Bisik-bisik itu mulai sayup terdengar. Mereka meredam tanda tanya saat gemerisik jubah sang raja sampai ke telinga mereka. Para dewan saling melempar pandang, mencoba bertanya melalui mata mereka yang menyala penuh waspada dan antisipasi.
Dan benar, Maritz Azada masuk dengan wajah datar tetapi kedua mata gelapnya yang mengintimidasi seakan membungkam seluruh pertanyaan di benak para dewan.
"Hormat, Yang Mulia."
Tetua klan Parviz berdiri memberi salam. Diikuti para dewan lainnya sebelum akhirnya mereka duduk dalam diam. Menunggu sang raja berbicara diiringi tatapan serius yang mencekam.
"Jangan bercanda," Azada mendengus sinis saat dia berjalan mendekati pria berambut putih yang kini menunduk menatap tepi meja yang dingin. Memandang semua orang di sana dengan sinis.
Para dewan lainnya menahan napas saat ujung katana itu menyentuh dagu pria tua itu, membuat ketegangan di dalam ruangan semakin tinggi dan terasa menyiksa. Bagai ada tangan tak kasat mata yang mencekik leher mereka perlahan-lahan. Udara terasa sesak dan semakin sulit dijangkau oleh paru-paru mereka.
"Kau. Pintar." Azada berkata dingin, semakin menekan ujung katananya.
"Maafkan aku, Yang Mulia. Aku tidak tahu apa yang diperbuat anak dan cucuku di luar sana. Ini sama sekali ..."
Dan tebasan katana itu sukses membuat mereka menunduk. Menutup rapat-rapat mulut mereka saat bunyi kepala jatuh membentur lantai kayu yang dingin seakan menjadi mimpi buruk mereka.
Pria yang malang.
.
.
"Nisaka?"
Hana menghampiri Nisaka yang pucat dengan bibir kering dan lemah. Gadis bermata perak itu mendongak, menatap wajah Hana yang panik bercampur rasa khawatir dengan senyum sendu.
"Aku baik-baik saja," dustanya. Nisaka merasa perutnya diputar keras. Terasa menyakitkan hingga membuatnya limbung dan tak mampu berlutut lebih lama lagi. Tapi tidak! Dia harus bertahan.
"Tidak, jangan bercanda," Hana mencoba membawa tubuh lemah Nisaka ke dalam pelukannya untuk membawanya ke kamar. Tetapi kepala itu menggeleng sekali lagi, berusaha menahan Hana dengan sisa tenaganya.
"Aku akan tetap di sini," Nisaka menggeleng saat Hana ingin menyela ucapannya. "Sampai Putri Karen terbangun. Aku tetap di sini."
Hana menahan bibirnya untuk tetap rapat. Dia melihat sekeliling, menemukan Jenderal Kelas Satu menatap dari lorong seberang dengan tatapan biru dalamnya. Mereka bertemu tatap sebelum Jenderal itu berbalik pergi menuju tikungan lorong dan menghilang. Tidak lagi terlihat.
"Nisaka, jangan keras kepala," Hana mencoba merayunya. "Putri Karen sudah stabil. Dia akan sadar besok pagi."
Nisaka memaksakan satu senyuman. "Kalau begitu, aku akan menunggunya sampai besok pagi."
Hana terdiam, tidak lagi mampu berkata apa-apa.
.
.
"Pemberontakan yang tidak logis," Azada mendesis di balik kursi singgasananya yang kelam. Suasana tampak mencekam dengan hujan deras sebagai latar dan kilat yang menyala-nyala menjadi cahaya.
Zidan terdiam di sudut ruangan. Hanya tersisa dirinya dan sang kaisar di dalam ruangan setelah separuh istana terlelap dan berusaha melupakan mimpi buruk mencekam itu. Azada ada di kamarnya saat mendengar bunyi keras dari Istana Bunga dan lantai kamarnya yang bergetar. Dia segera melihat ke luar, mendapati asap hitam sudah membumbung tinggi ke angkasa mengaburkan pandangannya.
"Karena kita menghentikan pasokan gandum dan gula. Banyak anak-anak kelaparan dan para lansia yang mati perlahan-lahan akibat wabah malaria. Mereka tidak punya cara lain selain memberontak." Zidan menurunkan kedua tangannya, menghela napas berat.
Mata Azada berkilat menatap katananya yang tertancap di atas batu. Bunyi jubahnya terdengar menyapu indra pendengaran Zidan yang kini berdiri tegak, mengantisipasi sang raja yang mendekat.
"Banyak hal yang kau sembunyikan dariku," Azada menatap Zidan tajam. "Termasuk para dewan yang kau bela agar tidak mati di tanganku," Azada melipat kedua tangannya di depan d**a. Kilatan petir sekali lagi menerangi wajah mereka berdua yang saling menatap. "Bukan karena kita adalah teman, kau bisa berlaku seperti ini padaku."
"Maaf, Yang Mulia,"
Azada menarik sudut bibirnya. "Kita bertemu lagi besok. Istirahatlah." Azada menepuk bahu Zidan agak keras dan pergi keluar ruangan. Meninggalkan Zidan yang mengepalkan tangannya kuat-kuat.
.
.
Hana menunduk memberi salam saat Azada masuk ke dalam ruangan. Karen masih terbaring lemah di atas ranjang. Tabib sudah datang melihat kondisinya dan jika benar-benar baik, Karen akan sadar besok pagi. Hana tahu, tidak pada tempatnya dia berada di sini. Di Istana Merah dimana istana ini khusus untuk raja dan selirnya saat memadu kasih. Memberi calon penerus bagi kerajaan ini. Dia tahu, Putri Karen tidak seharusnya di sini. Tapi Jenderal Kelas Satu memaksanya untuk kesehatan sang selir sampai pulih.
"Pergilah."
Hana mengangguk samar dan melangkahkan kaki mungilnya pergi ke luar kamar. Dia masih menemukan Nisaka di sana, mengabaikan nampan yang berisi penuh makanan dan camilan untuknya. Juga Nisaka tidak meminum air yang Hana ambilkan untuknya.
Rasa cemas memenuhi rongga d**a Hana melihat bagaimana rasa bersalahnya Nisaka pada Karen saat kejadian itu terjadi. Mereka semua tahu, itu bukan salah gadis itu. Tetapi Nisaka memaksakan dirinya.
"Nisaka,"
"Aku tidak apa," suaranya semakin lemah. Terdengar ringisan kecil dari bibirnya yang pucat dan kering. "Aku bisa bertahan sebentar lagi."
Hana mencoba menggapai tangan Nisaka saat ada tangan lain yang menepis tangannya. Hana terkejut dan mendongak, mendapati Jenderal Zidan berdiri dengan mata birunya nyalang menatap tajam pada Nisaka yang kini menunduk.
"Berdiri!"
Nisaka menggeleng kecil.
"Jangan memancingku, Nisaka,"
Hana mundur dua langkah. Mencoba mencari cara agar Nisaka mau mendengarkan Jenderal Zidan.
"Nisaka, perhatikan kesehatanmu. Ini bukan salahmu," Hana mencoba menenangkan dengan lembut. Berharap Nisaka mendengarnya.
"Aku ..."
Nisaka mencoba mengulurkan tangannya, menyentuh gelas itu dengan jemari kurusnya tetapi kepalanya seperti dihantam benda tumpul dengan keras, membuat matanya memburam dan kesadaran ditarik paksa darinya. Lalu, semua gelap.
.
.
Maritz Azada membuka kedua matanya saat bunyi derit ranjang mengganggu tidurnya. Mata gelapnya tertuju pada tubuh Karen yang menggeliat. Belum sempat dia berdiri, tabib segera masuk dengan terburu-buru, melihat kondisi Karen.
Azada mengernyit melihat bagaimana kerja tabib itu saat Karen sepenuhnya membuka matanya, menatap lirih pada lukanya saat kedua tangan tabib itu dengan cekatan mengganti perban setelah mengoleskan tumbukan daun di atas perutnya.
"Anda baik-baik saja Putri?"
Karen mengangguk, menutup wajahnya dengan kedua tangannya. "Terima kasih."
Tabib itu menoleh, memberi salam sekaligus permintaan maaf karena masuk tanpa mengetuk pintu. Tidak mengetahui kalau sang raja ada di sana.
"Saya undur diri."
Karen mencoba bangun, memegang perutnya dan melempar pandangannya ke sekeliling kamar yang luas. Dia mendengus, mendapati lagi-lagi dirinya tidak ada di kamarnya.
"Sudah kuduga," tatapan matanya beralih pada Azada yang kini duduk bersandar melipat tangan di depan d**a. Menatapnya. "Aku terbangun di tempat asing dan terus begitu," ada nada sinis di dalam suaranya. "Tidak bisakah kau membawaku ke tempat yang seharusnya?"
"Kau terlihat tidak senang," Azada mengernyit. "Berhentilah bicara. Lukamu belum sembuh."
"Aku sudah merasa lebih baik," Karen menyingkap selimutnya, hendak turun dari ranjang sebelum Azada menahannya dengan tatapan intimidasi.
"Dengarkan kata-kataku, Miura."
Mata Karen menyipit, dia melepas tangan itu dan kembali berbaring. Mencoba memejamkan matanya.
"Kau sekarat."
"Aku tahu," Karen memegang dahinya. Tiba-tiba dia bangun, menatap Azada. "Bagaimana Nisaka?"
"Apa kau punya hubungan dengan Putri Ikeda itu?"
"Dia temanku," Karen mengerutkan alisnya, tidak suka dengan pertanyaan Azada. "Jika kau berpikir aku mencoba membangun relasi dengan orang-orang di istana ini ... kau salah. Nisaka orang yang baik dan aku senang berteman dengannya," Karen menghela napas. "Yang Mulia maafkan aku karena banyak bicara. Aku akan tidur."
Azada mengangkat alisnya saat Karen kembali berbaring. Menaikkan selimutnya sampai sebatas d**a dan memejamkan matanya. Dia belum membuka mulutnya untuk berbicara saat pintu kamar terketuka dan Hana masuk ke dalam ruangan.
"Maaf, Yang Mulia, sarapan Putri Karen datang. Karena dia tidak bisa berkumpul bersama di ruang makan para selir, bagian dapur membawa makanan ini kemari."
"Oh, Hana?"
Karen kembali membuka matanya, tampak senang. Dia terlalu antusias sampai mengabaikan luka di perutnya. Membuatnya meringis kecil dan tertawa saat Hana menatap khawatir padanya. "Kemari, kemari, aku lapar."
Azada melihat Zidan berdiri di balik pintu. Dia memasang kembali jubahnya, pergi begitu saja tanpa berpamitan dan meninggalkan Karen yang mengunyah makanannya, menatap punggungnya dengan tatapan tak terbaca.
.
.
"Hukuman akan dilaksanakan satu jam dari sekarang, Yang Mulia."
Zidan memberi salam setelah Azada duduk di singgasananya. "Bagus. Berikan bangkai mereka pada burung peliharaan istana," Azada mengusap dagunya. "Sisakan beberapa tahanan untuk hokum pancung."
"Baik, Yang Mulia."
"Ah, bagaimana Putri Ikeda itu?"
Zidan mengerutkan dahinya. Menatap Azada yang menyunggingkan senyum samarnya. "Ikeda Nisaka."
"Dia tidak sadarkan diri semalam dan kondisinya membaik pagi ini," jawab Zidan.
Azada mengangguk. "Aku tahu kau mencemaskannya," Azada memainkan jemarinya. "Bagaimana cara kau menatapnya, kau tidak bisa berbohong," dan mendengus. "Abaikan saja tentang hokum kolot di dalam klanmu. Jika kau mencintainya, buktikan."
"Kesetiaanku tetap pada klan dan padamu, Yang Mulia."
"Jika kau kehilangannya ..."
Zidan terdiam, merasakan denyutan di dadanya.
"Apa yang akan kaulakukan?"