papanya. Rasanya Kalla tidak memiliki tenaga lebih untuk memisahkan atau menengahi perdebatan Mama dan Papanya.
“Kamu itu perempuan bisanya apa, sih? Setiap hari pulang malam, nggak pernah menyiapkan apapun untuk suami dan anaknya, nggak pernah mengurus rumah, nggak pernah,” Papa Kalla tidak melanjutkan pembicaraannya karena Mama Kalla memotongnya.
“Aku kerja! Aku nggak enak-enakan di luar, kerja banting tulang buat memenuhi kebutuhan kita semua. Kamu juga!” Mama Kalla setengah berteriak saat memberi penjelasan kepada Papa Kalla.
“Kerja apa? Sampai setiap hari pulang malam, berangkat pagi-pagi sekali. Nggak pernah ngurus suami!” Papa Kalla berbalik marah dengan Mama Kalla.
“Aku akan cari pembantu, untuk mengurus semua keperluanmu dan Kalla. Jadi, aku akan lebih fokus bekerja dan tidak pusing mengurus semua keperluan rumah tangga!” jawab Mama Kalla sekaligus mengalahkan segala argumen Papanya.
“Kamu ini!” Papa Kalla teriak sambil mengejar Mama Kalla karena merasa obrolan mereka belum selesai.
Kalla sudah tidak nafsu makan di rumah. Semua hari Kalla sudah dirusak dengan pertengkaran dipagi hari. Kalla sudah tidak peduli dengan badannya yang lemas, perutnya yang melilit, juga semua yang sedang Kalla rasakan saat itu. Paling penting, Kalla bisa keluar rumah agar tidak mendengar pertengkaran Mama dan Papanya lagi.
Saat Kalla membuka pintu rumah, Kalla merasa sangat lemas dan hampir saja jatuh. Gibran langsung menangkap Kalla. Membantu Kalla berdiri serta tidak membiarkan Kalla berdiri sendiri. Tangan Gibran memegangi badan Kalla yang terlihat sangat lemas. Kalla sangat terkejut dengan kedatangan Gibran. Gibran tidak memberi kabar apapun kepada Kalla. Tiba-tiba saja sudah ada di depan rumah Kalla.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Gibran cemas dengan keadaan Kalla.
Kalla menatap Gibran sedikit lebih lama. Kalla berpikir, sejak kapan Gibran ada di depan rumahnya. Jika sudah berdiri di depan rumahnya lebih dari 5 menit, maka, Gibran mendengar semua keributan yang terjadi dipagi hari ini. Kalla menghela napas lebih panjang, menghembuskan dengan lebih kencang.
“Kak Gibran sejak kapan ada di depan rumah?”
“Eemmmm mungkin, sekitar 10 menit yang lalu,” jawab Gibran tidak yakin, bisa jadi lebih dari 10 menit yang lalu.
“Kak Gibran dengar....”
Gibran tidak membiarkan Kalla menyelesaikan kalimat pertanyaannya itu.
“Kamu sudah siap berangkat?” tanya Gibran mengalihkan pembicaraan Kalla.
“Sudah,” jawab Kalla sambil mengangguk dengan lemas.
“Kita berangkat sekarang,” Gibran langsung mengajak Kalla berangkat saat itu juga. Tidak lupa Gibran menggandeng tangan Kalla dan membukakan pintu untuk Kalla. Setelah memastikan Kalla aman dan sudah duduk dengan nyaman, Gibran menutup pintunya, lalu, bergegas meninggalkan rumah Kalla.
Beberapa menit setelah Gibran dan Kalla dalam perjalanan, Gibran memutuskan untuk berhenti di pinggir jalan. Di depan ruko yang masih tertutup rapi.
“Kenapa berhenti, kak? Ada masalah dengan mobilnya?” Kalla penasaran mengapa Gibran berhenti di pinggir jalan.
Gibran tidak menjawab apa-apa, Gibran langsung memberikan makanan yang sudah disiapkan untuk Kalla sarapan.
“Makan dulu, ya!” perintah Gibran kepada Kalla sambil membuka sterofom berisi bubur.
“Ini untuk aku?” tanya Kalla keheranan.
“Iya buat siapa lagi?”
“Kenapa nggak kak Gibran saja yang makan?”
“Ini memang buat kamu, Kal. Sekarang kamu makan saja, biar kita nggak terlambat berangkat ke kampusnya,” ucap Gibran, hampir menyuapi Kalla karena tidak sabar.
“Eeee iya-iya, aku makan sendiri saja,” Kalla menolak disuapi oleh Gibran.
“Kak Gibran kenapa pagi-pagi sudah ke rumah aku?” Kalla penasaran kenapa Gibran sudah berada di rumah Kalla pagi hari.
“Mau nganterin sarapan buat kamu. Kan kemarin kamu bilang, roti tawar kesukaan kamu habis persediannya. Jadi, aku takut kamu nggak sarapan lagi hari ini. Aku bawain bubur deh buat kamu,” jawab Gibran sembari membuka botol air mineral untuk Kalla.
Gibran menemani Kalla makan bubur di dalam mobil yang terparkir di pinggir jalan. Kalla menikmati bubur bawaan Gibran. Entah darimana Gibran membeli bubur itu, tapi, rasanya enak dan memberikan sedikit tenaga untuk Kalla.
“Jangan buru-buru, tapi jangan lama-lama juga, ujar Gibran melihat Kalla yang sedang asyik makan buburnya sampai tersedak. Gibran memberikan air mineral yang telah disiapkannya.
“Maaf ya, kak. Jadi ngerepotin,” ucap Kalla malu-malu, pipinya bertambah merah.
Ketika suasana di dalam mobil sedang nyaman dan tenang, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. Mobil itu kacanya terbuka, memanggil Gibran dengan keras.
“Gibran!”
Gibran langsung membuka jendelanya, melihat siapa yang membuat keributan di pinggir jalan.
“Sepertinya aku kenal suara siapa itu,” Gibran tidak jadi menurunkan kaca mobilnya.
Natasha masih mengklakson mobil Gibran dan memanggil nama Gibran.
“Itu kak Natasha, ya?” Kalla sedikit panik dan khawatir dengan kehadiran Natasha.
“Iya, itu Natasha. Sudah, tenang saja. Kamu nggak akan kenapa-kenapa selama ada aku di sini,” jawan Gibran menenangkan Kalla.
Karena terlalu berisik bunyi klakson mobil Natasha, Gibran akhirnya turun dari mobilnya. Sebelum turun, Gibran pesan agar Kalla menghabiskan sarapannya dan jangan mempedulikan Natasha.
“Kamu di dalam mobil saja, ya. Habiskan makanan kamu, aku keluar sebentar,” pamit Gibran kepada Kalla.
Kalla khawatir dengan Gibran. Cemas terlihat jelas di wajahnya. Kalla tidak bisa fokus menghabiskan makanannya. Tapi, jika Kalla tidak menghabiskan makanannya, Kalla tidak mau Gibran kecewa.
“Apa sih lo sama junior? Pakai berhenti di pinggir jalan kayak gini,” tanya Natasha sudah dengan nada setengah tinggi.
“Kenapa sih, Nat?” Gibrn tenang menanggapi Natasha.
“Pasti Kalla ya yang ada di dalam mobil? Gue mau lihat!” Natasha memaksa untuk melihat Kalla di dalam mobil.
“Apaan sih, Nat!” Gibran melarang Natasha untuk melihat Kalla di dalam mobil.
“Sekarang cepet lo pergi dari sini, buruan berangkat ke kampus! Perintah Gibran kepada Natasha.
“Lo jadi beda setelah ada junior itu. Siapa sih Kalla, bisa-bisanya bikin gue diusir sama Gibran. Gue bakal bikin perhitungan, liat saja nanti!” Natasha kesal dengan Gibran.
“Nat, ini urusan pribadi,” Gibran menasehati Natasha.
Natasha pun akhirnya pergi meninggalkan Gibran dan Kalla. Kalla mulai lega karena tidak jadi dilabrak oleh Natasha di pinggir jalan. Harinya tidak seburuk yang ada dipikirannya beberapa saat lalu.