4

1302 Kata
Bisik-bisik itu mulai  sayup terdengar. Mereka meredam tanda tanya saat gemerisik jubah sang  raja sampai ke telinga mereka. Para dewan saling melempar pandang,  mencoba bertanya melalui mata mereka yang menyala penuh waspada dan  antisipasi. Dan benar, Maritz Azada  masuk dengan wajah datar tetapi kedua mata gelapnya yang mengintimidasi  seakan membungkam seluruh pertanyaan di benak para dewan. "Hormat, Yang Mulia." Tetua klan Parviz berdiri memberi salam. Diikuti para dewan lainnya sebelum akhirnya mereka duduk dalam diam. Menunggu sang raja berbicara diiringi tatapan serius yang mencekam. "Jangan bercanda,"  Azada mendengus sinis saat dia berjalan mendekati pria berambut putih  yang kini menunduk menatap tepi meja yang dingin. Memandang semua orang di sana dengan sinis. Para dewan lainnya  menahan napas saat ujung katana itu menyentuh dagu pria tua itu, membuat  ketegangan di dalam ruangan semakin tinggi dan terasa menyiksa. Bagai  ada tangan tak kasat mata yang mencekik leher mereka perlahan-lahan.  Udara terasa sesak dan semakin sulit dijangkau oleh paru-paru mereka. "Kau. Pintar." Azada berkata dingin, semakin menekan ujung katananya. "Maafkan aku, Yang Mulia. Aku tidak tahu apa yang diperbuat anak dan cucuku di luar sana. Ini sama sekali ..." Dan tebasan katana itu  sukses membuat mereka menunduk. Menutup rapat-rapat mulut mereka saat  bunyi kepala jatuh membentur lantai kayu yang dingin seakan menjadi  mimpi buruk mereka. Pria yang malang. . . "Nisaka?" Hana menghampiri Nisaka  yang pucat dengan bibir kering dan lemah. Gadis bermata perak itu  mendongak, menatap wajah Hana yang panik bercampur rasa khawatir dengan  senyum sendu. "Aku baik-baik saja,"  dustanya. Nisaka merasa perutnya diputar keras. Terasa menyakitkan  hingga membuatnya limbung dan tak mampu berlutut lebih lama lagi. Tapi  tidak! Dia harus bertahan. "Tidak, jangan  bercanda," Hana mencoba membawa tubuh lemah Nisaka ke dalam pelukannya  untuk membawanya ke kamar. Tetapi kepala itu menggeleng sekali lagi,  berusaha menahan Hana dengan sisa tenaganya. "Aku akan tetap di  sini," Nisaka menggeleng saat Hana ingin menyela ucapannya. "Sampai  Putri Karen terbangun. Aku tetap di sini." Hana menahan bibirnya  untuk tetap rapat. Dia melihat sekeliling, menemukan Jenderal Kelas Satu  menatap dari lorong seberang dengan tatapan biru dalamnya. Mereka  bertemu tatap sebelum Jenderal itu berbalik pergi menuju tikungan lorong  dan menghilang. Tidak lagi terlihat. "Nisaka, jangan keras kepala," Hana mencoba merayunya. "Putri Karen sudah stabil. Dia akan sadar besok pagi." Nisaka memaksakan satu senyuman. "Kalau begitu, aku akan menunggunya sampai besok pagi." Hana terdiam, tidak lagi mampu berkata apa-apa. . . "Pemberontakan yang  tidak logis," Azada mendesis di balik kursi singgasananya yang kelam.  Suasana tampak mencekam dengan hujan deras sebagai latar dan kilat yang  menyala-nyala menjadi cahaya. Zidan terdiam di sudut  ruangan. Hanya tersisa dirinya dan sang kaisar di dalam ruangan setelah  separuh istana terlelap dan berusaha melupakan mimpi buruk mencekam itu.  Azada ada di kamarnya saat mendengar bunyi keras dari Istana Bunga dan  lantai kamarnya yang bergetar. Dia segera melihat ke luar, mendapati  asap hitam sudah membumbung tinggi ke angkasa mengaburkan pandangannya. "Karena kita  menghentikan pasokan gandum dan gula. Banyak anak-anak kelaparan dan  para lansia yang mati perlahan-lahan akibat wabah malaria. Mereka tidak  punya cara lain selain memberontak." Zidan menurunkan kedua tangannya,  menghela napas berat. Mata Azada berkilat  menatap katananya yang tertancap di atas batu. Bunyi jubahnya terdengar  menyapu indra pendengaran Zidan yang kini berdiri tegak, mengantisipasi  sang raja yang mendekat. "Banyak hal yang kau  sembunyikan dariku," Azada menatap Zidan tajam. "Termasuk para dewan  yang kau bela agar tidak mati di tanganku," Azada melipat kedua  tangannya di depan d**a. Kilatan petir sekali lagi menerangi wajah  mereka berdua yang saling menatap. "Bukan karena kita adalah teman, kau  bisa berlaku seperti ini padaku." "Maaf, Yang Mulia," Azada menarik sudut  bibirnya. "Kita bertemu lagi besok. Istirahatlah." Azada menepuk bahu  Zidan agak keras dan pergi keluar ruangan. Meninggalkan Zidan yang  mengepalkan tangannya kuat-kuat. . . Hana menunduk memberi  salam saat Azada masuk ke dalam ruangan. Karen masih terbaring lemah  di atas ranjang. Tabib sudah datang melihat kondisinya dan jika  benar-benar baik, Karen akan sadar besok pagi. Hana tahu, tidak pada  tempatnya dia berada di sini. Di Istana Merah dimana istana ini khusus  untuk raja dan selirnya saat memadu kasih. Memberi calon penerus bagi  kerajaan ini. Dia tahu, Putri Karen tidak seharusnya di sini. Tapi  Jenderal Kelas Satu memaksanya untuk kesehatan sang selir sampai pulih. "Pergilah." Hana mengangguk samar  dan melangkahkan kaki mungilnya pergi ke luar kamar. Dia masih menemukan  Nisaka di sana, mengabaikan nampan yang berisi penuh makanan dan  camilan untuknya. Juga Nisaka tidak meminum air yang Hana ambilkan  untuknya. Rasa cemas memenuhi  rongga d**a Hana melihat bagaimana rasa bersalahnya Nisaka pada Karen  saat kejadian itu terjadi. Mereka semua tahu, itu bukan salah gadis itu.  Tetapi Nisaka memaksakan dirinya. "Nisaka," "Aku tidak apa,"  suaranya semakin lemah. Terdengar ringisan kecil dari bibirnya yang  pucat dan kering. "Aku bisa bertahan sebentar lagi." Hana mencoba menggapai  tangan Nisaka saat ada tangan lain yang menepis tangannya. Hana terkejut  dan mendongak, mendapati Jenderal Zidan berdiri dengan mata birunya  nyalang menatap tajam pada Nisaka yang kini menunduk. "Berdiri!" Nisaka menggeleng kecil. "Jangan memancingku, Nisaka," Hana mundur dua langkah. Mencoba mencari cara agar Nisaka mau mendengarkan Jenderal Zidan. "Nisaka, perhatikan kesehatanmu. Ini bukan salahmu," Hana mencoba menenangkan dengan lembut. Berharap Nisaka mendengarnya. "Aku ..." Nisaka mencoba  mengulurkan tangannya, menyentuh gelas itu dengan jemari kurusnya tetapi  kepalanya seperti dihantam benda tumpul dengan keras, membuat matanya  memburam dan kesadaran ditarik paksa darinya. Lalu, semua gelap. . . Maritz Azada membuka  kedua matanya saat bunyi derit ranjang mengganggu tidurnya. Mata  gelapnya tertuju pada tubuh Karen yang menggeliat. Belum sempat dia  berdiri, tabib segera masuk dengan terburu-buru, melihat kondisi Karen. Azada mengernyit  melihat bagaimana kerja tabib itu saat Karen sepenuhnya membuka  matanya, menatap lirih pada lukanya saat kedua tangan tabib itu dengan  cekatan mengganti perban setelah mengoleskan tumbukan daun di atas  perutnya. "Anda baik-baik saja Putri?" Karen mengangguk, menutup wajahnya dengan kedua tangannya. "Terima kasih." Tabib itu menoleh,  memberi salam sekaligus permintaan maaf karena masuk tanpa mengetuk  pintu. Tidak mengetahui kalau sang raja ada di sana. "Saya undur diri." Karen mencoba bangun,  memegang perutnya dan melempar pandangannya ke sekeliling kamar yang  luas. Dia mendengus, mendapati lagi-lagi dirinya tidak ada di kamarnya. "Sudah kuduga," tatapan  matanya beralih pada Azada yang kini duduk bersandar melipat tangan di  depan d**a. Menatapnya. "Aku terbangun di tempat asing dan terus  begitu," ada nada sinis di dalam suaranya. "Tidak bisakah kau membawaku  ke tempat yang seharusnya?" "Kau terlihat tidak senang," Azada mengernyit. "Berhentilah bicara. Lukamu belum sembuh." "Aku sudah merasa lebih  baik," Karen menyingkap selimutnya, hendak turun dari ranjang sebelum  Azada menahannya dengan tatapan intimidasi. "Dengarkan kata-kataku, Miura." Mata Karen menyipit, dia melepas tangan itu dan kembali berbaring. Mencoba memejamkan matanya. "Kau sekarat." "Aku tahu," Karen memegang dahinya. Tiba-tiba dia bangun, menatap Azada. "Bagaimana Nisaka?" "Apa kau punya hubungan dengan Putri Ikeda itu?" "Dia temanku," Karen  mengerutkan alisnya, tidak suka dengan pertanyaan Azada. "Jika kau  berpikir aku mencoba membangun relasi dengan orang-orang di istana ini  ... kau salah. Nisaka orang yang baik dan aku senang berteman  dengannya," Karen menghela napas. "Yang Mulia maafkan aku karena banyak  bicara. Aku akan tidur." Azada mengangkat  alisnya saat Karen kembali berbaring. Menaikkan selimutnya sampai  sebatas d**a dan memejamkan matanya. Dia belum membuka mulutnya untuk  berbicara saat pintu kamar terketuka dan Hana masuk ke dalam ruangan. "Maaf, Yang Mulia,  sarapan Putri Karen datang. Karena dia tidak bisa berkumpul bersama di  ruang makan para selir, bagian dapur membawa makanan ini kemari." "Oh, Hana?" Karen kembali membuka  matanya, tampak senang. Dia terlalu antusias sampai mengabaikan luka di  perutnya. Membuatnya meringis kecil dan tertawa saat Hana menatap  khawatir padanya. "Kemari, kemari, aku lapar." Azada melihat Zidan  berdiri di balik pintu. Dia memasang kembali jubahnya, pergi begitu saja  tanpa berpamitan dan meninggalkan Karen yang mengunyah makanannya,  menatap punggungnya dengan tatapan tak terbaca. . . "Hukuman akan dilaksanakan satu jam dari sekarang, Yang Mulia." Zidan memberi salam  setelah Azada duduk di singgasananya. "Bagus. Berikan bangkai mereka  pada burung peliharaan istana," Azada mengusap dagunya. "Sisakan  beberapa tahanan untuk hokum pancung." "Baik, Yang Mulia." "Ah, bagaimana Putri Ikeda itu?" Zidan mengerutkan dahinya. Menatap Azada yang menyunggingkan senyum samarnya. "Ikeda Nisaka." "Dia tidak sadarkan diri semalam dan kondisinya membaik pagi ini," jawab Zidan. Azada mengangguk. "Aku  tahu kau mencemaskannya," Azada memainkan jemarinya. "Bagaimana cara  kau menatapnya, kau tidak bisa berbohong," dan mendengus. "Abaikan saja  tentang hokum kolot di dalam klanmu. Jika kau mencintainya, buktikan." "Kesetiaanku tetap pada klan dan padamu, Yang Mulia." "Jika kau kehilangannya ..." Zidan terdiam, merasakan denyutan di dadanya. "Apa yang akan kaulakukan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN