Insecure Versi Natla

1854 Kata
Natla: Insecure Versi Natla "Bu Natla!" Salah satu rekan kerja gue memanggil sembari melambaikan tangan dari ujung lorong sekolah. "Ya, Bu?" tanya gue, menghampiri Bu Indi, seorang guru bahasa Indonesia. "Bisa minta tolong nggak, Bu? Aduh," Gue memerhatikan Bu Indi dengan seksama. Perempuan yang tingginya sedikit lebih pendek dari gue sedang memegangi perutnya. "Bu Indi baik-baik aja?" tanya gue, ikut-ikutan meringis. "Oh ya. Bu Indi mau minta tolong apa?" Sambil memegangi perutnya, Bu Indi mengatakan, "Jadi gini, ibunya Fatia barusan telepon. Katanya nggak bisa jemput Fatia karena lagi sakit." "Terus?" Lagi-lagi Bu Indi meringis. "Hari ini Fatia dijemput sama teman ibunya. Jadi, Bu Natla bisa temenin Fatia sampai dijemput sama teman ibunya nggak?" "Ya, bisa sih." Gue mengangguk. "Maaf ya, Bu Natla. Harusnya saya yang temani Fatia, tapi... duh, perut saya lagi nyeri. Nggak kuat banget berdiri lama-lama. Nggak apa-apa kan, Bu?" Gue berpikir sebentar, kemudian menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. "Boleh. Fatia-nya ada di mana?" Setelah mengiakan permintaan Bu Indi untuk menemani Fatia menunggu di dekat pos satpam, gue pergi di depan kelas bocah perempuan itu. Fatia terlihat sedang berdoa bersama teman-temannya sebelum kelas bubaran. Kenapa? Kalian pasti bingung sama profesi gue, nih. Profesi gue sebagai seorang guru olahraga di sekolah dasar. Selain menjadi seorang guru, gue juga punya pekerjaan sampingan. Mengajari anak-anak untuk taekwondo, mengajar tiga kali dalam seminggu. Kelas Fatia telah selesai. Gue menunggu di samping pintu sembari mengamati anak-anak yang keluar satu per satu dengan tertib. Fatia keluar belakangan, paling lesu di antara wajah-wajah cerah temannya. "Fatia," Gue memanggil Fatia. Bocah perempuan itu mendongak, mengerjapkan kedua matanya lucu. "Ya, Bu." "Barusan Ibu kamu telepon Bu Indi," Gue menerangkan ke Fatia, setengah membungkuk agar bisa berdiri sejajar dengan bocah berpita pink. "Hari ini yang jemput temannya ibunya Fatia." Wajah Fatia semakin murung. Kepalanya tertunduk, seolah memikirkan sesuatu yang berat. "Pasti Ibu sakit lagi," gumamnya. Gue mengusap kepalanya. "Ibunya Fatia baik-baik aja kok." Kepalanya terangkat. Matanya terlihat sedih. "Ibu aku nggak akan sakit parah, kan, Bu Natla?" Kepala gue terangguk. Sedikit banyaknya soal Fatia dan ibunya, gue tahu. Dari cerita beberapa guru, Ibu Fatia didiagnosis memiliki penyakit berbahaya. Entah sakit apa, gue nggak mau nanya lebih lanjut karena takut dibilang kepo. Dengar-dengar juga, ibunya Fatia seorang pengajar di sebuah SMA. "Berdoa buat ibunya ya." Gue menepuk kepalanya. Kepala bocah itu terangguk. Bibirnya mengerucut lucu. Gue menggandeng tangan Fatia meninggalkan kelas dan mengantarnya ke pos satpam sambil menunggu teman ibunya datang menjemput. Gue tahu kenapa ibunya Fatia berpesan kepada Bu Indi agar menemani anaknya sampai temannya datang. Zaman sekarang banyak orang jahat. Musim penculikan lah, pelecehan anak-anaklah. Sebagai seorang perempuan, walaupun gue belum pernah menikah, rasa-rasanya gue ikut merasakan bagaimana khawatirnya ibunya Fatia. Fatia masih kelas lima SD. Dia cuma tinggal sama ibunya aja. Ayahnya Fatia meninggal ketika bocah itu masih kelas satu SD. Gue suka anak-anak kayak Fatia gini, anaknya pendiam, pintar, nggak bandel kayak beberapa temannya yang suka bikin rusuh di kelas. Fatia juga anak yang gampang dibilangin sama guru-guru, nurut aja gitu, nggak pernah membantah, apa lagi dengan kurang ajar mengikuti cara guru mereka berbicara. Fatia gue suruh duduk di kursi. Gue berdiri di samping Fatia sembari mengamati beberapa kendaraan yang lewat. Aduh, gue lupa nanya ke Bu Indi, nama teman ibunya Fatia siapa, laki-laki atau perempuan, kendaraannya apaan. Kalau cuma menunggu di pos satpam sambil mengira-ngira, kan ya nggak tahu. Kalau ada orang yang ngaku-ngaku jadi temannya ibunya Fatia, gimana? "Fatia," Kepala gue menunduk, memandangi si bocah yang sedang mengamati kendaraan di jalan. "Kenapa, Bu Natla?" Kedua mata Fatia berkedip-kedip karena terkena sorotan matahari. "Ibu lupa nanya nama teman Ibu kamu," kata gue, berjalan ke pinggir agar Fatia nggak terkena sorotan cahaya matahari. "Kamu pernah dijemput sama teman Ibu kamu sebelumnya?" Fatia mengangguk cepat. "Kamu tahu namanya? Mungkin yang jemput kamu, orangnya masih sama." Sebuah mobil hitam berhenti di depan pagar sekolah. Fatia turun dari kursi, seolah tahu kalau si pengendara adalah orang yang menjemputnya. Bocah itu membenarkan tasnya di bahu lalu berlari sembari menyebutkan sebuah nama. Nama seorang laki-laki paling famillier akhir-akhir ini karena sering banget disebut orang-orang di sekitar gue. "Om Raja!" teriak Fatia. Berani taruhan kalau yang gue dengar barusan emang nggak salah. Fatia menyebut nama Raja beberapa kali, dan berhenti memanggilnya ketika pintu mobil terbuka. Seketika, sosok tinggi berkemeja biru keluar dari sana lalu menggendong Fatia. Kok, mereka akrab? "Maaf ya, Fatia. Om telat jemput kamu." Raja menggendong Fatia, mengusap kening bocah itu penuh kelembutan. Fatia sama Raja kenal dekat? Nggak usah heran, nggak perlu mangap-mangap kalau udah bisa menebak Raja yang mana yang sedang gue temui hari ini. Ya, Darizki Raja, orang yang udah membuat kehidupan gue jadi kacau! Karena anggukkan kepalanya malam itu di depan dua keluarga, gue jadi diledekkin mulu sama Oma dan Mami. "Kamu nunggu Om sama siapa? Nggak sendiri kan?" Fatia menggeleng. Apa gue harus cabut aja ya? Sebelum laki-laki itu melihat keberadaan gue di sini, lebih baik gue masuk ke dalam dan bersembunyi. "Aku ditemenin sama Bu Natla." Satu jari Fatia menunjuk ke arah gue. Mampus! Mau cabut, udah telat kayaknya. Terlanjur juga sih. Mendingan gue samperin sekalian lalu masuk ke dalam sebelum darah gue mendidih karena teringat acara lamaran malam itu. Di mata gue sekarang, melihat wajahnya Raja adalah sesuatu yang menyebalkan! Kepala gue langsung nyut-nyutan, tekanan darah yang tiba-tiba naik drastis. "Gue udah temenin Fatia sampai dijemput," ujar gue, nggak pake basa-basi. "Kalau gitu, gue balik ke dalam sekarang. Hati-hati bawa Fatia pulang." "La, tunggu." Raja berseru sebelum gue berbalik memunggungi laki-laki itu. "Apa lagi? Mau bilang makasih? Ya, sama-sama." Gue melambaikan sebelah tangan ke udara. Raja cuma diam, memandangi gue dengan tatapan ragu. Seolah ada yang ingin laki-laki itu sampiakan, tapi masih mikir-mikir. Jangan sampai ada orang terdekat kita ya yang lihat gue sama dia berduaan, please! Itu sama aja bikin posisi gue jauh lebih sulit. Apa lagi Oma sama Mami. Udahlah, makin kebelet mereka mau nikahin gue sama Raja. "Kamu mau pulang? Biar saya antar," Suara Raja terdengar ragu di telinga gue. "Anggap aja sebagai ucapan terima kasih karena udah mau nemenin Fatia." Gue mendengus. Gue melakukan tugas gue seperti permintaan Bu Indi agar menemani bocah itu sampai dijemput. Memangnya Raja siapanya Fatia, sih? Kok, sampai segitunya mau nganterin gue pulang, karena udah menemani Fatia. "Gue pulangnya masih setengah jam lagi," jawab gue. "Gue balik sendirian aja. Nggak perlu nganter gue pulang kalau cuma balasan udah nemenin Fatia." "Saya tunggu." Lagi-lagi gue mengurungkan niat untuk berbalik. Menatap Raja dengan dahi berkerut-kerut, antara nggak percaya sama mengira diri sendiri lagi halu. Darizki Raja mau mengantar mantan siswinya yang paling bodoh pulang? Apa lagi sampai mau menunggu. Ah, mustahil. "Saya sama Fatia tunggu kamu di mobil." Raja membuat keputusan sendiri. "Ayo, Fatia, kita tunggu Bu Natla di mobil yuk." *** Maunya Raja aja apa sih? Gue udah mau mengalah pulang diantar dia ya. Bukannya langsung diantar ke rumah Oma, gue malah diajak muter-muter dengan alibi itu kemauannya Fatia. Katanya, mau cari makan buat Fatia dulu. Raja bilang lagi, kalau Fatia nggak boleh telat makan, padahal ini masih sore, loh. Yang bodoh, siapa? Gue berakhir di sebuat tempat makan saji. Ya, makanan yang ayam-ayaman lah. Udah tahu gue sama dia dan Fatia ada di mana dong? Tempat makan yang kita datangi nggak terlalu ramai, nggak bisa dibilang sepi karena setengah meja di sini udah terisi. Gue melirik Fatia sedang menjilat es krimnya sampai belepotan di ujung hidungnya. Sehabis bocah itu menghabiskan satu porsi ayam beserta nasi, ditambah kentang goreng, dia lanjut ke es krim. Gue melirik orang-orang di sini dengan malas. Maunya pulang, rebahan sambil mendengarkan musik sebagai hiburan setelah dibuat stress sama keluarga sendiri. Tahu nggak, kenapa gue jadi stress banget? Padahal lamaran resmi aja belum, apa lagi beneran dinikahin! Di dalam kepala gue selalu berputar-putar satu kalimat, "Gue nggak bisa menikah sama orang yang udah menghina gue." Mungkin aja bagi orang-orang, apa yang dibilang Raja beberapa tahun lalu cuma biasa. Karena emang itu fakta. Tapi sebagai manusia yang punya hati dan perasaan, jelas gue sakit. Kalimatnya, tuh, nusuk banget. Bahkan gue nggak pernah melupakannya sampai hari ini. Ada banyak cewek yang sering merasa insecure setiap kali melihat cewek lain cantik, gue jauh lebih insecure melihat cewek-cewek yang sama usianya kayak gue, tapi mereka lebih pintar dan berbakat. Kayak apa ya, cewek tuh nggak cuma harus cantik, tapi juga harus pintar, punya wawasan, nggak bodoh kayak gue! Gara-gara kalimat Raja dulu, gue