Kamu Apa Kabar?

2959 Kata
Natla: Kamu Apa Kabar? Arloji di pergelangan tangan menunjukkan pukul delapan malam lewat. Gue menarik napas, balas melambaikan tangan kepada Fatia yang ada di dalam mobilnya Raja. "Dah, Bu Natla!" Fatia nggak berhenti melambaikan tangannya ke gue. Dari dalam sana, gue bisa melihat Raja menganggukkan kepalanya canggung seolah pamitan ke gue sebelum kaca mobilnya terangkat dan kembali menutup. Selepas kepergian mobil hitam milik Raja, gue menurunkan tas ransel dari bahu dan menjinjingnya masuk ke dalam rumah. Kedua bahu gue turun dengan lesu. Gila ya. Berjam-jam lamanya gue menghabiskan waktu bareng orang yang gue benci semenjak lima tahun lalu! Sehabis mengajak gue pergi—agar Fatia sedikit melupakan soal ibunya yang tengah dirawat di rumah sakit, Raja mengantar gue pulang ke rumah Oma. Kenapa ke rumah Oma? Ya karena Mami sama Papi masih di Semarang. Baru balik lusa, dan baru kali ini gue nggak senang semisal lusa besok Mami sama Papi pulang. Mami bilang di telepon, sehari setelah mereka pulang ke Jakarta, Papi dan papanya Raja sepakat untuk membuat pertemuan dua keluarga. Untuk apa? Untuk membicarakan acara lamaran sialan itu! "Pulang sama siapa lo?" Sialan. Gue kaget bukan main. Rindu ternyata ada di teras depan sembari berkacak pinggang. Gue menolehkan kepala ke belakang, berharap mobil Raja benar-benar pergi dan Rindu nggak tahu siapa orang yang mengantar gue pulang. "Pak Raja, ya?" Di akhir kalimatnya, Rindu menyengir sampai kedua matanya menyipit. "Sembarangan lo!" balas gue sengit. Gue duduk di lantai dan melepaskan sepatu. Rindu masih di sekitaran gue, memerhatikan gue penuh selidik seolah mencium sesuatu yang mencurigakan. Aduh, gue lupa kalau Rindu orang paling peka, paling tahu, dan cuma dia satu-satunya orang yang memegang rahasia terbesar gue. Termasuk penolakan Raja lima tahun lalu. "Kalau bukan Pak Raja, siapa dong? Fano? Bukan pasti! Sejak kapan motor vespanya berubah jadi mobil?" "Apaan deh, Rin?" Gue menengadahkan kepala, lalu menyimpan sepatu di rak. Rindu menutup pintu dan menguncinya. Mantan patner pembuat onar semasa sekolah dulu, masih mengekor di belakang, kemudian berpindah ke samping gue dan nggak berhenti melirik. "Gimana perasaan lo sekarang?" tanya Rindu ketika kami sampai di depan kamarnya. Selama tinggal di rumah Oma, gue satu kamar sama Rindu. Sebenarnya gue berani tinggal di rumah Mami sama Papi sendirian. Tapi Oma selalu was-was setiap kali gue sama Davian ditinggal orang tua. Kata Oma, ngeri aja. Takut ada apa-apa. Gue pun anak perempuan, cantik lagi. Haha. Nggak usah protes! Kadang suka kesal sama Oma. Gue ini jago bela diri, tapi masih aja sering dikhawatirin setiap tinggal di rumah sendirian. Davian juga berguna kok, biarpun kelakuannya kayak setan! "La, jawab dong!" kejar Rindu. Gue melempar tas ke ranjang, kemudian pergi membersihkan wajah sebelum mandi. Rindu duduk di tepi ranjang, masih memerhatikan gue. "Lo masih suka sama Pak Raja?" Gue mendengus sekeras-kerasnya. "Haram buat gue!" Rindu berdecak dari tempat duduknya. "Emang Pak Raja babi!" Kedua bahu gue terangkat tinggi. Sebisa mungkin menghindari pertanyaan yang menurut gue sangat-sangat sensitif. Sumpah, Rindu mengira gue masih suka sama Raja? Ya nggaklah! Gue udah dihina sekejam itu, dan gue masih suka? Gue bukan bucin ya! Dulu gue emang suka, tapi begitu gue ditolak, apa lagi pake dihina, gue memutuskan untuk mundur dan belajar melupakan laki-laki itu apa pun caranya. "Gue masih inget lo diputusin gara-gara salah sebut nama pacar lo." Rindu mengoceh sendiri. "Nama pacar lo dulu Rangga, tapi malah lo sebut Raja!" Gerakkan tangan gue berhenti mengusap pipi dengan kapas yang telah dibasahi cairan penghapus make up. Gue berbalik, menatap Rindu dengan sengit luar biasa. Dia minta dimaki banget emang! Mentang-mentang Rindu tahu rahasia dan kebusukan gue selama ini, dia mau membahasnya lagi setelah gue dan Raja dipertemukan kembali. Iya, gue akuin. Gue pernah salah menyebut nama pacar sendiri. Nggak cuma satu atau dua kali. Dan salah menyebut nama juga, pada akhirnya gue diputusin karena dikira selingkuh sama cowok yang namanya Raja. Apa gue sedih? Ya nggak juga. Tapi gue jadi bahas ketawaan Rindu sampai berhari-hari. Bukannya ikut prihatin, dia malah kayaknya senang banget. "Bohong kalau lo bilang udah nggak suka," ocehnya lagi. "Lo mau gue tabok pake tangan apa kaki?" ancam gue. Rindu meringis, tapi kelihatan nggak takut sama sekali. "Lo marah, berarti tandanya bener. Lo masih suka sama Pak Raja!" Gue berdiri, meletakkan sebelah tangan ke pinggang. "Kalau lo udah tahu jawabannya, kenapa pake tanya?" Rindu mengangkat tangannya ke udara, kemudian menurunkannya dengan girang, seolah senang karena dia menang. "Tapi yang lebih penting," Gue menarik handuk, bersiap-siap mandi. "Pikirin tuh kejelasan hubungan lo sama Davian! Apaan? Udah sayang-sayangan, masa belum jelas sampai sekarang!" "Sialan!" Maki Rindu, suaranya terdengar nyaring. Gantian gue yang ketawa menang. Melihat Rindu yang berubah cemberut, gue nggak berhenti tertawa dari dalam kamar mandi. "Rindu." Panjang umur si Davian. Samar-samar gue mendengar suara Davian dari dalam kamar mandi sedang memanggil Rindu. Gue mendekatkan telinga ke pintu, mau nguping ceritanya. "Buruan turun. Gue udah beliin martabak manis buat lo." "Ya, bentar!" balas Rindu terdengar kesal. Kenapa nih? Jangan-jangan Rindu jadi kesal karena gue bahas-bahas hubungan nggak jelasnya sama Davian. Ya gimana nggak gue ledekin. Mereka tuh sama-sama suka, sampai pernah bikin drama salah orang. Maunya nembak Rindu, tapi Davian-nya buta. Nggak tahu aja yang lagi dia tembak itu Alenta. Pokoknya hubungan mereka ribet dan drama bangetlah! *** Tiba di hari Mami sama Papi pulang, gue malah malas pulang ke rumah. Bukannya apa-apa, kalau gue pulang dan ketemu Mami dan Papi, mereka pasti membahas soal pertemuan besok dengan keluarganya Raja. Gue harus apa? Ya nggak munafiklah, gue masih suka, iya. Tapi gue nggak akan dengan mudah menganggukkan kepala kayak Raja malam itu! Nggak akan bosan-bosannya gue bilang ke kalian. Gue sakit hati banget sama kata-katanya Raja lima tahun lalu. Karena kata-katanya itu meninggalkan efek yang cukup berpengaruh ke kehidupan gue setelahnya. Gue yang tadinya percaya diri meskipun bodoh. Karena gue pikir, tiap orang pintarnya kan beda-beda. Bisa aja gue bodoh sama satu hal, tapi gue berbakat dalam satu bidang. Tapi sejak hari itu, rasa percaya diri gue turun. Gue jadi mudah tersinggung setiap kali ada orang lain yang dihina-hina b**o, padahal nggak ditujukan ke gue. Dering ponsel di saku celana membuyarkan lamunan gue. Saking kagetnya sama getar ponsel sendiri, gue hampir terjungkal dari kursi. Gue berdecak sebal, merogoh saku celana dengan malas-malasan. Deretan angka terpampang di layar ponsel. Nomor asing. Dan gue paling malas mengangkat panggilan dari nomor yang nggak tercantum di daftar kontak. Seringnya cuma orang-orang iseng. Kadang dari orang yang suka nawarin pinjaman online. Lebih parahnya, gue pernah ditagih hutang online atas nama orang lain. Kan, sialan! Gue memutuskan untuk menolak panggilan tersebut. Jujur aja gue lagi banyak pikiran. Ruwet banget istilahnya. Setelah ponsel gue berhenti berdering, gue mengantonginya kembali ke kantong. Akan tetapi, ponsel gue berbunyi lagi, cuma kali ini bukan dering panggilan. Melainkan bunyi notifikasi pesan. "Ini saya Raja. Saya boleh minta tolong sama kamu? Tolong temani Fatia sampai saya datang menjemputnya." Sebelas alis gue terangkat tinggi. Raja? Dapat nomor gue dari mana? Seingat gue, dia nggak pernah minta nomor gue secara langsung deh. Kalau pun minta, nggak bakalan gue kasih. Satu pesan baru masuk lagi. "Ibunya Fatia kritis lagi." Jantung gue mau berhenti berdetak aja rasanya. Kasian Fatia. Anak sekecil itu harus sering-sering mendengar ibunya mengalami kritis. Entah sakit apa, tapi gue mau berdoa buat ibunya Fatia. Semoga perempuan itu bisa melewati masa kritisnya dan kembali sehat agar bisa berkumpul sama Fatia. "Oke." Balasan singkat tersebut gue kirim ke nomornya Raja. Cukup singkat, tapi jelas, dong. Sehabis mendapat pesan dari Raja, gue pergi mencari Fatia. Mungkin sepuluh menit lagi kelasnya Fatia udah bubaran. Gue mau memastikan kalau bocah perempuan itu ada di kelasnya sehingga gue jadi lebih tenang. Fatia tahu nggak ya kalau ibunya sakit keras? Sehabis malam itu, di mana gue diminta Raja untuk menemani laki-laki itu dan Fatia pergi, gue nggak tanya soal ibunya. Gue takut bikin Fatia sedih dan kepikiran. Dia masih terlalu kecil. Fatia udah kehilangan ayahnya beberapa tahun lalu. Dan sekarang, ibunya sakit keras dan dalam kondisi kritis. "Fatia," seru gue mengagetkan bocah itu. Wajah Fatia kelihatan lebih ceria hari ini. Gue membungkuk, membenarkan letak tas di bahunya. "Om Raja barusan telepon Bu Natla. Kata Om Raja, jemputnya agak telat." Kedua mata Fatia mengerjap-ngerjap. "Sambil nunggu Om Raja jemput, Fatia mau ikut Bu Natla nggak? Kita makan es krim. Mau? Fatia suka makan es krim kan?" *** Acara makan es krim yang gue janjikan ke Fatia batal teman-teman. Dikarenakan Mami gue telepon sebelum gue membawa Fatia ke kedai es krim terdekat di sekolah. Di dalam telepon, Mami meminta gue langsung pulang ke rumah sendiri. Bukan rumah Oma lagi karena Mami sama Papi udah sampai di Jakarta sore ini. Aduh, perasaan gue nggak enak, nih. Pasti mereka mau membahas Raja dan keluarganya, juga pertemuan besok. Dan ada masalah lain. Fatia. Gimana gue menjelaskan ke mereka kenapa gue bisa sama Fatia. Apa lagi kalau sampai mereka tahu ini permintaan Raja. Halah! Makin ngebet pasti si Mami! Mami dulunya menikah sama Papi waktu masih muda banget. Entah pas udah lulus atau masih sekolah gitu. Dan jarak usia di antara Mami sama Papi lumayan jauh. Saat itu Papi udah kerja, usianya matang, tapi belum tua ya. Kalau kata Mami, Papi zaman muda ganteng banget. Saking gantengnya, sampai jadi bahan rebutan sama Tante Elise. Keinginan Mami cuma satu, pengin lihat gue menikah di usia muda. Maunya juga, gue mendapat pendamping yang lebih dewasa, yang bisa menuntun gue ke jalan yang benar, katanya. Mi, jalan aku nggak pernah belok. Lurus-lurus aja, sumpah, Mi! Gue harus pulang sebelum Mami meneror gue dengan banyak telepon dan pesan. Pada akhirnya gue mengalah dan pulang—membawa Fatia ke rumah. Kalau semisal Mami tanya soal Fatia, gue bilang aja dia murid di sekolah. Kan, emang bener dong. Fatia murid gue, kan? Sedari tadi Fatia berdiri di samping gue tanpa mengeluarkan suara apa-apa. Seperti yang gue bilang, Fatia anaknya pendiam dan penurut. Kadang-kadang gue suka kepikiran ini anak gampang diculik orang. Gue bawa pulang ke rumah aja, Fatia nggak nanya apa-apa selain menatap gue dan orang-orang di rumah. "Anak siapa, La?" Mami menunduk, mengelus rambut panjang Fatia. "Murid aku di sekolah." Gue menggandeng Fatia masuk ke rumah. "Kapan Mami sama Papi pulang? Kenapa nggak minta jemput aku atau Davian aja?" "Halah! Dari bandara ke rumah nggak jauh-jauh amat. Ngapain minta jemput," sahut Mami. Fatia gue bawa duduk di sofa dan meminta bocah itu untuk menunggu. Gue mengekor di belakang Mami yang sekarang pergi ke dapur. Gue mengecek isi kulkas. Ternyata kulkas di rumah nggak ada isinya karena udah dua minggu lebih ditinggal gue dan Davian mengungsi di rumah Oma. "Cari apa, La?" tanya Mami sambil menuang air ke gelas. "Es krim." Gue menegakkan badan dan menutup kulkas. "Ck! Udah jelas-jelas kosong gitu. Beli aja gih!" "Males keluar lagi, Mi." Gue berdecak, menghampiri Mami lalu menyambar segelas air dingin lalu meneguknya. "Oh ya, La," ujar Mami. "Tumben kamu bawa-bawa murid ke rumah? Kamu nggak ada niatan ngajar anak-anak les, kan?" Kedua pipi gue mengembung. "Mami nggak usah ngejek gitu." Mami meringis. Mengelus lengan gue kemudian berpindah ke puncak kepala gue. "Mami tanya, La. Bukan bermaksud ngejek." Gelas yang gue sambar udah kosong. Gue meletakkannya kembali ke meja pantry. "Ibunya lagi dirawat di rumah sakit, Mi. Nggak ada yang jaga Fatia. Makanya Natla bawa ke rumah aja, biar rumah kita makin rame!" Mami mengerucutkan bibir. Disentilnya ujung hidung gue. "Rumah ini udah kelewat rame cuma karena kamu sama Davian sahut-sahutan dari kamar!" Gantian gue yang meringis. Mami benar. Cuma karena saling sahut-sahutan bacot doang dari kamar, rumah ini udah rame banget. Kadang Papi sampai menegur gue sama Davian karena terlalu ribut, padahal cuma berdua doang. "Siapa namanya tadi, La?" tanya Mami. "Murid aku?" Mami mengangguk. "Fatia, Mi." "Fatia ya," gumam Mami. "Pasti Fatia belum makan, ya?" Kepala gue terangguk. "Kamu telepon Davian, suruh pulang! Sekalian belanja dulu gitu." "Siap, Mi!" Gue memberi hormat ke Mami. "Beli es krim sekalian gitu ya." *** Raja sialan! Tadinya gue bilang ke Mami yang sebenarnya kenapa Fatia bisa gue bawa pulang. Tapi tentu aja nggak menyebut nama Raja. Nggak bilang juga kalau ini permintaannya Raja. Tahu nggak, kenapa gue tiba-tiba kesal lagi sama Raja? Mau ngumpat aja rasanya. Masa nih, Raja tahu-tahu ada di rumah orang tua gue. Wajahnya kelihatan lelah banget. Lengan bajunya digulung sampai ke siku, rambut depannya agak berantakan. "Jadi, Fatia ini anak temennya Raja?" tanya Mami ke Raja, dan dianggukki sama laki-laki itu. Gue udah wanti-wanti ke Raja dengan memberi isyarat menggelengkan kepala. Kenapa harus bilang kalau Fatia itu teman anaknya sih! Sadar nggak, sih, kedatangan dia ke rumah malah bikin posisi gue makin sulit. Mami pasti mikir kalau gue sama Raja emang ada hubungan khusus. Semula gue ada di kamar sama Fatia. Setelah mengajak bocah itu makan dan mandi, gue menemani Fatia menonton acara kartun di TV sampai dia ketiduran. Gue juga mau tidur tadinya. Tapi pintu kamar gue dibuka sama Davian, dan bilang, "Buruan turun. Ada orang ngapel di bawah." Siapa yang ngapel? Gue yang emang dasarnya udah ngantuk parah, jelas nggak ngeh sama maksudnya Davian. Tapi, begitu gue turun ke bawah, gue melihat sosok Raja sedang duduk di sofa dan ditemani sama Mama dan Papa. Gini banget sih hidup gue. Apa gue harus bilang, "Finally, Mami sama Papi ketemu calon mantu!" Nggak ya anjir. Belum tentu gue mau sama Raja. "Kok diem aja, La?" bisik Mami mengagetkan gue. Sekarang gue sama Mami lagi di dapur. Sedangkan Papi sedang mengobrol sama Raja di ruang tamu. Gue mengintip kedua laki-laki itu dari samping pintu dapur sesekali menggigit bibir bawah. Mereka lagi ngobrolin apa ya? Nggak mungkin membahas acara besok, kan? "Ganteng ya, La." Mami nggak berhenti menggoda gue. "Mami kira nggak ada laki-laki lain yang lebih ganteng dari Papi kamu." Raja emang ganteng, Mi. Tapi mulutnya j*****m banget! Mami belum aja dibikin sakit hati sama kata-katanya Raja yang selalu nyelekit. "Kenapa keluarganya Raja tiba-tiba mau melamar kamu?" tanya Mami. "Nggak tahu." Kedua bahu gue terangkat. "Kalau dilihat-lihat, Raja nggak cuma ganteng, La. Dewasa, terus sopan banget." Ya dewasa lah! Usia Raja aja lebih dari tiga puluh tahun! "Mami suka-suka aja kalau kamu sama Raja," ujar Mami sambil mengangkat nampan berisi dua cangkir kopi. "Kamu bawa ke depan gih!" Nampannya diangsurkan ke gue. "Kok aku, Mi?" "Kamu mau nyuruh-nyuruh orang tua? Mau jadi anak durhaka?" Ya ampun, Mi! Dengan berat hati gue menerima nampan yang dikasih Mami. Gue mengecurutkan bibir, kedua pipi gue mengembung tanda ngambek ke Mami. Dan Mami cuma haha-hihi aja kayak senang banget bikin gue cemberut. "Diminum, Ja..." Papi mempersilakan Raja untuk meminum kopinya. Papi kenapa tiba-tiba sok akrab sama orang sih? Biasanya juga cuek, kok. Apa lagi ini laki-laki. Pi, sadar nggak sih. Laki-laki di depan Papi yang udah bikin anaknya Papi patah hati sekaligus trauma dibilang bodoh loh, Pi! "Terima kasih, Om." Raja menyesap kopinya. Kalau tahu Raja bakal minum kopinya, mending gue aja yang bikin! Biar gulanya gue ganti garam sama micin. Jadi pas diminum, nyembur ke Papi, terus batal deh tuh acara besok! "Fatia mana?" tanya Raja, mengarahkan pandangannya ke gue. "Ada di kamar." Papi menyahut, "Kamu mau bawa Fatia sekarang, Ja?" Raja mengangguk cepat. "Iya, Om." "Ya udah, antar Raja ke kamar kamu aja, La. Nggak mungkin kamu kuat gendong Fatia turun ke bawah, kan?" Kuat, Pi! Kuat! Jangankan gendong Fatia, gendong orang di samping aku aja bisa pasti! "Ayo, La. Antar Raja sana. Kasian Fatia," seru Papi. Mau nggak mau gue mengajak Raja pergi ke kamar untuk membawa Fatia pulang. Fatia udah tidur dari tadi. Pulas banget. Gue nggak tega bangunin anak itu. Pintu kamar gue terbuka, Raja masuk ke dalam dan gue menunggu di dekat pintu. "Daripada lo bolak-balik dari rumah ke sini, kenapa nggak lo biarin Fatia nginep aja sih?" prote gue kesal. "Lagian besok bisa berangkat sekolah sama gue." Raja menyibak selimutnya. Menyusupkan tangannya ke leher dan kedua kaki Fatia. "Saya nggak nggak mau ngerepotin kamu." Halah! Dua hari ini dua ngerepotin gue mulu! Nggak sadar emang? "Apa?" tegur gue sambil melebarkan mata dengan galak. Raja menundukkan kepalanya. "Antingnya Fatia nyangkut di sweater saya." Gue berjalan mendekati Raja yang sedang menggendong Fatia. Gue berjinjit, memeriksa kebenarannya apakah antingnya Fatia beneran nyangkut di bajunya Raja apa nggak. "Bisa tolong benerin nggak? Kasian Fatia," gumam Raja. "Nanti bisa bangun karena telinganya kena tarik." Gue mendecakkan lidah. Masih berjinjit karena Raja emang tinggi banget. Gue berusaha melepaskan anting Fatia yang nyangkut di bajunya Raja. Agak susah dong ya. Lagian ngapain Raja pake sweater sih! Kenapa nggak pake kemeja aja? Kalau nyangkut begini, gue susah mau ngelepasinnya. "Lo bisa agak nunduk nggak?" tanya gue. "Atau lo duduk sini." Gue menarik kursi dari meja di belakang dan meminta laki-laki itu untuk duduk. Raja mengiakan ide gue. Laki-laki itu duduk di kursi sambil memangku Fatia, dan gue berusaha melepaskan anting bocah perempuan itu yang tersangkut di bajunya Raja. Sebentar. Kenapa tiba-tiba gue gugup? Kepala gue sedikit terangkat, pada saat itu juga gue baru menyadari kalau Raja sedang menatap gue. Kedua matanya yang hitam tertuju ke gue lalu berdeham pelan. "Udah belum?" tanyanya. Tiba-tiba aja gue gagap. "Iya... sebentar lagi. Sabar dong!" "Kabar kamu gimana?" "Hah?" Bibir gue membulat. Tiba-tiba banget dia nanya kabar gue. Kok telat sih? Kita udah ketemu dari tiga hari yang lalu. Udah ngerepotin gue juga. Dan sekarang baru nanya kabar? "Telat amat." Gue mencibir Raja. Anting Fatia berhasil terlepas dari benang-benang sweater-nya Raja. Gue menegakkan badan, menarik napas panjang sekaligus lega. "Kamu nggak nanya kabar saya?" Kedua mata gue memejam. Maunya apa sih nih orang! "Antingnya Fatia udah lepas dari baju lo. Sekarang lo bisa pulang." Ujung jari gue menunjuk ke arah pintu. "Kamu banyak berubah setelah lama kita nggak ketemu," gumam Raja. Gue pura-pura b***k aja. Gue berkacak pinggang di depan Raja. "Gue berubah pun nggak merugikan lo kok." "Kata siapa?" tanyanya, bikin gue bingung. "Kata gue lah!" Raja berdiri dari kursinya. Dia nggak membalasnya selain mengatakan, "Saya pulang sekarang. Sekali lagi terima kasih."   To be continue--- 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN