Azada membuka matanya saat sayup-sayup mendengar langkah kaki para prajurit Istana Kerajaan berjalan untuk berpatroli setiap dini hari. Napasnya tertahan kala dirinya mendapati sosok cantik yang tidur di dalam pelukannya dengan berselimut sutra tebal.
Tangan kanan Azada terulur mengambil sebuah belati di bawah bantal. Ujung belati yang tajam tampak berkilau tertimpa sinar lilin yang bergerak tertiup angin dari jendela kamar yang terbuka. Tatapan matanya menggelap sesaat setelah belati itu sampai mengenai helai rambut indah wanitanya.
Karen menggeliat di dalam tidurnya, kembali terlelap saat memperbaiki posisi tidurnya agar lebih nyaman. Jarak tercipta di antara keduanya. Azada menahan tangannya tetap di udara dengan belati yang siap menusuk kapan saja.
.
.
"Jadi ... bisa kau jelaskan kenapa kau akhirnya terbaring seperti ini?"
Karen berkacak pinggang, memberikan Nisaka tatapan menuduh yang kentara. Membuat gadis bermata perak itu menunduk, merasa bersalah.
"Dia duduk selama satu hari penuh menunggu Putri Karen bangun. Kejadian itu ..." Suara Hana terpotong saat Karen berlutut di samping ranjang mungil Nisaka, memegang tangan gadis itu erat-erat dengan tatapan terluka. "Kau tidak seharusnya lakukan itu, Nisaka."
Mata Nisaka tampak berkaca-kaca. Gadis itu menggeleng dengan tangan balas menggenggam erat. "Tidak, Karen, aku ... itu salahku. Mereka, pemberontak itu mungkin berkaitan dengan masalah yang dialami klanku akhir-akhir ini."
"Mereka bisa saja melukaimu!"
Nisaka mengangguk sedih. "Membayangkannya membuatku takut dan kau ada di sana ... membuatku lebih cemas dan saat anak panah itu ..."
Karen mengibaskan tangannya, tangannya terulur menghapus air mata yang timbul di sudut mata peraknya. "Tidak apa. Semua sudah selesai. Istana Bunga sudah kembali dan kehidupan akan berjalan lagi. Yang perlu kaulakukan adalah melupakan mimpi buruk itu. Kau mengerti?"
Nisaka mengangguk lemah.
Karen menyunggingkan senyum kecil. "Kau sudah lebih baik dan aku mencemaskanmu," Karen melirik Hana. "Hana tidak berkata apa-apa tentang dirimu dan itu membuatku lebih buruk sebagai temanmu," Karen mengusap pipi Nisaka yang mulai timbul rona merah. "Berjanjilah untuk tidak melakukan hal bodoh itu lagi. Banyak dari kami mengkhawatirkanmu."
"Aah," Nisaka tersenyum. "Terima kasih."
Karen mengangguk. Dia memberi Hana sebuah isyarat gelengan kepala dan Hana mengerti. Dayang itu segera membawa nampan berisi sarapan lengkap dengan sayur dan buah-buahan segar. Nisaka menatap Hana bingung begitu juga dengan Karen.
"Aku menyuruh bagian dapur untuk membuatkan masakan terbaik bagimu. Dan mereka menurutinya," Karen mendorong nampan itu di atas meja kecil. Membawa tubuh Nisaka untuk bersandar pada bantal dan membantunya. "Habiskan. Aku dan Hana akan di sini menemanimu."
"Aku juga bosan," Karen berbisik, tetapi Hana bisa mendengarnya. "Kau tahu Istana Kerajaan, Istana Merah sama-sama membosankan. Aku lebih baik di sini bersama temanku." Karen menoleh, menatap Hana yang tersenyum dan kembali pada Nisaka yang ikut tersenyum bersamanya.
.
.
Ayyara menatap pantulan dirinya di cermin. Dirinya yang berbalut gaun indah dengan hiasan bunga yang melingkar di atas kepalanya dan rambut pirang panjangnya terkepang sempurna. Memakai anting dan kalung mutiara cantik berwarna biru muda yang terang. Tapi mengapa semuanya terasa berat?
"Berhentilah menghela napas, Putri,"
Suara wanita bercepol yang berdiri di dekat pintu membuat Ayyara menoleh. Dia mengenalnya sebagai Rin, dayang yang dihormati di istana ini setelah mengabdi pada kerajaan sejak berumur dua belas tahun. Rin tampil sederhana layaknya dayang pada umumnya. Yang membedakan hanya saja pakaiannya dengan dayang lainnya yang lebih mencolok.
"Aku berkali-kali meminta tolong padamu untuk membawaku pergi dari neraka ini," Ayyara menggeleng dengan wajah dingin. "Dan apa yang kaulakukan? Kupikir kita teman?"
Rin tersenyum kecil. Dia menggeleng dengan senyum masih di wajah ayunya. "Aku berbicara santai karena umur kita yang sama. Tetapi derajatmu jauh di atasku Putri. Dan satu lagi, aku mengabdikan diri pada kerajaan ini. Tidak ada cara untukmu pergi. Tidak ada."
"Melewati gorong-gorong atau pintu bawah tanah?"
"Itu konyol," Rin menggeleng kecil. "Berhentilah berpikir untuk pergi dari sini. Biarkan raja yang membawamu pergi."
"Sampai kapan?"
"Aku tidak tahu."
Ayyara menatap pantulan dirinya sekali lagi. Mendapati riasan di wajahnya sudah sempurna dan segalanya sudah siap. Dia akan pergi ke Kerajaan Maritz di mana pesta bulan purnama akan diadakan. Ayyara sendiri tidak tahu di antara puluhan selir lainnya, kenapa harus dirinya?
"Ayahmu berasal dari klan Miura dan ibumu hanyalah pelayan dapur yang sudah mengabdikan dirinya lebih dari setengah abad di sini," Ayyara berdiri dari kursinya. Melangkah mendekati Rin dengan wajah dinginnya. "Tidakkah kau ingin memberontak untuk lepas dari belenggu peraturan istana yang kejam?"
Rin menatap Ayyara yang menampilkan ekspresi tidak bersahabatnya. Gadis itu duduk di tepi ranjang. Memainkan kedua kakinya yang berbalut kaus kaki bergantian. "Dua puluh tahun aku hidup sebagai seorang bangsawan, aku tahu benar apa yang dirasakan para dayang di istanaku."
Rin menunduk, tidak mampu berkata apa-apa.
"Aku tahu kau pasti ingin hidup bebas seperti mereka di luar sana. Seperti para gadis di luar sana," Ayyara tersenyum dengan kedua mata berkaca-kaca. "Kau merindukan udara luar dan keluargamu," gadis bermata biru itu menunduk. "Aku juga. Mimpiku selama dua puluh tahun untuk bebas dan berbaur bersama gadis lainnya yang berusia sama denganku harus pupus karena malam itu."
"Bagaimana dengan Putri Karen?"
Ayyara mengangkat kepalanya. "Aku tidak tahu," Rin melihat ada lelehan air mata dari sudut mata kirinya. "Dan aku ingin sekali menemuinya. Sekali saja. Hanya sekali untuk tahu dia baik-baik saja."
.
.
Malam perayaan tiba. Karen berjalan menyusuri luar Istana Kerajaan yang sudah dihiasi ratusan lampion beraneka warna dan menggantung di ranting-ranting pohon dengan indah. Matanya lurus menatap lampion-lampion yang bergerak tertiup angin. Langit penuh bintang juga menambah suasana menjadi lebih tenang. Langkahnya terhenti saat melihat beberapa selir sudah berganti pakaian mereka dan berdandan cantik malam ini. Sedangkan dirinya masih memakai kimononya, belum berganti pakaian karena terlalu lama berada di kamar Nisaka dan mengabaikan Hana yang sejak tadi membujuknya berganti pakaian.
"Apakah ini yang selalu mereka lakukan saat perayaan bulan purnama?" Karen berjalan, mengangkat kimononya bersama Hana yang setia di sisinya. "Benar, Putri," Hana tersenyum melihat indahnya pemandangan di taman Istana Bunga yang beraneka warna dan lampu hias. "Ini adalah saat terbaik di mana istana terlihat lebih hidup."
Karen menatap Hana, melihat senyum di wajah gadis itu membuatnya tersenyum. "Ah, kau menyukainya?"
Hana mengangguk. "Lampion itu sangat cantik."
"Aku dan adikku juga menyukainya," Karen tiba-tiba tersenyum pedih. Dia menggelengkan kepalanya, berusaha fokus untuk sementara waktu saat Hana melangkah lebih dulu di depannya, memberi salam pada Selir Parviz yang sudah tampil sempurna di depannya.
"Salam, Selir Parviz."
Hana menunduk agak dalam saat Selir Parviz melangkah begitu saja tanpa menjawab sapaannya. Karen memutar matanya, melirik Selir Parviz yang juga melewatinya dalam diam.
"Tidak usah menghormatinya seperti itu. Wanita sombong itu benar-benar tidak tahu diri," Karen kembali berjalan bersama Hana menuju kamarnya. Beberapa kali berpapasan dengan selir lainnya yang tampak sibuk merias diri mereka secantik mungkin.
Ah, perayaan macam apa ini?