insecure parah kalau lihat ada orang pintar. Salah satu contoh nyatanya adalah Davian, saudara kembar gue sendiri. Raja pernah tahu seberapa banyak efek dari kalimatnya nggak? Jelas, dia nggak akan tahu. Nggak peduli juga kali. "Kalau lo masih mau di sini, gue bisa pulang sendiri." Gue mencangkleng tas ransel di bahu kanan. "Tunggu sampai Fatia selesai makan," kata Raja. "Lo kira gue nggak punya kerjaan lain?" Kedua alis Raja saling bertaut. "Saya dengar dari tadi, kamu ngomong sama saya pake bahasa informal." "Loh, kenapa? Gue sama lo udah bukan guru sama muridnya lagi." "Kamu lupa kalau saya lebih tua dari kamu?" tanyanya. "Okay, Pak Raja." Gue mengakhiri perdebatan kita. Lebih baik gue mengalah. Berdebat sama Darizki Raja nggak akan pernah menang. "Om Raja, aku mau cuci tangan dulu." Fatia turun dari kursinya. "Bisa sendiri kan?" tanya Raja. "Hmm!" Fatia bergumam sembari mengangguk. Selepas Fatia pergi untuk mencuci tangannya, tinggal gue sama Raja doang. Kita duduk saling berhadapan. Gue tahu dia sedang memerhatikan sekarang. Gue berdeham pelan, membuka tas lalu mengeluarkan ponsel, pura-pura sibuk sendiri. "Ibunya Fatia lagi dirawat di rumah sakit sekarang." Ibut jari gue berhenti di tengah-tengah layar ponsel. Kedua mata gue melebar, memandangi Raja sebelum laki-laki itu membuka suaranya kembali. "Kondisinya sempat kritis," gumam Raja. "Saya sengaja ngajak Fatia keliling-keliling supaya nggak nanya soal ibunya." "Kalau lo di sini. Yang jaga ibunya Fatia?" "Ada Mama saya," jawabnya. Dada gue langsung mencelos detik itu juga. Sekarang otak gue lagi kacau memang. Ketimbang memikirkan kondisi ibunya Fatia yang sedang dirawat, gue malah sibuk bertanya-tanya ke diri sendiri. Sebenarnya ada hubungan apa antara Raja dan ibunya Fatia? Seberapa dekat, sih, sampai-sampai mamanya Raja menjaga ibunya Fatia? Apa mereka pernah berpacaran? Ibunya Fatia, mantan pacar Raja di masa lalu? Bisa aja kan. Kalau cuma teman karena sama-sama mengajar di sekolah yang sama, kayaknya nggak bakal segitunya dong. "Saya minta kamu bantu saya," kata Raja. "Untuk hari ini aja. Temani saya dan Fatia. Sampai ibunya bisa ditemui." Separah apa kondisi ibunya Fatia memang? Sakit apa sih? "Om Raja," seru Fatia tahu-tahu ada ditengah-tengah kita. "Ayo pulang, Om!" Raja melirik gue, menggerakkan alis tebalnya seolah memberi gue isyarat. Apaan sih? Gue nggak paham, nih! Dia mau gue ngapain emang? "Fatia," Raja menarik tangan Fatia hati-hati. "Bu Natla minta kita temenin cari kado buat keponakannya." Kado? Keponakan? Keponakan yang mana, hei! Kak Safa aja baru dilamar, kok! Ngarang aja, sembarangan! "Fatia mau temenin Bu Natla cari kado nggak?" tanya Raja, dan dianggukki Fatia. "Oh ya, Bu Natla, mau ditemani cari kado di mana?" Atensinya berubah ke gue sekarang. Ditanya begitu, gue malah bingung. Ya masalahnya gue nggak beneran cari kado. Apa lagi buat keponakan! Keponakannya siapa hah? Gue belum punya keponakan! Nggak sekalian aja si Raja ngasih alasan cari kado buat anak gue! Biar lebih afdol ngibulnya!   To be continue--- 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN