Karen mengangkat kimono putihnya, mencoba berjalan menahan rasa di perutnya yang mulai membaik. Tabib Zaida benar-benar hebat. Dia bisa meracik dedaunan agar rasa sakit itu tidak bersarang terlalu lama di perutnya.
Karen melihat ke luar. Pemandangan Istana Merah yang indah dan terawat dan juga pembangunan Istana Bunga yang perlahan tapi pasti mulai terlihat separuh dari sisi bangunan yang hancur. Karen mencoba berjalan, memapaki jalan berkerikil dengan hati-hati.
"Dimana Nisaka .." Karen bergumam saat dia berjalan menuju dapur. Langkahnya tertahan saat dia mendengar teriakan seorang wanita dari balik tembok pembatas.
"Bagaimana bisa selir rendahan itu mendapat perlakuan istimewa di Istana Merah!?"
Selir Parviz? Karen membatin.
"Aku juga terluka dan mereka mengobatiku di dalam kamar bukan membawaku di Istana Merah! Apa istimewanya gadis itu? Aku selir tertinggi di sini! Kursi permaisuri ada di tanganku! Apa-apaan ini!"
Karen mengintip dari ujung tembok dan melihat Selir Parviz memarahi dua prajurit penjaga Istana Merah. Karen mengerutkan dahinya, melihat bagaimana kasarnya wanita itu kala dia menampar keduanya dengan keras dan kedudukan tinggi yang dimiliki Selir Parviz membuat kedua prajurit itu bungkam.
"Dia tertusuk panah, Selir."
"Oh, apa perlu aku menusuk diriku sendiri dan mereka membawaku ke Istana Merah sekarang?"
Karen menggelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan perasaan dengki yang dimiliki Selir Parviz. Kebenciannya pada selir lain jika berhasil menarik perhatian sang raja membuatnya gila. Selir Parviz begitu terobsesi pada kedudukan permaisuri.
Oh, ya dan siapa juga yang bisa menolak pesona Maritz Azada itu?
Ah, Karen memukul kepalanya sendiri. Menyadari kebodohan pertamanya yang menyesatkan.
Karen terkejut saat langkah kaki Selir Parviz berhenti dan kini berdiri di depannya. Aura wanita itu berapi-api siap melanjutkan perangnya. Karen menghela napasnya, berbalik pergi menghindari pertikaian tapi tangannya dicengkram hingga memerah.
"Jangan sentuh aku!" Karen menepis tangan itu. "Kau tidak berhak menyentuhku dengan tangan kotormu!"
Satu dorongan berhasil dilakukan Selir Parviz hingga Karen terjatuh. Dua prajurit lain mencoba mendekat, dan Selir Parviz menunjuk mereka dengan telunjuknya. "Diam di sana!"
"Bukan keinginanku untuk datang ke Istana sialan ini! Kau, tidak berhak menyakitiku!" Karen mencoba bangun dan dirinya berhasil. Membawa tubuhnya bangun dengan kedua kakinya. "Lihat saja, kau pikir aku diam saja? Persetan dengan status dan derajatmu. Aku muak denganmu!"
Sebelum Selir Parviz bisa membalas ucapannya, Karen melayangkan satu kepalan tangannya ke wajah wanita itu hingga membuat tubuhnya tersungkur ke atas lantai dengan keras. Membuat Istana Merah seketika gaduh saat beberapa prajurit berlari mendekati mereka.
"Kau seharusnya malu!" Karen berteriak. "Malu pada dirimu sendiri. Kau, bukan apa-apa tanpa marga keluargamu!"
"Diam kau!"
"Kau yang seharusnya diam!" Karen kembali berteriak, memegang perutnya yang mulai nyeri. "Lebih dari satu kali kau menamparku dan aku diam saja? Dengar Selir Parviz, aku bukan malaikat yang begitu saja menerima perlakuan kasar darimu dan memaafkanmu. Aku seorang pendendam," Karen menunjuk Selir Parviz dengan telunjuknya. "Jika kau berani mencari masalah denagnku, Hana atau Nisaka. Aku yang akan memukulmu dengan tanganku sendiri!"
Karen mengusap dahinya. Mengabaikan bagaimana kacaunya dirinya saat ini karena ikatan rambutnya terlepas dan anak rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Karen mendongak, mendapati Jenderal Kelas Satu yang terkejut bersama dengan sang raja yang menonton mereka dengan seringai membuat Karen mendengus. Karen melemparkan tatapan dinginnya sekali lagi sebelum berbalik pergi. Meninggalkan Selir Parviz yang meringis kesakitan dibantu para dayangnya.
"Yang Mulia," Selir Parviz memberi salam dengan wajah menahan sakit yang kentara. Azada menatap wajah itu. Tatapan matanya turun ke bawah dan kembali pada wajah sang selir dengan senyum sinis.
"Apa pukulan gadis itu sakit?"
"Sangat, Yang Mulia."
"Apa kau merasa cemburu karena dirinya menarik perhatianku dan dirimu ..."
"Tidak benar, Yang Mulia," Selir Parviz menggeleng dengan wajah panik. "Aku hanya ingin melihat kondisinya saja."
"Ah, begitu?"
Azada mengangkat bahunya dengan wajah puas. "Aku masih ingin menonton pertunjukan itu lebih lama lagi. Mungkin lain kali?" Azada mensejajarkan wajahnya dengan Selir Parviz. "Obati lukamu." Dan pergi meninggalkannya. Membuat Selir Parviz memegang dadanya yang tiba-tiba berdebar.
"Wanita gila!" Zidan menatap Selir Parviz sesaat setelah mengumpat dan kemudian pergi.
.
.
Azada membuka pintu kamar saat hari mulai gelap dan mendapati Karen duduk bersandar di tepi ranjang. Menatap lurus ke arah balkon yang terbuka dengan kedua tangan terlipat di depan d**a.
"Kau menghabiskan makananmu," Azada tersenyum tipis menatap nampan yang kosong di atas meja. Dia membuka jubahnya, menaruhnya di atas kursi dan duduk di tepi ranjang.
"Bagaimana adikku?"
Azada mengangkat alisnya. "Apakah ini waktu yang tepat membahas adikmu?"
"Aku menunggunya," Karen menghela napas. "Hanya ingin tahu."
"Kau bisa bertemu dengannya," Azada menatap wajah Karen yang berbinar perlahan-lahan. "Lusa. Kau bisa bertemu dengannya lusa."
Karen berdeham, menutupi rasa senangnya. "Yang Mulia, kau tidak berbohong padaku?"
Azada menggeleng. "Tidak. Kau bisa membunuhku dengan pedangku jika aku berbohong padamu," ada senyum yang terbit di wajah Karen. Tidak bisa menutupi bagaimana senangnya gadis itu. "Akan ada perayaan bulan purnama. Adikmu akan datang bersama pria yang menyekapnya. Kau bisa bertemu dengannya."
"Kau akan membantuku?"
Azada mengangguk.
"Apa dia terluka? Dia makan dengan baik?"
"Tanyakan padanya saat kalian bertemu."
Karen mengangguk dengan senyum kecil. Dia merapatkan kedua tangannya dan memejamkan matanya. Berdoa. "Semoga adikku baik-baik saja dan kami bisa kembali ke rumah. Jika dia terluka ..." Azada melihat ada mimik sedih di wajah cantik itu. "Tidak, dia tidak akan terluka. Aku bisa mengorbankan nyawaku untuknya jika dia terluka." Karen membuka matanya, mendapati wajah Azada yang datar menatapnya.
"Apa doaku terdengar aneh?"
Azada menggeleng. Dia menatap perban yang membalut perut Karen dan kembali pada wajahnya. "Kau bilang akan mengorbankan apa saja untuk adikmu?"
Karen mengangguk. "Juga Ezra, kakakku."
Tatapan Azada mengeras mendengar nama itu. Kemudian, Azada mendekat, membuat Karen terkejut tapi dirinya tidak bisa melakukan apa-apa saat tangan kanan Azada merayap ke belakang lehernya, memiringkan wajahnya hingga jarak mereka terhapus dengan ciuman singkat.
Karen memegang wajahnya yang memerah. Dengan Azada yang masih menatapnya tajam. Karen mencoba memberanikan diri menatapnya, membuat iris segelap malam itu ikut menatapnya. "Kau tidak akan terluka lagi setelah ini," suaranya dalam dan serak. Seperti janji pada sang kekasih hati. Karen mengerutkan dahinya. Membalas ucapan Azada dengan lirih. "Aku tidak akan terluka lagi."
"Lebam di sudut bibirmu menjelaskannya," Azada mengusap sudut bibir itu dengan ibu jarinya. Penuh hati-hati. "Lebam ini terasa sakit?"
"Ini sudah lebih baik."
Karen merasa tubuhnya terangkat hingga dia menutup rapat bibirnya saat dirinya berada di pangkuan sang raja. Karen menatap Azada bingung dan bibir pria itu kembali mencari-cari bibirnya, memagutnya lembut saat bertemu.
Karen mengangkat kedua tangannya, mencoba mengusap pipi dan rahang sang raja dengan lembut, membuat Azada menggeram di sela-sela ciumannya dan pagutan bibirnya semakin dalam. Membuat kedua pipi Karen merona.
"Yang Mulia," Karen menjauhkan wajahnya. Memanggil Azada dengan suara seraknya akibat cumbuan mematikan dari sang raja padanya. Karen menatap Azada dalam-dalam, mencoba menyuarakan pemikirannya yang kalut.
"Apa kau juga akan membuangku ke belakang istana dan menjadikanku umpan burung pemakan bangkai?"
Azada mengerutkan dahinya sebentar. Kemudian, dia tersenyum.
"Tidak."
Karen melebarkan matanya. "Kenapa?"
"Kau ingin tahu?" Azada merapatkan pelukannya, membuat Karen meremas lengannya dengan tangan gemetar tetapi wajah gadis itu menyiratkan keingintahuannya yang besar. Tatapan matanya tidak mengenal takut.
"Kau terlalu berharga ..."
"Tapi,"
"Saat perayaan bulan purnama, aku akan mengumumkan pada anggota kerajaan dan dewan juga para petinggi kerajaan yang lain tentang dirimu,"
Mata Karen melebar. "Tidak, aku ..."
"Aku tidak akan menarik janjiku."
"Ini berbahaya."
"Mereka mati jika menyentuhmu," Azada membuka matanya yang sempat terpejam. "Dunia harus tahu siapa dirimu dan posisimu di Istana Kerajaan."
"Aku akan mengabdi menjadi selir kerajaan dan tidak menduduki posisi tertinggi, Yang Mulia."
"Juga pemanas ranjangku?"
Wajah Karen merah padam. Azada terkekeh kecil.
"Aku tetap pada keputusanku," tatapan mata Azada menajam. Membungkam semua penolakan yang tertahan di tenggorokan. Karen menunduk, mengangguk kecil saat Azada tidak lagi mau berdebat dengannya.
Karen merasa tubuhnya terlentang di atas ranjang yang besar. Dia membuka matanya dan mendapati mata gelap itu menatapnya dalam, menyatukan bibir mereka sekali lagi saat Karen merasa Azada memegang kedua tangannya dan membawanya ke lehernya, merasakan satu demi satu kancing kimono milik Karen terbuka dan udara dingin menusuk bahu serta lengannya yang telanjang.
Karen membuka matanya saat Azada juga membuka ikatan baju tidurnya, membiarkan dadanya terlihat sempurna tanpa melepasnya. Dia menyeringai saat Karen menatapnya tanpa memalingkan wajahnya walau rona merah itu menjalar di kedua pipinya.
"Yang harus kau ingat hanya satu hal," Azada mendekatkan wajahnya. " ... milikku. Kau milikku."
Karen memiringkan wajahnya, tersenyum samar mendengar ucapannya saat Azada kembali mendekatkan wajah mereka, menyatukan bibir mereka lebih dalam. Mencium serta memeluknya dengan posesif.