5

1301 Kata
Karen mengangkat kimono  putihnya, mencoba berjalan menahan rasa di perutnya yang mulai membaik.  Tabib Zaida benar-benar hebat. Dia bisa meracik dedaunan agar rasa  sakit itu tidak bersarang terlalu lama di perutnya. Karen melihat ke luar.  Pemandangan Istana Merah yang indah dan terawat dan juga pembangunan  Istana Bunga yang perlahan tapi pasti mulai terlihat separuh dari sisi  bangunan yang hancur. Karen mencoba berjalan, memapaki jalan berkerikil  dengan hati-hati. "Dimana Nisaka .."  Karen bergumam saat dia berjalan menuju dapur. Langkahnya tertahan saat  dia mendengar teriakan seorang wanita dari balik tembok pembatas. "Bagaimana bisa selir rendahan itu mendapat perlakuan istimewa di Istana Merah!?" Selir Parviz? Karen membatin. "Aku juga terluka dan  mereka mengobatiku di dalam kamar bukan membawaku di Istana Merah! Apa  istimewanya gadis itu? Aku selir tertinggi di sini! Kursi permaisuri ada  di tanganku! Apa-apaan ini!" Karen mengintip dari  ujung tembok dan melihat Selir Parviz memarahi dua prajurit penjaga  Istana Merah. Karen mengerutkan dahinya, melihat bagaimana kasarnya  wanita itu kala dia menampar keduanya dengan keras dan kedudukan tinggi  yang dimiliki Selir Parviz membuat kedua prajurit itu bungkam. "Dia tertusuk panah, Selir." "Oh, apa perlu aku menusuk diriku sendiri dan mereka membawaku ke Istana Merah sekarang?" Karen menggelengkan  kepalanya. Tidak habis pikir dengan perasaan dengki yang dimiliki Selir  Parviz. Kebenciannya pada selir lain jika berhasil menarik perhatian  sang raja membuatnya gila. Selir Parviz begitu terobsesi pada kedudukan permaisuri. Oh, ya dan siapa juga yang bisa menolak pesona Maritz Azada itu? Ah, Karen memukul kepalanya sendiri. Menyadari kebodohan pertamanya yang menyesatkan. Karen terkejut saat  langkah kaki Selir Parviz berhenti dan kini berdiri di depannya. Aura  wanita itu berapi-api siap melanjutkan perangnya. Karen menghela  napasnya, berbalik pergi menghindari pertikaian tapi tangannya  dicengkram hingga memerah. "Jangan sentuh aku!" Karen menepis tangan itu. "Kau tidak berhak menyentuhku dengan tangan kotormu!" Satu dorongan berhasil  dilakukan Selir Parviz hingga Karen terjatuh. Dua prajurit lain  mencoba mendekat, dan Selir Parviz menunjuk mereka dengan telunjuknya.  "Diam di sana!" "Bukan keinginanku untuk  datang ke Istana sialan ini! Kau, tidak berhak menyakitiku!" Karen  mencoba bangun dan dirinya berhasil. Membawa tubuhnya bangun dengan  kedua kakinya. "Lihat saja, kau pikir aku diam saja? Persetan dengan  status dan derajatmu. Aku muak denganmu!" Sebelum Selir Parviz  bisa membalas ucapannya, Karen melayangkan satu kepalan tangannya ke  wajah wanita itu hingga membuat tubuhnya tersungkur ke atas lantai  dengan keras. Membuat Istana Merah seketika gaduh saat beberapa prajurit  berlari mendekati mereka. "Kau seharusnya malu!" Karen berteriak. "Malu pada dirimu sendiri. Kau, bukan apa-apa tanpa marga keluargamu!" "Diam kau!" "Kau yang seharusnya  diam!" Karen kembali berteriak, memegang perutnya yang mulai nyeri.  "Lebih dari satu kali kau menamparku dan aku diam saja? Dengar Selir  Parviz, aku bukan malaikat yang begitu saja menerima perlakuan kasar  darimu dan memaafkanmu. Aku seorang pendendam," Karen menunjuk Selir  Parviz dengan telunjuknya. "Jika kau berani mencari masalah denagnku,  Hana atau Nisaka. Aku yang akan memukulmu dengan tanganku sendiri!" Karen mengusap dahinya.  Mengabaikan bagaimana kacaunya dirinya saat ini karena ikatan rambutnya  terlepas dan anak rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Karen  mendongak, mendapati Jenderal Kelas Satu yang terkejut bersama dengan  sang raja yang menonton mereka dengan seringai membuat Karen mendengus.  Karen melemparkan tatapan dinginnya sekali lagi sebelum berbalik  pergi. Meninggalkan Selir Parviz yang meringis kesakitan dibantu para  dayangnya. "Yang Mulia," Selir  Parviz memberi salam dengan wajah menahan sakit yang kentara. Azada  menatap wajah itu. Tatapan matanya turun ke bawah dan kembali pada wajah  sang selir dengan senyum sinis. "Apa pukulan gadis itu sakit?" "Sangat, Yang Mulia." "Apa kau merasa cemburu karena dirinya menarik perhatianku dan dirimu ..." "Tidak benar, Yang Mulia," Selir Parviz menggeleng dengan wajah panik. "Aku hanya ingin melihat kondisinya saja." "Ah, begitu?" Azada mengangkat  bahunya dengan wajah puas. "Aku masih ingin menonton pertunjukan itu  lebih lama lagi. Mungkin lain kali?" Azada mensejajarkan wajahnya  dengan Selir Parviz. "Obati lukamu." Dan pergi meninggalkannya. Membuat  Selir Parviz memegang dadanya yang tiba-tiba berdebar. "Wanita gila!" Zidan menatap Selir Parviz sesaat setelah mengumpat dan kemudian pergi. . . Azada membuka pintu  kamar saat hari mulai gelap dan mendapati Karen duduk bersandar di tepi  ranjang. Menatap lurus ke arah balkon yang terbuka dengan kedua tangan  terlipat di depan d**a. "Kau menghabiskan  makananmu," Azada tersenyum tipis menatap nampan yang kosong di atas  meja. Dia membuka jubahnya, menaruhnya di atas kursi dan duduk di tepi  ranjang. "Bagaimana adikku?" Azada mengangkat alisnya. "Apakah ini waktu yang tepat membahas adikmu?" "Aku menunggunya," Karen menghela napas. "Hanya ingin tahu." "Kau bisa bertemu dengannya," Azada menatap wajah Karen yang berbinar perlahan-lahan. "Lusa. Kau bisa bertemu dengannya lusa." Karen berdeham, menutupi rasa senangnya. "Yang Mulia, kau tidak berbohong padaku?" Azada menggeleng.  "Tidak. Kau bisa membunuhku dengan pedangku jika aku berbohong padamu,"  ada senyum yang terbit di wajah Karen. Tidak bisa menutupi bagaimana  senangnya gadis itu. "Akan ada perayaan bulan purnama. Adikmu akan  datang bersama pria yang menyekapnya. Kau bisa bertemu dengannya." "Kau akan membantuku?" Azada mengangguk. "Apa dia terluka? Dia makan dengan baik?" "Tanyakan padanya saat kalian bertemu." Karen mengangguk dengan  senyum kecil. Dia merapatkan kedua tangannya dan memejamkan matanya.  Berdoa. "Semoga adikku baik-baik saja dan kami bisa kembali ke rumah.  Jika dia terluka ..." Azada melihat ada mimik sedih di wajah cantik  itu. "Tidak, dia tidak akan terluka. Aku bisa mengorbankan nyawaku  untuknya jika dia terluka." Karen membuka matanya, mendapati wajah  Azada yang datar menatapnya. "Apa doaku terdengar aneh?" Azada menggeleng. Dia  menatap perban yang membalut perut Karen dan kembali pada wajahnya.  "Kau bilang akan mengorbankan apa saja untuk adikmu?" Karen mengangguk. "Juga Ezra, kakakku." Tatapan Azada mengeras  mendengar nama itu. Kemudian, Azada mendekat, membuat Karen terkejut  tapi dirinya tidak bisa melakukan apa-apa saat tangan kanan Azada  merayap ke belakang lehernya, memiringkan wajahnya hingga jarak mereka  terhapus dengan ciuman singkat. Karen memegang wajahnya  yang memerah. Dengan Azada yang masih menatapnya tajam. Karen mencoba  memberanikan diri menatapnya, membuat iris segelap malam itu ikut  menatapnya. "Kau tidak akan terluka lagi setelah ini," suaranya dalam  dan serak. Seperti janji pada sang kekasih hati. Karen mengerutkan  dahinya. Membalas ucapan Azada dengan lirih. "Aku tidak akan terluka  lagi." "Lebam di sudut bibirmu  menjelaskannya," Azada mengusap sudut bibir itu dengan ibu jarinya.  Penuh hati-hati. "Lebam ini terasa sakit?" "Ini sudah lebih baik." Karen merasa tubuhnya  terangkat hingga dia menutup rapat bibirnya saat dirinya berada di  pangkuan sang raja. Karen menatap Azada bingung dan bibir pria itu  kembali mencari-cari bibirnya, memagutnya lembut saat bertemu. Karen mengangkat kedua  tangannya, mencoba mengusap pipi dan rahang sang raja dengan lembut,  membuat Azada menggeram di sela-sela ciumannya dan pagutan bibirnya  semakin dalam. Membuat kedua pipi Karen merona. "Yang Mulia," Karen  menjauhkan wajahnya. Memanggil Azada dengan suara seraknya akibat  cumbuan mematikan dari sang raja padanya. Karen menatap Azada  dalam-dalam, mencoba menyuarakan pemikirannya yang kalut. "Apa kau juga akan membuangku ke belakang istana dan menjadikanku umpan burung pemakan bangkai?" Azada mengerutkan dahinya sebentar. Kemudian, dia tersenyum. "Tidak." Karen melebarkan matanya. "Kenapa?" "Kau ingin tahu?" Azada  merapatkan pelukannya, membuat Karen meremas lengannya dengan tangan  gemetar tetapi wajah gadis itu menyiratkan keingintahuannya yang besar.  Tatapan matanya tidak mengenal takut. "Kau terlalu berharga ..." "Tapi," "Saat perayaan bulan  purnama, aku akan mengumumkan pada anggota kerajaan dan dewan juga para  petinggi kerajaan yang lain tentang dirimu," Mata Karen melebar. "Tidak, aku ..." "Aku tidak akan menarik janjiku." "Ini berbahaya." "Mereka mati jika  menyentuhmu," Azada membuka matanya yang sempat terpejam. "Dunia harus  tahu siapa dirimu dan posisimu di Istana Kerajaan." "Aku akan mengabdi menjadi selir kerajaan dan tidak menduduki posisi tertinggi, Yang Mulia." "Juga pemanas ranjangku?" Wajah Karen merah padam. Azada terkekeh kecil. "Aku tetap pada  keputusanku," tatapan mata Azada menajam. Membungkam semua penolakan  yang tertahan di tenggorokan. Karen menunduk, mengangguk kecil saat  Azada tidak lagi mau berdebat dengannya. Karen merasa tubuhnya  terlentang di atas ranjang yang besar. Dia membuka matanya dan mendapati  mata gelap itu menatapnya dalam, menyatukan bibir mereka sekali lagi  saat Karen merasa Azada memegang kedua tangannya dan membawanya ke  lehernya, merasakan satu demi satu kancing kimono milik Karen terbuka  dan udara dingin menusuk bahu serta lengannya yang telanjang. Karen membuka matanya  saat Azada juga membuka ikatan baju tidurnya, membiarkan dadanya  terlihat sempurna tanpa melepasnya. Dia menyeringai saat Karen  menatapnya tanpa memalingkan wajahnya walau rona merah itu menjalar di  kedua pipinya. "Yang harus kau ingat hanya satu hal," Azada mendekatkan wajahnya. " ... milikku. Kau milikku." Karen memiringkan  wajahnya, tersenyum samar mendengar ucapannya saat Azada kembali  mendekatkan wajah mereka, menyatukan bibir mereka lebih dalam. Mencium  serta memeluknya dengan posesif.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN