6

1041 Kata
Azada membuka matanya saat sayup-sayup mendengar langkah kaki para prajurit Istana Kerajaan  berjalan untuk berpatroli setiap dini hari. Napasnya tertahan kala  dirinya mendapati sosok cantik yang tidur di dalam pelukannya dengan  berselimut sutra tebal. Tangan kanan Azada terulur mengambil sebuah belati di bawah bantal. Ujung belati yang tajam tampak berkilau tertimpa sinar lilin yang bergerak tertiup angin dari  jendela kamar yang terbuka. Tatapan matanya menggelap sesaat setelah belati itu sampai mengenai helai rambut indah wanitanya. Karen menggeliat di dalam tidurnya, kembali terlelap saat memperbaiki posisi tidurnya agar  lebih nyaman. Jarak tercipta di antara keduanya. Azada menahan tangannya tetap di udara dengan belati yang siap menusuk kapan saja. . . "Jadi ... bisa kau jelaskan kenapa kau akhirnya terbaring seperti ini?" Karen berkacak  pinggang, memberikan Nisaka tatapan menuduh yang kentara. Membuat gadis  bermata perak itu menunduk, merasa bersalah. "Dia duduk selama satu  hari penuh menunggu Putri Karen bangun. Kejadian itu ..." Suara Hana  terpotong saat Karen berlutut di samping ranjang mungil Nisaka,  memegang tangan gadis itu erat-erat dengan tatapan terluka. "Kau tidak  seharusnya lakukan itu, Nisaka." Mata Nisaka tampak  berkaca-kaca. Gadis itu menggeleng dengan tangan balas menggenggam erat.  "Tidak, Karen, aku ... itu salahku. Mereka, pemberontak itu mungkin  berkaitan dengan masalah yang dialami klanku akhir-akhir ini." "Mereka bisa saja melukaimu!" Nisaka mengangguk sedih.  "Membayangkannya membuatku takut dan kau ada di sana ... membuatku  lebih cemas dan saat anak panah itu ..." Karen mengibaskan  tangannya, tangannya terulur menghapus air mata yang timbul di sudut  mata peraknya. "Tidak apa. Semua sudah selesai. Istana Bunga sudah  kembali dan kehidupan akan berjalan lagi. Yang perlu kaulakukan adalah  melupakan mimpi buruk itu. Kau mengerti?" Nisaka mengangguk lemah. Karen menyunggingkan  senyum kecil. "Kau sudah lebih baik dan aku mencemaskanmu," Karen  melirik Hana. "Hana tidak berkata apa-apa tentang dirimu dan itu  membuatku lebih buruk sebagai temanmu," Karen mengusap pipi Nisaka yang  mulai timbul rona merah. "Berjanjilah untuk tidak melakukan hal bodoh  itu lagi. Banyak dari kami mengkhawatirkanmu." "Aah," Nisaka tersenyum. "Terima kasih." Karen mengangguk. Dia  memberi Hana sebuah isyarat gelengan kepala dan Hana mengerti. Dayang  itu segera membawa nampan berisi sarapan lengkap dengan sayur dan  buah-buahan segar. Nisaka menatap Hana bingung begitu juga dengan  Karen. "Aku menyuruh bagian  dapur untuk membuatkan masakan terbaik bagimu. Dan mereka menurutinya,"  Karen mendorong nampan itu di atas meja kecil. Membawa tubuh Nisaka  untuk bersandar pada bantal dan membantunya. "Habiskan. Aku dan Hana  akan di sini menemanimu." "Aku juga bosan," Karen  berbisik, tetapi Hana bisa mendengarnya. "Kau tahu Istana Kerajaan,  Istana Merah sama-sama membosankan. Aku lebih baik di sini bersama  temanku." Karen menoleh, menatap Hana yang tersenyum dan kembali pada  Nisaka yang ikut tersenyum bersamanya. . . Ayyara menatap pantulan  dirinya di cermin. Dirinya yang berbalut gaun indah dengan hiasan bunga  yang melingkar di atas kepalanya dan rambut pirang panjangnya terkepang  sempurna. Memakai anting dan kalung mutiara cantik berwarna biru muda  yang terang. Tapi mengapa semuanya terasa berat? "Berhentilah menghela napas, Putri," Suara wanita bercepol  yang berdiri di dekat pintu membuat Ayyara menoleh. Dia mengenalnya sebagai  Rin, dayang yang dihormati di istana ini setelah mengabdi pada kerajaan  sejak berumur dua belas tahun. Rin tampil sederhana layaknya dayang  pada umumnya. Yang membedakan hanya saja pakaiannya dengan dayang  lainnya yang lebih mencolok. "Aku berkali-kali  meminta tolong padamu untuk membawaku pergi dari neraka ini," Ayyara  menggeleng dengan wajah dingin. "Dan apa yang kaulakukan? Kupikir kita  teman?" Rin tersenyum kecil. Dia  menggeleng dengan senyum masih di wajah ayunya. "Aku berbicara santai  karena umur kita yang sama. Tetapi derajatmu jauh di atasku Putri. Dan  satu lagi, aku mengabdikan diri pada kerajaan ini. Tidak ada cara  untukmu pergi. Tidak ada." "Melewati gorong-gorong atau pintu bawah tanah?" "Itu konyol," Rin menggeleng kecil. "Berhentilah berpikir untuk pergi dari sini. Biarkan raja yang membawamu pergi." "Sampai kapan?" "Aku tidak tahu." Ayyara menatap pantulan  dirinya sekali lagi. Mendapati riasan di wajahnya sudah sempurna dan  segalanya sudah siap. Dia akan pergi ke Kerajaan Maritz di mana pesta  bulan purnama akan diadakan. Ayyara sendiri tidak tahu di antara puluhan  selir lainnya, kenapa harus dirinya? "Ayahmu berasal dari  klan Miura dan ibumu hanyalah pelayan dapur yang sudah mengabdikan  dirinya lebih dari setengah abad di sini," Ayyara berdiri dari kursinya.  Melangkah mendekati Rin dengan wajah dinginnya. "Tidakkah kau ingin  memberontak untuk lepas dari belenggu peraturan istana yang kejam?" Rin menatap Ayyara yang  menampilkan ekspresi tidak bersahabatnya. Gadis itu duduk di tepi  ranjang. Memainkan kedua kakinya yang berbalut kaus kaki bergantian.  "Dua puluh tahun aku hidup sebagai seorang bangsawan, aku tahu benar apa  yang dirasakan para dayang di istanaku." Rin menunduk, tidak mampu berkata apa-apa. "Aku tahu kau pasti  ingin hidup bebas seperti mereka di luar sana. Seperti para gadis di  luar sana," Ayyara tersenyum dengan kedua mata berkaca-kaca. "Kau  merindukan udara luar dan keluargamu," gadis bermata biru itu menunduk.  "Aku juga. Mimpiku selama dua puluh tahun untuk bebas dan berbaur  bersama gadis lainnya yang berusia sama denganku harus pupus karena  malam itu." "Bagaimana dengan Putri Karen?" Ayyara mengangkat  kepalanya. "Aku tidak tahu," Rin melihat ada lelehan air mata dari sudut  mata kirinya. "Dan aku ingin sekali menemuinya. Sekali saja. Hanya  sekali untuk tahu dia baik-baik saja." . . Malam perayaan tiba.  Karen berjalan menyusuri luar Istana Kerajaan yang sudah dihiasi  ratusan lampion beraneka warna dan menggantung di ranting-ranting pohon  dengan indah. Matanya lurus menatap lampion-lampion yang bergerak  tertiup angin. Langit penuh bintang juga menambah suasana menjadi lebih  tenang. Langkahnya terhenti saat melihat beberapa selir sudah berganti  pakaian mereka dan berdandan cantik malam ini. Sedangkan dirinya masih  memakai kimononya, belum berganti pakaian karena terlalu lama berada di  kamar Nisaka dan mengabaikan Hana yang sejak tadi membujuknya berganti  pakaian. "Apakah ini yang selalu  mereka lakukan saat perayaan bulan purnama?" Karen berjalan, mengangkat  kimononya bersama Hana yang setia di sisinya. "Benar, Putri," Hana  tersenyum melihat indahnya pemandangan di taman Istana Bunga yang  beraneka warna dan lampu hias. "Ini adalah saat terbaik di mana istana  terlihat lebih hidup." Karen menatap Hana, melihat senyum di wajah gadis itu membuatnya tersenyum. "Ah, kau menyukainya?" Hana mengangguk. "Lampion itu sangat cantik." "Aku dan adikku juga  menyukainya," Karen tiba-tiba tersenyum pedih. Dia menggelengkan  kepalanya, berusaha fokus untuk sementara waktu saat Hana melangkah  lebih dulu di depannya, memberi salam pada Selir Parviz yang sudah  tampil sempurna di depannya. "Salam, Selir Parviz." Hana menunduk agak dalam  saat Selir Parviz melangkah begitu saja tanpa menjawab sapaannya.  Karen memutar matanya, melirik Selir Parviz yang juga melewatinya  dalam diam. "Tidak usah  menghormatinya seperti itu. Wanita sombong itu benar-benar tidak tahu  diri," Karen kembali berjalan bersama Hana menuju kamarnya. Beberapa  kali berpapasan dengan selir lainnya yang tampak sibuk merias diri  mereka secantik mungkin. Ah, perayaan macam apa ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN