Bab 2: Percakapan Larut Malam

1839 Kata
Pergi keluar dengan Tania jauh lebih memusingkan dari yang kusangka. Yang awalnya dimulai dengan makan malam berubah menjadi begadang semalam suntuk di klub lokal. Bau rokok yang apek mengotori pakaianku sejak tadi malam, begitu pula dengan beberapa tetes muntahan yang mengenaiku saat aku memegang rambut Tania. Seharusnya aku tidak terlalu terkejut dengan bagaimana malam itu berubah. Namun, sekali lagi, aku terpaksa mengasuh Tania sementara dia bersenang-senang. Aku bukan gadis pesta seperti Tania, dan meskipun dia mengetahuinya, dia masih mencoba memaksaku pergi dengannya. Terkadang aku bertanya-tanya apakah itu hanya cara baginya untuk memastikan bahwa dia memiliki pengemudi untuk mengantarnya pulang, atau apakah dia benar-benar senang meluangkan waktu denganku. Saat kami sampai kembali ke rumahnya, lampu sudah dipadamkan, dan hari sudah gelap. Tania sangat mabuk sehingga tidak sanggup menaiki tangga, yang berarti sudah menjadi tugasku untuk menggendongnya. Beruntungnya aku! Setelah aku melepaskan pakaian Tania dan membawanya ke ranjang, dan mandi air panas telah membasuh seluruh kotoran dari tubuhku, aku berbaring di ranjang, mencoba sekeras mungkin untuk tidur. Terlalu banyak hal yang terjadi selama beberapa minggu terakhir. Pikiranku masih belum pulih dari perpisahanku dengan Cakra, tapi aku juga tidak bisa berhenti memikirkan Janu. Janu berbeda. Dia tidak hanya seksi, dengan bibir yang begitu tebal sehingga aku ingin menciumnya selama berhari-hari, tapi dia juga kuno. Dia tampak seperti tipe pria yang tahu cara mentraktir seorang gadis untuk makan malam. Dia akan memperlakukan gadis itu dengan spesial, dan tidak pernah menyelingkuhinya dengan seorang gadis misterius seperti yang dilakukan Cakra padaku. Aku tidak terlalu mengenal Janu, tapi pikiranku terus bertanya-tanya. Aku bertanya-tanya mengenai bagaimana dia akan memperlakukanku dan mengenai berbagai hal-hal penuh dosa yang dapat dilakukannya kepadaku. Aku tidak mengerti emosi-emosi yang ditimbulkannya kepadaku. Aku bukan tipe gadis nakal, namun segala sesuatu tentangnya membuatku ingin tunduk. Aku bodoh sekali untuk berpikir bahwa pria seperti Janu Raharja akan tertarik padaku. Amira, ibu Tania, adalah wanita yang cantik dan berkelas. Dia berselera tinggi dan elegan ... Aku tidak akan pernah bisa menjadi sepertinya. Tania punya banyak teman pria di kota ini, dan meskipun aku tidak menginginkan hubungan lain, aku bertanya-tanya apakah salah satu dari mereka bisa memenuhi kebutuhanku. Setelah mengambil ponsel, aku memeriksa media sosial dan melihat foto-fotoku bersama Cakra yang ada di akunku. Aku belum memiliki keberanian untuk menghapus foto-foto tersebut, dan jika dipikir-pikir lagi, aku semakin merasa menyedihkan. Dengan menekan beberapa tombol dan mengumpulkan keberanian, aku menghapus riwayat hubunganku dengan Cakra. Aku menyambut perasaan hampa di dadaku setelah melakukannya, tapi di saat yang sama, aku juga merasa sakit. "Ya Tuhan, kenapa aku tidak bisa tidur," erangku saat melihat jam, menyadari bahwa aku telah menghabiskan dua jam untuk berbaring dan bukannya tidur. Turun dari ranjang, aku berjalan keluar dari kamarku dan menuju tangga. Gagasan mengenai teh panas dan camilan untuk menenangkan pikiranku tampak menyenangkan semakin jauh aku melangkah. Di tengah kegelapan, aku berjalan ke dapur. Cahaya redup di atas kompor sudah cukup bagiku untuk beraktivitas tanpa mengganggu siapa pun di rumah. Walaupun kemungkinan besar tidak akan ada orang yang bangun. Saat itu pukul 3:00 pagi, dan orang pada umumnya tidur pada jam selarut ini. Saat aku bergerak mengelilingi dapur dan menaruh ketel, aku menyenandungkan sebuah lagu yang menempel di benakku sejak tadi malam. "Apa kamu sedang bersenang-senang?" sebuah suara memanggil dari belakangku, menyebabkan jeritan kecil keluar dari tenggorokanku sembari berputar, berhadapan langsung dengan Janu. Matanya yang gelap dan suram menatapku dengan geli. Betapapun aku ingin berbicara pada saat itu, pikiranku buyar saat menyadari bahwa Janu, ayah sahabatku, sedang berdiri di depanku hanya dengan mengenakan handuk. Ya Tuhan! "Oh, hei. Maaf, aku hanya sedang membuat teh." "Aku tahu," dia bersenandung dengan geli. "Kamu juga tidak bisa tidur?" Sambil menggelengkan kepala, aku mengangkat bahu. "Tidak akhir-akhir ini. Ditambah lagi, setelah semua kehebohan yang terjadi malam ini, aku harus istirahat." Ada keheningan yang canggung di antara kami saat Janu berdiri di dekat meja, hanya menatapku. Sambil berdeham, aku berbalik ke arah ketel yang sekarang mendesis dan menuangkan air panas untuk menyeduh kantong teh. Gerakan dari sudut mataku membuatku terpaku saat menyadari bahwa Janu telah mengambil dua langkah lebih dekat ke arahku. "Kamu benar-benar telah berubah beberapa tahun belakangan ini ... bukan, Bella?" dia berbisik pelan, membuatku berbalik dan menyadari bahwa hanya ada sedikit jarak di antara kami. Jantungku berdegup kencang mengantisipasi apa yang sedang terjadi. Apakah ini hal yang kuinginkan? Tapi aku tidak mungkin melakukan ini kepada Tania, 'kan? "Ya," jawabku dengan tidak nyaman, "Kurasa aku sudah banyak berubah. Aku bukan lagi gadis norak seperti saat terakhir kali datang ke sini. Lagi pula, kamu juga telah berubah. " Dia telah berubah. Dia semakin tua, tentu saja, tapi dia tidak tampak sesedih dulu. Alih-alih, dia tampak puas dengan hidupnya. Seolah akhirnya dia menemukan jalan hidupnya setelah meninggalkan mantan istrinya, Amira. "Menarik." Matanya menatapku sekali lagi sembari dengan santai bersandar di meja. "Jadi, apakah pacarmu memutuskan untuk bergabung denganmu juga di musim panas ini?" Mataku terus menatap tubuhnya yang berotot dan kencang. Setiap otot terlihat dengan jelas, dan hanya secarik handuk yang memisahkanku dari hadiah yang sangat ingin kumiliki. Aku mencoba untuk mengalihkan pandangan, tapi aku tidak dapat menghindarinya ketika dia berdiri dengan sukarela di depanku. "Eh, tidak." Aku mengangkat bahu, berusaha tetap tenang. "Aku tidak punya pacar. Kami putus beberapa minggu yang lalu." Tampaknya dia mulai tertarik saat aku menjawabnya. Seolah itu adalah jawaban yang diharapkannya. "Benarkah? Apakah keputusan itu terjadi secara dua arah?" Sambil memandang ke bawah, aku menggelengkan kepalaku. "Tidak, tidak juga." Tak peduli seberapa polos pertanyaannya, luka dari pengkhianatan Cakra masih segar. Jadi bagi Janu untuk mengungkitnya, seakan menuangkan garam pada luka yang terbuka. "Maaf jika aku membuatmu kesal, Bella. Itu bukan niatku." "Tidak, tidak. Itu bukan salahmu," jawabku saat bertatapan dengannya lagi. "Hanya saja, hal-hal buruk kadang terjadi, dan itu bukan momen paling menyenangkan dalam hidupku. Namun, suatu saat aku akan melewatinya. " Ada kobaran yang dengan jelas melintasi tatapannya sejenak saat mendengar kata-kataku. Aku tidak yakin apa makna dari hal itu, tapi tatapannya terlihat seolah dia marah, tapi juga senang pada saat yang sama. "Dia bodoh sekali karena membiarkan wanita cantik sepertimu pergi." Astaga, dia baru saja memanggilku cantik. Pujian itu menyebabkan pipiku memerah karena malu sembari menggigit bibirku dan dengan cepat berbalik untuk menatap tehku. Aku tidak tahu mengapa komentarnya begitu mengejutkanku. Pria dari generasinya memang biasanya seperti itu, atau setidaknya, itulah asumsi yang kumiliki saat melihat banyak pria seusianya yang kukenal. Profesorku dan bahkan teman-teman ayahku berasal dari satu generasi. Jadi mengapa kata-katanya membuatku bereaksi seperti ini? Mencoba memahami makna dari perkataannya, aku berdeham dan menegakkan bahuku. "Terima kasih atas pujianmu. Tapi aku tidak secantik wanita lain. Lagi pula, aku sangat mementingkan karirku. Jadi aku tidak memberikannya perhatian yang diinginkannya." Alasan. Itu semua adalah alasan, tapi di saat yang sama, alasan inilah yang memungkinkanku untuk melewati rasa sakit yang kurasakan atas pengkhianatan Cakra. Alasan yang kubuat adalah alasan yang kuberikan atas tindakannya terhadapku. Tak peduli seberapa buruknya tindakan-tindakan tersebut. "Dia tidak pantas untukmu. Menurutku wanita dengan ciri-ciri seperti itu sangat seksi," jawab Janu sambil mendekat ke arahku, membuat napasku tercekat di tenggorokan. Aku sangat menyadari jarak di antara kami di dapur. Fakta bahwa dia hanya mengenakan handuk membuatku kewalahan, dan kuharap dia tidak tahu seberapa besar dia merangsangku. Perlahan berbalik dengan bibir terbuka, aku menghadap ke arahnya. Tanpa kusadari, dia telah mengambil dua langkah lebih dekat ke arahku, dan jarak yang mengecil di antara kami menyebabkan jantungku berpacu. Aku tidak bermaksud untuk bersikap nakal, tetapi baunya yang menyelubungiku membuat tubuhku ingin melakukan berbagai macam hal-hal nakal. "Mungkin, suatu hari nanti, seseorang akan menunjukkan kepadaku apa yang pantas kudapatkan." Kata-kataku terdengar lebih menggoda daripada yang kumaksud, dan dia pasti menyadarinya, karena caranya menanggapi adalah menyenggolku dengan lembut sembari meraih cangkir di atas kepalaku. Kontak antara kulitnya dengan kulitku membuat putingku seketika mengeras dan perutku mengencang dengan gairah. Aku sangat menginginkannya, tetapi di saat yang sama, tidak mungkin pria seperti Janu Raharja menginginkanku. Belum lagi, dasar jalang b*******h, itu adalah ayah dari sahabatmu sendiri. Saat dia mundur, dan meletakkan cangkirnya di atas meja, aku mencoba menjernihkan pikiranku. Ada batas yang tidak boleh kulewati, dan dengan momen-momen menggoda di antara kami, aku hampir saja melewati batas itu. "Apa kamu baik-baik saja?" bisiknya, membuatku perlahan menatapnya dan melihat rasa senang terpancar dari sorot matanya. "Tentu saja, memangnya kenapa?" Aku bergeser dengan tidak nyaman. "Bagaimana denganmu?" Saat pandangannya melayang ke arah dadaku, aku merasakan gejolak di dalam diriku sekali lagi. "Oh, aku merasa sangat baik, Bella." Dia menyeringai dan kami bertatapan lagi. Butuh beberapa saat bagiku untuk memproses apa yang dia maksud, dan ketika aku menatap ke bawah, aku melihat putingku yang tegak menonjol dari tank top putih yang kukenakan. "Oh, maafkan aku," aku tergagap, melipat lengan di depan d**a. "Saat ini agak dingin." "Menurutku tidak dingin." Dia terkekeh sambil meraih gelasnya dan berjalan ke lemari es untuk menuangkan minuman. Dia memang benar, tapi respon arogan itu membuat mulutku menganga karena kaget. "Memang agak dingin, dan yah, ya ... " Saat pintu lemari es tertutup, dia berbalik menghadapku, dan mendekatkan cangkir ke bibirnya. Gerakan jakunnya saat dia meminum cairan itu menarik perhatianku. Aku belum pernah melihat sesuatu yang begitu sederhana terlihat begitu seksi sebelumnya. "Aku tahu apa yang kamu inginkan, Bella," katanya, menarik perhatianku sekali lagi. "Aku tidak menginginkan apa pun," jawabku, mencoba mengabaikan momen itu. "Cukup." Sambil meletakkan cangkirnya, dia dengan cepat menutup jarak di antara kami sekali lagi. Tubuhnya menyudutkanku ke meja dapur, kedua lengannya berada di samping tubuhku sembari kedua matanya dengan menggairahkan menatap jiwaku. "Pak Janu ... " "Sudah kubilang panggil aku Janu, Bella." Balasannya yang tegas membalikkan keadaan dan langsung membuatku ingin menurut. "Aku sadar bahwa aku membuatmu terangsang, tetapi aku bisa berjanji padamu bahwa aku bukan yang kamu inginkan. Hal-hal yang akan kulakukan ... yah, itu akan terlalu kejam untukmu." Astaga. "K-kamu tidak tahu apa yang bisa kutangani. Kamu tidak mengenalku sejauh itu. " Tanggapanku yang gagap menunjukkan dengan jelas betapa tidak nyamannya aku dengan situasi ini, namun aku menginginkannya. Aku ingin dia menunjukkan kepadaku seberapa kejamnya dia. "Jadilah gadis yang baik, Bella. Kamu harus naik ke atas dan tidur," bisiknya sambil menarik napas dalam-dalam dan bergerak mundur dari tempat kami berdiri. Jarak di antara kami memberiku kesempatan untuk bernapas sekali lagi. Tanpa ragu sedikit pun, kakiku bergerak menuju tangga, hanya untuk dihentikan oleh sebuah cengkeraman kuat di lenganku. "Ingat apa yang kukatakan," dia menggeram dengan nada seksi yang membuat lututku lemas. Berbalik menghadapnya, aku meletakkan tanganku di dadanya, mencoba mendorongnya menjauh. Tetapi aku mendadak sadar bahwa aku sedang menyentuhnya, dan sensasi tubuhnya di bawah jari jemariku membuat situasinya menjadi lebih buruk. Gelombang tegas kulitnya di bawah jari-jariku terasa memabukkan, dan bahkan dengan sedikit bulu d**a yang terlihat, aku langsung ingin menyentuhnya selagi bibirnya yang tebal melahap bibirku. Terbangun dari lamunanku, aku dengan cepat menarik diriku dari genggamannya. Bibirnya mengarah ke atas saat dia menatapku, membuatku menekan kedua pahaku dan mencoba mengendalikan gairahku. "Selamat malam, Pak Janu," aku tergagap, memaksa pandanganku untuk beralih darinya sebelum berbalik dan melarikan diri dari dapur, dengan cepat berlari menaiki tangga. Janu Raharja adalah pria yang misterius, dan tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya dia maksud dengan perkataannya. Mungkin dia berbahaya, tapi mungkin aku akan menyukainya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN