bc

If I'm Not There

book_age16+
9
IKUTI
1K
BACA
time-travel
others
drama
sweet
realistic earth
slice of life
weak to strong
like
intro-logo
Uraian

Kejadian di kampus memakan banyak energi, pikiran, serta perasaan Kalla. Aksa, Meira, dan Gibran memiliki ruang dihati Kalla. Namun, dengan porsi dan rasa yang berbeda. Terutama untuk Aksa dan Gibran. Aksa yang selalu ada untuk Kalla bagaimanapun keadaan Kalla. Gibran yang sering memberikn luka, tapi, tetap saja Kalla cinta. Entah memang dari hatinya atau karena hubungannya sudah terlanjur berjalan seperti dulu yang Kalla minta. Kalla tetap menyebutnya cinta.

Kalla pulang untuk mencari ketenangan, tetapi, tidak ada yang mengobati lukanya, justru semakin ditaburi garam oleh kehidupan di keluarganya.

“Apa tidak ada kesempatan aku mencium tangan Mama dan Papa setiap aku pulang? Apa tidak ada kesempatan untuk aku menyapa Mama dan Papa setiap kita bertemu? Apa Mama dan Papa tidak ingin bercanda bersama di ruang tamu yang sekarang terlampau hampa? Atau sekedar mengisi ruang-ruang di rumah ini dengan kehangatan bukan kekosongan,” pertanyaan Kalla yang diucapkan tanpa mengharap ada jawaban dari siapapun.

chap-preview
Pratinjau gratis
KETIKA AKU PERGI
Kejadian di kampus memakan banyak energi, pikiran, serta perasaan Kalla. Aksa, Meira, dan Gibran memiliki ruang dihati Kalla. Namun, dengan porsi dan rasa yang berbeda. Terutama untuk Aksa dan Gibran. Aksa yang selalu ada untuk Kalla bagaimanapun keadaan Kalla. Gibran yang sering memberikn luka, tapi, tetap saja Kalla cinta. Entah memang dari hatinya atau karena hubungannya sudah terlanjur berjalan seperti dulu yang Kalla minta. Kalla tetap menyebutnya cinta. Kalla memutuskan untuk pulang ke rumah sendiri, tanpa Aksa, Meira, atapun Gibran. Kalla ingin menenangkan dari pertengkaran dengan sahabat juga kekasihnya. Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada harus memilih antara kekasih dan sahabat. Bagi Kalla sahabat dan kekasih adalah dua hal yang penting setelah keluarga. Tidak ada yang harus dipertahankan untuk melepaskan salah satunya. Karena sahabat dan kekasih akan memiliki cara sendiri membuat hati Kalla bahagia. Sepanjang jalan, Kalla menarik napas panjang, lalu mencoba membuangnya lewat mulut. Kalla ingin hatinya tenang sebelum sampai di rumah. “Semoga, sampai di rumah semua perasaan campur aduk ini akan hilang. Aku kembali tenang,” ucap Kalla dalam hati sambil mengelus tangan kanannya yang masih digendong karena patah. Kalla berjalan sesekali menatap ke langit. Hal itu membuat Kalla tersandung, sehingga hampir saja badan Kalla jatuh di jalan beraspal. “Huhhhh... Astaga Kalla Kalla... Jalan itu menghadap lurus ke depan, bukan ke atas,” Kalla menasehati dirinya sendiri. Kalla mengerutkan kedua alisnya karena mendengar seperti ada suara pertengkaran. Hati Kalla mulai tak tenang, panik, dan khawatir. Namun, Kalla masih menaruh harapan di sana, semoga, pertengkaran itu bukan berasa dari rumahnya. Kaki Kalla bingung harus melangkah lebih cepat atau justru berhenti. Kalla takut mengetahui sumber suara pertengkaran itu, disisi lain, Kalla ingin tahu siapa dalang dari pertengkaran itu. “Huhhhh...,” Kalla mencoba melangkahkan kakinya lebih cepat. Mengepalkan tangan kirinya, supaya lebih memberinya kekuatan. Memejamkan matanya sesekali, supaya rasa takut yang ada tidak selalu muncul disetiap kaki Kalla melangkah. “Semoga itu bukan Mama dan Papa... Semoga itu.....,” belum selesai Kalla berbicara sendiri, Kalla sudah mengetahui siapa dalang dari pertengkaran yang terdengar dari jauh. “Kenapa?” Pertanyaan yang keluar lirih dari mulut Kalla sambil diiringi tangisan yang ditahan. Kalla memberanikan diri berjalan masuk ke dalam rumah. Menahan segala air mata yang ingin sekali turun melihat pertengkaran yang ada di depan mata.  Semua khayalan Kalla ingin menenangkan diri di rumahnya pun hilang dalam waktu sekejap. Hati Kalla bukan sakit lagi, namun kini sudah berserakan lukanya melihat kedua orang tuanya yang bertengkar hebat. Tidak ada yang mengobati lukanya, justru semakin ditaburi garam oleh kehidupan di keluarganya. “Pokoknya aku mau kita cerai!” ucap Mama Kalla dengan keras. “Aku nggak mau lagi punya suami yang kerjaannya selingkuh, kasar sama istrinya, dan nggak bertanggung jawab sama anak sendiri!” “Diam!” teriak Papa Kalla sambil menahan diri untuk tidak menampar Mama Kalla. “Ngaca dulu sebelum kamu menuduh aku sembarangan.” “Bukan aku yang tukang selingkuh, kamu yang perempuan murahan! Kamu yang lebih mementingkan pekerjaan nggak jelas kamu itu.” “Enak saja kamu bilang! Itu pekerjaan selama ini menghasilkan lebih banyak uang dari pada kamu, ya!” bentak Mama Kalla karena tidak terima dengan ucapan Papa Kalla. “Uang yang lebih banyak? Tapi harus kamu menggadaikan harga diri kamu dengan kerja bareng bo-bos laki-laki, dan pulang larut malam? Itu pekerjaan yang kamu banggakan?” “Iya, aku bangga dengan pekerjaan aku karena lebih menghasilkan uang banyak daripada kamu. Aku sekretaris profesional, sementara kamu apa? Kamu yang punya pekerjaan nggak jelas, Cuma bisa main perempuan!” Kalla menunduk lalu menumpahkan segala kesedihannya lewat air mata. Kala memeluk dirinya sendiri untuk memberikan kekuatan kepada hati dan jiwanya. “Aku kuat, aku kuat, aku kuat,” ucap Kalla lirih. “Cukup!” teriak Papa Kalla yang tidak terima atas tuduhan Mamanya. “Oke, kalau permintaan kamu cerai, aku akan turuti. Tapi urus anak kamu itu!” “Dia juga anak kamu! Jadi, kamu yang bertanggung jawab atas Kalla,” balas Mama Kalla. “Aku tidak mau bawa Kalla, kamu ibunya. Kamu yang bertanggung jawab atas Kalla. Aku akan kirimkan uang untuk Kalla setiap bulannya. Kalla ikut kamu! Aku sudah sibuk dengan pekerjaanku, aku tidak mungkin mengurus anak,” ujar Papa Kalla. “Aku nggak butuh uang kamu, dasar laki-laki buaya!” bentak Mama Kalla menolak semua yang dibicarakan Papa Kalla. “Diam kamu!” Papa Kalla membentak Mama Kalla dan mendorong Mama Kalla hingga jatuh. “Mama...,” Kalla berteriak. Kalla tidak tahu harus berbuat apa, harus menolong Mamanya yang jatuh, atau menolong dirinya sendiri dari sayatan ucapan Mama dan Papanya sendiri. “Kalla,” panggil Mama dan Papa Kalla terkejut. “Sejak kapan kamu ada di situ?” tanya Mama Kalla sambil sedikit kesakitan. “Sejak Mama dan Papa saling melemparkan hak asuh aku,” jawab Kalla singkat. “Aku salah apa Ma, Pa? Sampai kaian tidak ada yang mau mengurus aku? Apa aku bukan anak kandung Mama dan Papa? Apa aku anak dari panti asuhan yang Mama  Papa adopsi? Atau aku anak...” “Cukup Kalla!” Papa memotong pembicaraan Kalla. “Ini salah Mama kamu, Mama kamu yang tidak becus mengurus keluarga. Sekarang Mama kamu minta cerai dari Papa. Papa tidak mungkin mengurus kamu sendirian, kamu tahu Papa sangat sibuk dengan pekerjaan Papa,” jelas Papa Kalla. “Kamu bilang ini semua salah aku? Kalau kamu bisa mencukupi semua kebutuhan kita, aku tidak akan mencari pekerjaan. Ini semua karena kamu yang tidak becus cari uang!” sangkal Mama Kalla yang tidak terima dengan omongan Papa Kalla. “Jadi, sekarang apa yang Mama dan Papa mau? Kalla pergi dari rumah ini? Kalla...” “Engga Kalla, kamu tidak perlu pergi dari rumah ini. Kamu ikut sama Papa Kamu saja, ya.” “Kita cerai sekarang juga! Aku akan pergi dari rumah ini,” ucap Papa Kalla dengan tegas. “Kalla, kamu ikut saja dengan Mama kamu, Papa akan pergi.” Papa Kalla pergi dari rumah sambil membawa tas dan kopernya setelah megucapkan talak kepada Mama Kalla. “Kring...kring,” telepon genggam Mama Kalla berbunyi. Mama Kalla tidak jadi mengejar Papa Kalla dan memilih untuk menjawab teleponnya. “Iya, pak... Baik, saya akan segera ke sana. Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja selagi ada saya... Hehhee,” Mama Kalla masih sempat memberikan ketawa kecil kepada si penelepon. Kalla hanya bisa berdiam diri, terpaku melihat semua kejadian yang berlalu beberapa menit yang lalu. “Mama pergi dulu ya, Kalla. Nanti kalau Kalla butuh uang, atau apapun, telepon Mama. Mama harus pergi sekarang,” ucap Mama Kalla sambil membereskan tasnya, tanpa memberikan kecupan untuk Kalla ataupun menatap mata Kalla yang semakin sayu. “Maaaaa,” Kalla memanggil mamanya dengan lirih. Tetapi Mama Kalla sama sekali tidak menengok,  justru mempercepat langkah kakinya lalu masuk ke mobil. “Aaaaaaa....” Kalla berteriak dalam hatinya, bertanya kepada semesta, ada apa dengan kehidupannya hari itu? Kenapa harus air mata yang menemani Kalla. Tidakkah ada bahagia ingin masuk dalam kehidupan Kalla? Kalla sangat membutuhkan bahagia saat itu juga. “Kenapa?” tanya Kalla kepada diri sendiri sambil memeluk badannya, lalu menangis sepuasnya. Agar kesedihan puas melihat keadaanya saat itu. “Apa tidak ada kesempatan aku mencium tangan Mama dan Papa setiap aku pulang? Apa tidak ada kesempatan untuk aku menyapa Mama dan Papa setiap kita bertemu? Apa Mama dan Papa tidak ingin bercanda bersama di ruang tamu yang sekarang terlampau hampa? Atau sekedar mengisi ruang-ruang di rumah ini dengan kehangatan bukan kekosongan,” pertanyaan Kalla yang diucapkan tanpa mengharap ada jawaban dari siappaun. Karena Kalla tahu, tidak akan ada jawaban ketika pertanyaan itu tertuju untuk Mama dan Papanya.  Kalla memeluk dirinya kembali, menekuk kakinya, meletakkan kepala di lututnya sambil mengeluarkan tangisan yang ingin sekali keluar dari sesaknya d**a Kalla. Hening, hampa, kosong. Hanya itu yang tersisa di rumah. Tak ada kata-kata yang cukup lagi untuk menggambarkan bagaimana keadaan rumahnya saat ini. Apalagi hati Kalla. Sudah hancur, lalu terinjak, selanjutnya terisak. Sungguh berat bagi Kalla yang seharusnya merasakan kebahagiaan sebagai Putri tunggal dari kedua orang tuanya. Tetapi sekarang justru lapisan kepedihan yang harus Kalla terima. “Ayo Kalla, menangis dulu. Supaya kesedihannya luruh bersama air mata yang mengalir di pipi. Ayo Kalla menangis sekencang-kencangnya,” ucap Kalla perlahan dengan posisis yang masih seperti tadi. Memeluk diri sendiri. “Apa aku sudah tidak ada artinya lagi buat kamu, Kal?” suara Aksa yang tiba-tiba muncul. Aksa khawatir dengan keadaan Kalla setelah melihat Papa Kalla yang pergi membawa tas serta kopernya dalam keadaan kesal dan marah. Aksa merasa pasti ada yang terjadi di rumah Kalla. Puluhan kali telepon Aksa tak ada jawaban, puluhan pesan teks Aksa juga tak kunjung dibaca. Akhirnya Aksa memutuskan untuk datang ke rumah Kalla. Lalu benar, Kalla sedang tak baik-baik saja. “Kalla...” Aksa menarik Kalla untuk bangun melihatnya. Tatapan Aksa memberikan isyarat jika Kalla masih punya Aksa, dunia tidak akan hancur begitu saja setelah apa yang dialaminya. “Kamu masih punya aku, Kal.. Aku masih ada, aku masih hidup,” ucap Aksa sambil mengelus pipi Kalla. “Aksa... Kamu apa ke sini?” tanya Kalla sangat berhati-hati. “Pertanyaan kamu sama sekali nggak masuk akal.” “Kenapa?” “Harusnya kamu tanya kalau aku nggak datang ke rumah kamu sekarang.” “Terus?” “Kalla... Udahan ya polosnya, nanti saja. Sekarang waktunya...” “Nanti kalau Gibran tahu kamu ke sini bagaimana? Nanti aku..” “Aku nggak akan biarin Gibran marahin kamu apalagi Gibran berani nyakitin kamu!” jawab Aksa dengan sedikit kesal karena Kalla masih saja memikirkan perasaan Gibran disaat perasaan Kalla sudah tak tahu arah.  “Sekarang kamu bangun dulu, ya. Kasihan tangan kanan kamu daritadi ketindihan badan kamu.” “Iyaaa, sakit tangan aku, makanya aku nangis karena tangan aku sakit,” ucap Kalla mencoba membohongi Aksa. “Kamu nggak bisa bohong sama aku, Kal,” jawab Aksa sambil membantu Kalla berdiri dan duduk di kursi. “Kamu duduk dulu di sini, jangan duduk di lantai lagi. Nanti tangan kamu sakit, kaki kamu juga pasti pegel. Aku ambilin minum dulu ya buat kamu. Biar kamu lebih tenang.” Aksa meninggalkan Kalla sejenak untuk mengambilkan minuman untuk Kalla. Aksa tidak tega melihat keadaan rumah Kalla yang berantakan, banyak pecahan beling, dan barang-barang yang jatuh akibat Mama dan Papa Kalla bertengkar. “Kamu minum dulu, ya,” Aksa menyodorkan minuman untuk Kalla. Aksa menolak Kalla menerima minuman darinya. Aksa mau memegang gelas agar Kalla bisa langsung minum. “Aku bisa minum sendiri, Aksa,” ujar Kalla menolak Aksa yang menyodorkan gelasnya langsung ke bibir Kalla. “Coba tangan kanannya bisa nggak?” tanya Aksa. “Aksa... Paling bisa deh bikin aku nggak bisa jawab.” “Iya lah, apapun pertanyaannya Kamu pasti nggak bisa jawab,” ucap Aksa sambil sedikit menggoda Kalla. “Sekarang sudah lebih tenang?” tanya Aksa setelah Kalla selesai minum. Kalla mengangguk tanpa memberikan sepatah kata lewat mulutnya. “Nah, kalau gitu, waktunya kamu cerita ke aku. Apa sebenarnya yang terjadi. Ada apa sampai kamu nangis  di lantai tadi?” “Kan aku sudah bilang, tangan aku sakit, gara-gara ketindihan badan. Jadi aku nangis,” jawab Kalla Aksa tiba-tiba menyenderkan badannya ke tangan kanan Kalla. Lalu, Kalla pun mengeluh kesakitan. “Auuuu... Sakit dong Aksa tangan aku,” keluh Kalla sambil menarik badannya hingga membuat Aksa terjatuh. “Aduhhh,” Aksa mengeluh sedikit karena badannya jatuh di kursi. “Kok kamu nggak nangis?” tanya Aksa kepada Kalla. “Kenapa nangis?” “Kata kamu, tadi kamu nangis karena tangan kamu sakit. Barusna sakit, kan? Kenapa nggak nangis?” Kalla tidak menjawab pertanyaan Aksa. Kalla hanya memandangi Aksa dengan sedikit aneh. “Berarti kamu bohong, kan?” “Sekarang cepet bilang sama aku, kenapa tadi kamu bisa duduk di lantai sambil menangis?” tanya Aksa sambil wajahnya memelas mengharap jawaban dari Kalla. “Aku bisa selesain masalah aku sendiri, kok. Jadi, kamu nggak perlu khawatir. Semua akan baik-baik saja, Aksa,” jawab Kalla sambil mengelus kepala Aksa, isyarat menenangkan Aksa. “Yaudah, aku pulang. Jangan cari aku lagi. Kamu sudah nggak butuh aku lagi,” ucap Aksa dengan nada penuh kecewa. Ucapan kekecewaan Aksa sedikit menyayat hati Kalla. “Aku...,”Kalla mencoba meghalangi Aksa pergi dari rumahnya. Aksa berjalan keluar dari rumah Kalla. Kalla bangun dari duduknya, menatap punggung Aksa. “Kalau aku kejar Aksa, bagaimana dengan Gibran? Aku tidak mau ada salah paham lagi dengan keduanya. Aku sayang mereka berdua dengan cara yang berbeda. Tapi, sekarang butuh Aksa. Aku butuh seseorang untuk menenangkan hati aku dari seala kekacauan,” ujar Kalla dalam hatinya. Kalla memejamkan mata, melihat ada keyakinan di sana. Memilih menyembuhkan hatinya terlebih dahulu atau memikirkan perasaan kekasihnya yang sekarang pun tidak ada di hadapannya. “Aksaaaaaa,” Kalla memanggil Aksa. Aksa berhenti di depan pintu rumah Kalla. Menarik napas lalu menghela napasnya sebelum menengok ke arah Kalla. “Iyaaa,” Aksa terkejut karena ternyata Kalla sudah ada di depannya. “Kenapa kamu kaget?” “Kan tadi kamu di sana, kenapa tiba-tiba sudah ada di sini?” “Kan aku bisa jalan Aksa, yang sakit tangan aku, bukan kaki aku,” jawab Kalla dengan sedikit bad mood. “Yaudah iya maaf. Sekarang duduk saja, ya. Kamu ceritain semuanya sambil duduk biar nggak capek. Nanti kalau capek nangis lagi,” ledek Aksa kepada Kalla. Kalla mengerutkan alisnya, tanda kesal dengan ledekan Aksa. “Jadi?” tanya Aksa membuka pembicaraan ketika mereka sudah mulai duduk. “Memang kita mau ke mana sih Aksa. Katanya mau dengerin aku cerita,” ucap Kalla dengan bibir yangmulai cemberut. “Astaga Kalla... Siapa yang mau ngajak kamu pergi, sih. Aku mau dengerin kamu cerita. Sekarang kamu mulai ceritanya. Terserah darimana.” “Mama dan Papa kamu kemana? Kok nggak ada yang di rumah? Terus rumah kenapa berantakan banget? Oh iya, tadi aku lihat Papa kamu juga pergi buru-buru bawa tas dan koper. Mau kemana?” Kalla mendengarkan semua pertanyaan Aksa  dan tidak sadar meneteskan air matanya. Karena Kalla malu, Kalla menumpahkan tangisannya dengan memeluk Aksa. “Kenapa Kalla? Kenapa? Kan tadi sudah tenang, kenapa sekarang nangis lagi?” Kalla tidak menjawab pertanyaan Aksa. Kalla hanya menggelengkan kepala.  Kalla menangis lagi dipelukan Aksa, menangis semaunya. Aksa memeluk Kalla, membelai rambutnya, mengelus punggungnya, membuat Kalla merasa lebih tenang di pelukannya. Tidak memaksakan pertanyaannya kembali. Hanya menenangkan Kalla seperti biasa yang Aksa lakukan setiap Kalla kehabisan kata-kata, lalu memiih untuk menangis. Aksa membiarkan pundaknya sebagai sandaran Kalla, membiarkan bajunya basah karena air mata Kalla. Aksa tak peduli badannya pegal, dan napasnya sedikit engap, yang penting Kalla tenang dan merasa nyaman. “Yaudah, sekarang kamu boleh menangis semau kamu. Yang paling penting, aku ada di sini, bisa peluk kamu,” ucap Aksa dengan nada yang lembut. “Aksa,” panggil Kalla lirih disela pelukannya kepada Aksa. “Iya? Kenapa?” “Apa kamu masih mau jadi teman aku, kalau aku jadi gelandangan?” tanya Kalla kepada Aksa. “Haaaa?” Aksa terkejut dengan pertanyaan Kalla. “Kamu ngomong apasih Kal?”Aksa maih heran dengan pertanyaan Kalla. Kalla melepaskan pelukannya perlahan. “Iyaaaa..” “Iya apa, Kal? Yang jelas dong kalau ngomong.” “Papa sama Mama mau cerai, Sa.” “Cerai?” Aksa mencoba setenang mungkin mendengar cerita Kalla. “Tapi...” Kalla menghentikan ucapannya sebentar. Memandangi Aksa, lalu memandangi rumah dan seisinya yang kini terlihat semakin hampa juga kosong. “Heiii... Tapi apa?” tanya Aksa dengan lembut sembari memecah pandangan Kalla. “Tapi, mereka nggak mau aku ikut mereka.” “Maksudnya?” Aksa masih belum paham dengan ucapan Kalla. “Mama dan Papa nggak ada yang mau bawa aku, Sa. Aku sedih....” Kalla kembali menangis setelah mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang terlalu menyakiti hatinya, apalagi kenyataannya. Terlalu mengiris hati dan perasaannya. “Kamu serius?” tanya Aksa memastikan semua yang Kalla bicarakan. Kalla mengangguk menjawab pertanyaan dari Aksa. “Tadi Mama dan Papa bertengkar hebat. Mama minta cerai. Setelah itu aku dengar jika Mama dan Papa tidak ada yang mau membawa aku. Mereka hanya ingin fokus dengan kerjaan mereka masing-masing. Sekarang, Papa pergi dari rumah inientah kemana. Sedangkan Mama, Mama pergi mengurus pekerjaannya tanpa ada yang mempedulikan aku,” jelas Kalla dengan panjang. Kalla menahan tangis lagi. Lalu Aksa memeluk Kalla, mencoba memahami apa yang Kalla alami dan rasakan. “Aku nggak bisa banyak berkomentar, Kal. Aku Cuma mau bikin kamu tenang, nyaman, dan aman,” ujar Aksa sambil mempererat pelukannya. Kalla melepaskan pelukan Aksa. “Terus aku harus bagaimana, Sa? Apa kehidupan aku akan berhenti di sini? Akan berakhir seperti ini?” tanya Kalla dengan wajah yang masih penuh dengan air mata. “Hidup masih akan terus berjalan selama kamu masih bisa menghirup dan menghembuskan napas dengan bebas. Hidup kamu juga masih akan terus berlanjut selama aku masih ada  di sini. Kamu masih punya Tuhan, dan Tuhan mengirimkan aku untuk menjaga kamu selama apapun itu.” Aksa mengusap semua air mata Kalla sampai kering. Aksa tidak tega melihat gadis yang dicintainya menderita, bersedih, dan berlinang air mata di hadapannya. Hati Aksa seperti diiris. Seolah Aksa tidak berdaya untuk melindungi Kalla dan menjaga Kalla seperti yang selama ini Aksa ucapkan. “Aku nggak bisa meihat kamu menangis terus seperti ini, Kal,” “Kenapa?” “Aduhhh Kalla... Masih juga ditanya. Kamu diem saja deh, nangis saja biar agak romantis omongan kita,” ucap Aksa dengan sedikit kesal dan gemas. “Oke.” “Oke apa?” “Sabar dulu makanya, Kal. Aku kan belum selesai ngomong. “Sekarang kamu ambil semua baju kamu, kemasin semua barang-barang penting kamu. Terus, kamu iktu aku.” “Ikut kemana? Kamu mau culik aku?’’ “Astagaaaaa. Apa nyulik pakai acara bilang dulu dan nyuruh siap-siap?” “Terus?” “Sudah nggak ada lanjutannya. Kamu ke atas, masuk ke kamar, kemasin barang-barang kamu sekarang, ya. Aku tunggu di sini. Oke?” “Hmmmmm, oke,” Kalla mengangguk lalu mengikuti perintah dari sahabatnya itu. Aksa menunggu Kalla yang sedang mengemasi barang-barangnya di kamarnya. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Kalla turun membawa barang-barangnya. Aksa langsung berdiri dari duduknya. Dengan sigap, Aksa menggantikan Kalla membawa semua barang. “Sudah siap?” “Mau kemana?” “Kemana saja, yang penting tempatnya nyaman dan aman buat kamu,” jawaban Aksa sekaligus menggeret koper dan menarik tangan Kalla keluar dari rumah. “Kita mau kemana Aksa? Jawa aku dulu. Kalau kamu nggak jawab pertanyaan aku, aku nggak mau ikut kamu,” ancam Kalla kepada Aksa. “Ke rumah aku, lah. Mau kemana lagi emangnya? Kamu pikir kita mau ke rumah Gibran? Dia saja sekarang nggak ada di sini, kan?” “Gibran lagi sibuk. Kasihan kalau harus ikut pusing dengan urusan aku,” jawab Kalla membela kekasihnya itu. “Tapi, kalau aku ikut ke rumah kamu, nanti Gibran bisa salah paham lagi, Sa.” “Terus kamu mau ke mana? Kamu mau tinggal sendirian dengan keadaan rumah yang berantakan kayak gini? Bisa saja rumah ini Mama atau Papa kamu jual. Terus kamu mau ke mana lagi?” tanya Aksa meyakinkan Kalla. “Jual? Rumah ini mau dijual?” tanya Kalla dengan ajah yang sedih. “Sudah ya, sekarang kamu ikut aku ke rumah dulu. Nanti kita lanjutkan pembicaraan kita ini. Aku sudah laper banget, Kal,” Aksa mengajak Kalla untuk segera pergi ke rumahnya. Kalla menarik tangan Aksa, menahan Aksa untuk pergi dari rumahnya. “Mama sama Papa kamu bagaimana?” “Tenang saja. Ada aku, Kal. Aku nggak akan ngebiarin kamu terancam ataupun membahayakan kamu. Aku Cuma ingin kamu aman dan nyaman. Oke?” Kalla mengangguk mendengar semua jawaban Aksa yang menenangkan hatinya. “Yaudah, yuk! Kita berangkat sekarang, ya.” Dari kejauhan, ternyata ada yang sedang mengamati Aksa dan Kalla. Mengamati dengan saksama pergerakan Kalla dan Aksa. Sampai pembicaraan Kalla dan Aksa pun coba didengarkan. Setelah mendengar semua yang dibicarakan oleh Aksa dan Kalla, matanya berbinar. Seolah mendapatkan ide yang luar biasa. Aksa dan Kalla meninggalkan rumah Kalla disusul oleh si penguntit. Aksa dan Kalla sama sekali tidak merasakan jika mereka sedang diikuti oleh seseorang.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
187.7K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.3K
bc

TERNODA

read
198.2K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
29.5K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
29.6K
bc

My Secret Little Wife

read
131.8K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook