Bab 1: Sang Dewa Erotis

1880 Kata
Bella. Rumah Tania adalah rumah impian yang sesungguhnya. Ayahnya telah membangun rumah itu mengikuti bentuk rumah yang ada di mimpinya, atau setidaknya itulah yang dia katakan kepada kami ketika masih kecil. Ketika memandang rumah itu sekarang, aku memercayai perkataannya. Tidak kusangka bahwa di rumah ini, semua impianku akan menjadi kenyataan ... Lima tahun telah berlalu sejak terakhir kali aku berkunjung ke Kota Semarang. Datang ke rumah Tania terasa sama saja seperti sebelumnya. Aku telah menghabiskan begitu banyak musim panas di rumah ini, sehingga datang ke sini rasanya seperti menyapa teman lama. Rumah besar itu memiliki tiang-tiang tinggi, putih, dan menjulang yang berjejer di teras, menonjolkan gapura-gapura besar yang berada di atas pintu. Arsitekturnya khas sekali dengan selera ayah Tania, yang cukup masuk akal karena dia telah memimpikan arsitektur itu. Perbedaannya sekarang adalah atapnya telah direnovasi menggunakan genteng merah bata, dan penataan tamannya benar-benar berbeda, sekarang dilengkapi dengan bunga-bunga yang rimbun. Pak Janu bahkan telah menambahkan air mancur marmer berwarna putih ke halaman depan, yang menggambarkan seorang dewi yang sedang disembah. Dia benar-benar telah melakukan pekerjaan yang luar biasa, dan setelah melihat penampilan luar rumah tersebut, aku tidak sabar untuk melihat perubahan di bagian dalamnya. Rumah ini bagaikan rumah keduaku. "Ya Tuhan!" teriak Tania dengan girang. "Lihatlah tempat ini! Bella, Ayah benar-benar telah melakukan renovasi besar-besaran, bukan?" "Ya, benar-benar luar biasa," jawabku, sambil melirik ke arah Tania dan menggelengkan kepala. Syukurlah dia tidak pernah datang ke rumah orang tuaku. Meskipun aku tidak mau berprasangka bahwa Tania akan menilai kondisi ekonomiku ... aku merasa bahwa dia akan melakukannya. Tania sudah terbiasa hidup dikelilingi dengan kerapian dan kemewahan. Kemewahan semacam ini tidak mungkin dimiliki orang sepertiku. Aku tidak memiliki rumah besar atau mobil mewah atau keamanan yang ketat. Keluargaku tidak memiliki kapal pesiar, pelayan, maupun pembantu. Semua hal-hal itu dimiliki oleh Tania. Tapi hal-hal tersebut tidak terlalu berpengaruh bagiku. Aku suka dengan kehidupanku, dan aku bersyukur bisa menjadi bagian dari kehidupan Tania juga. Aku tidak pernah mengerti bagaimana kami berdua bisa berteman, tapi aku bersyukur memiliki seseorang seperti Tania. Kami telah mendukung satu sama lain melalui banyak hal, dan tak peduli betapa jengkelnya kami kepada satu sama lain, kami layaknya sepasang saudari. "Aku lapar sekali. Kira-kira ayah menyiapkan jamuan kecil untuk kita tidak, ya?" gumamnya sambil mengambil barang-barangnya dan melirikku. "Apa kamu sudah siap?" "Tentu saja." Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum, dan melihat Tania berjalan dengan gembira menuju pintu depan. Kayu mahoni berpeliturnya berkilau di bawah sinar matahari Kota Semarang. Indah sekali. Hal itu tidak bisa dipungkiri. Saat melewati ambang pintu, aku merasa seolah-olah berada di Jepara. Dekorasi menghiasi keseluruhan Gunungan itu, dan menyoroti setiap aspek dari rumah ajaib itu. Terakhir kali aku datang ke sini adalah ketika kedua orang tua Tania bercerai. Saat itu, dekorasi rumah itu masih terlihat liar, sesuai dengan selera ibu Tania. Jadi melihat selera dekorasi ayahnya terwujudkan, merupakan pemandangan yang cukup menyegarkan bagiku. "Ayah!" teriak Tania, menjatuhkan semua tasnya ke lantai dengan serampangan sambil berlari ke dapur. "Aku pulang!" Aku tidak mengerti mengapa Tania terus bertingkah seolah usianya masih lima tahun, tapi di saat yang sama, aku terlalu terpesona dengan dekorasi rumah itu untuk memedulikan perbuatannya. Dengan hati-hati, aku meletakkan barang-barangku di sebelah barang-barang Tania dan menatap langit-langit sembari berputar perlahan, berusaha mencerna semua hal yang kulihat. "Mungkin dia tidak ada di rumah," kataku sambil menatap mata Tania sekali lagi. "Dia ada di rumah. Mobilnya ada di jalan masuk, dan dia bilang tadi sedang menghadiri rapat yang panjang. Itu sebabnya dia tidak menemui kita di bandara." Aku memutar bola mataku, dan bibirku menyeringai sembari menduduki salah satu kursi bar antik yang tinggi. Tania memiliki begitu banyak drama yang tidak kupedulikan, dan jika mengingat bahwa kita baru di sini kurang dari sepuluh menit, ini adalah rekor baru. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin ikut campur dalam percakapan Tania dengan ayahnya. Aku sudah tahu percakapan macam apa yang akan terjadi. "Yah," aku mengangkat bahu, "mungkin dia menggunakan mobil lain?" Lagi pula dia memiliki cukup uang untuk menggunakan lebih dari satu mobil. "Ini omong kosong!" Tania berteriak dengan frustrasi. "Dia seharusnya menyambutku begitu aku sampai di rumah." Ah. Itu dia! Tuan Putri Tania mulai bertingkah lagi. Saat mataku tertuju ke jendela di dapur, aku melihat sosok bak seorang dewa sedang berenang di kolam. Aku yakin sekali mengenai identitas orang tersebut ... Karena aku sudah tahu. Dia adalah Janu Raharja. Ayah Tania, sang dewa gairah. Sejak usiaku enam belas tahun, aku pernah berfantasi tentang menyelinap ke kamar ayahnya dan dipaksa olehnya untuk tunduk. Cara jari jemarinya mencengkeram tenggorokanku sembari memberitahuku bahwa aku adalah gadis baiknya ... Aku tahu itu salah, tapi di saat yang sama, itu hanyalah sebuah fantasi kekanak-kanakan. Sebuah fantasi yang tak berani kuceritakan pada Tania. Lagi pula ayahnya tidak mungkin memanfaatkan seorang gadis muda. Bahkan walaupun aku rela menyerahkan diri padanya. "Eh, sepertinya dia sedang keluar dari kolam," aku menghela napas, mencoba mengalihkan perhatianku. Tak peduli berapa kali aku mencoba mengalihkan pandanganku darinya, aku tidak bisa. Dia terlalu mempesona, dan dengan tetesan air yang menetes di perutnya yang berotot, yang bisa kulakukan hanyalah menikmati pemandangan. Persetan. Bagaimana mungkin dia semakin seksi seiring bertambahnya usianya? "Apa?" Tania tersentak saat melirik ke arah yang sedang kupandang. "Dia justru berenang alih-alih menyambutku saat aku pulang?" Nada meremehkan dalam suaranya menyadarkanku dan membuatku memutar bola mata. "Aku tidak mengerti ada masalah apa, Tania. Siapa peduli? Kita sudah sampai di sini sekarang, dan kita punya musim panas yang panjang untuk dinikmati." Dia berputar menghadapku; ketidakbahagiaan tersorot dari tatapannya. "Aku tahu." "Jadi?" Aku mengangkat bahu. "Lalu apa masalahnya?" Sambil menyilangkan tangan di depan d**a, dia mencemooh, "Karena Ayah biasanya selalu menyapaku di pintu. Menurutmu tidak mungkin dia punya wanita baru, 'kan? " Aku tidak bisa menahan tawa sembari menatapnya dengan tidak percaya. "Kamu serius? Itu sangkaanmu?" "Yah ... " ia mengangkat bahu dengan frustrasi, "Aku membaca di internet bahwa ketika seorang pria mengubah pola perilaku mereka, biasanya hal itu disebabkan perubahan besar ... seperti wanita baru." Seharusnya aku mengetahui hal itu. Pasti hal yang sama telah terjadi dengan Cakra, aku berkata dalam hati sambil menarik napas. Aku tidak mengerti cara berpikir Tania. "Memangnya itu hal buruk?" "Ya!" jeritnya. "Ya Tuhan, Bella. Itu hal terburuk yang mungkin terjadi. Jika dia ingin seorang wanita, seharusnya dia rujuk dengan ibuku saja." Tepat ketika kata-kata itu keluar dari mulutnya, pintu kaca geser terbuka, dan pria terseksi yang pernah kulihat melangkah melewati ambang pintu, dengan tubuh yang basah kuyup dan handuk menutupi kepalanya. Sang Dewa Erotis telah tiba. Ya Tuhan, aku ingin sekali mencium perutnya. Pikiran kotor yang melintas di benakku membuatku menggigit bibir sembari mengamati tubuhnya dari atas ke bawah. Tak peduli berapa tahun yang telah berlalu, aku masih ingin menaikinya seperti kuda dan menungganginya sampai tahun baru. Bahkan, mungkin aku akan menjilati tubuhnya yang keras ... sial, aku akan melakukan apa pun untuknya. "Ayah dari mana?" Tania membentak dengan penuh ketidaksetujuan, membuyarkan fantasiku. "Aku sudah berharap akan bertemu Ayah, tapi Ayah tidak muncul. Aku tidak mengerti." Kebingungan melintas di mata Pak Janu sambil menatap Tania dengan kaget. "Sayang, kukira penerbanganmu baru akan tiba sejam lagi." "Hah, tidak," dia membalas. "Aku sudah mengirimimu info penerbanganku, dan aku juga mengirimimu pesan." "Benarkah?" jawab Pak Janu, sambil mengambil ponselnya dari bar dan dengan cepat memeriksanya. Sembari berdiri dengan tidak sabar, Tania menatapnya. "Ya, aku sudah melakukannya." "Maafkan aku, sayang," dia mengangkat bahu. "Kurasa aku kelupaan. Aku akan menebus kesalahanku nanti." Pria pintar. Pria pintar. Jika berhadapan dengan Tania, kami berdua tahu bagaimana harus bertindak. Karena jika permintaan Tania tidak dituruti, sikap acuh dan tantrumnya akan meledak sedahsyat Perang Dunia III. "Tidak apa-apa," dia menghela napas. "Aku dan Bella sudah lapar dan lelah. Bolehkah kami memesan makanan?" Saat mata Pak Janu perlahan menatapku, dia mengerutkan alisnya dengan bingung, "Bella?" Tentu saja, dia tidak mengenaliku. "Hei," aku tersenyum, berusaha untuk tidak melihat ke bawah. Celana renang pendek yang dikenakannya tidak cukup untuk membunyikan monster yang ada di antara kedua kakinya, dan karena aku tidak mengalami situasi seksual apa pun selama beberapa minggu terakhir, aku merasa terangsang. Yang benar saja, Bella. Berhentilah berpikiran kotor mengenai ayah temanmu. Apa-apaan ini! "Kamu sudah besar sekali, Bella," jawab Pak Janu, tatapannya yang gelap dan memikat memindai tubuhku dari atas ke bawah. Sial. Apa dia sedang melihat tubuhku?! "Ya." Responku yang sesak napas menyebabkanku berdeham sembari dengan cepat mengalihkan pandanganku, mencoba melihat ke arah lain. Aku mencoba bersikap sopan, tapi jika percakapan ini terus berlangsung, pikiran kotorku akan ketahuan jika aku melihat k*********a yang besar lagi. "Jadi ... " gumamnya, sambil memandang kami berdua. "Apa yang akan kalian lakukan untuk musim panas?" Bahkan sebelum aku sempat menjawab, Tania mulai mengoceh tentang pesta-pesta dan pesiar yang ingin dilakukannya. Meskipun aku adalah tamunya, Pak Janu sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa aku dan Tania tidak selalu beraktivitas bersama-sama. "Bagaimana denganmu, Bella?" dia bertanya, menyadarkanku kembali. "Ada yang ingin kamu lakukan?" Ya, bercinta denganmu. "Hmm. Aku belum yakin. Ada beberapa hal buruk yang terjadi beberapa minggu yang lalu, jadi aku hanya ingin bersantai dan menikmati musim panas. Kemudian, aku akan kembali ke sekolah untuk tahun terakhirku. " Aku tersenyum, menganggukkan kepalaku dan menyadari kilatan geli yang melintas di matanya. "Oh, bagus sekali," katanya, sambil menyilangkan kedua lengannya di depan d**a. "Gelarmu apa, ya?" "Statistik dan Ilmu Data," jawabku sambil menatap tanganku yang bergetar. "Dia kutu buku matematika, Ayah. Kalau diberi apa pun yang berkaitan dengan angka, dia akan dengan cepat menjawab. Pembukuan dan perhitungan dan hal-hal semacamnya. Mirip dengan ayah." Tanggapan Tania membuatku tertawa sebelum aku berdeham, menyadari bahwa aku menganggap lucu saat Tania memanggil ayahnya kutu buku matematika. "Semacam itulah," jawab Pak Janu sambil tersenyum saat kami saling bertatapan lagi. Aku tidak mengerti apa yang ada di pikirannya saat itu, tapi aku ingin mengetahuinya. Sambil mengeluarkan ponselnya, aku melihat Tania membalas pesan yang dia terima sambil mengunyah permen karet berwarna merah muda cerah. "Sial. Bella, kita harus mulai beres-beres. Jesse ingin bertemu dan makan bersama dengan kita." "Oh, oke," kataku, tidak terlalu bersemangat untuk melakukannya. "Kupikir kita akan makan di sini." "Aku bisa pesan makanan," Pak Janu berkata dengan gembira sambil melirik aku dan Tania. "Tidak, tidak," Tania mendengus. "Kami hanya akan pergi keluar." Aku merasa bersalah tentang situasi yang terjadi saat ini. Pak Janu tidak tahu kami akan tiba secepat ini, dan Tania bertingkah kekanak-kanakan. Bahkan walaupun aku sayang sekali pada Tania, tindakannya sangat tidak sopan. "Baiklah kalau begitu," Pak Janu tersenyum. "Aku senang sekali kamu pulang, sayang. Kuharap kita bisa menghabiskan waktu bersama selagi kamu di sini." Perbuatannya menghangatkan hatiku dan membuatku merindukan ayahku sendiri. Namun mengetahui tingkah Tania, dia tidak menghargai sentimen manis tersebut sebagaimana diriku menghargainya. "Aku akan mencoba sebisanya," jawabnya sambil berjalan menuju tangga. "Bolehkah aku meminta tolong agar Risa membawa barang-barang kami ke atas? Aku harus beres-beres dan mandi." Saat Tania menghilang dari pandanganku, aku menggelengkan kepala, dan melompat turun dari kursi bar. "Terima kasih telah mengizinkanku tinggal selama musim panas, Pak Janu. Aku menghargainya." Tatapannya beralih dari arah kepergian putrinya, dan saat dia memandangku, aku merasa kecil di bawah tatapannya. "Tidak perlu berterima kasih padaku, Bella. Selain itu, bisakah kamu memanggilku Janu saja?" Menggunakan nama depan? Oh, sial ... Bella, berhenti, jangan berpikir terlalu jauh. "Kalau itu memang kemauanmu ... Janu," jawabku pelan, sambil mengedipkan bulu mataku dengan genit. "Sebaiknya aku bergegas. Kuharap aku akan bertemu denganmu lagi nanti. " Sambil mengangkat alis, dia mengangguk sembari terus tersenyum, "Oh, tentu saja kita akan bertemu lagi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN