Dira mengusap wajahnya begitu Ethan pergi. Jantungnya masih berdentam mengerikan bahkan setelah kepergian pria itu. Ia menarik napas dalam berkali-kali untuk menenangkan syarafnya yang tegang.
Ia dan Etahn belum bercerai? Bagaimana bisa? Bukankah pengacaranya waktu itu mengatakan kalau Ethan setuju dan sudah menandatanganinya? Lalu kenapa pria itu bilang mereka masih suami istri?
Selama 5 tahun bersembunyi dari pria itu nyatanya tidak membuat perasaannya terhadap ayah putranya berubah. Dira menyentuh dadanya, tepat di mana jantungnya berada. Bahkan sekarang ia masih menginginkan Ethan dan merindukan pria itu. Ia masih begitu muda ketika memutuskan untuk menikah dengan Ethan. Dulu dunianya berwarna dan penuh tawa, tapi itu sebelum ia menyadari kalau hubungannya dengan Ethan sangat rapuh dan dangkal. Ia menginginkan cinta, tapi pria itu tidak dan yang lebih buruk…
Dira mengusir bayangan mengerikan itu dari benaknya. Tidak ada gunanya mengingat kembali luka yang membuatnya memilih menjauh dan menghilang. Semua sudah berlalu. Dira tidak menemukan ada kebaikan jika mengingat alasan yang membuatnya meninggalkan pria itu.
Dan sekarang ada Noah.
Putra mereka yang cerdas dan menggemaskan.
Ia memang salah karena menyembunyikan kehadiran putra mereka, tapi Dira tidak pernah mengerti kenapa Ethan harus semarah itu? Sejak dulu Ethan tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada anak kecil. Malah ia melihat reaksi Ethan terhadap anak kecil cukup kaku dan berjarak. Dira belum pernah melihat Ethan senang dengan kehadiran anak kecil.
Tapi bukan berarti itu bisa dijadikan alasan untuk menyembunyikan Noah.
Dira mengusap sudut matanya. Dan sekarang ia harus bersiap menghadapi kemarahan dan kebencian pria itu.
“Mommy!”
Teriakan bernada protes itu menarik Dira ke dunia nyata. Ia memperbaiki ekspresi wajahnya sebelum menemui putranya yang sekarang menatap televisi dengan wajah bosan.
“’Hai Sayang,” ucapnya lembut, mengecup puncak kepala putranya.
“Aku akan berjaga di depan.” Gen melenggang pergi, meninggalkan Dira dengan putranya.
“Terima kasih Gen, aku akan menyusul setelah menidurkannya.”
Dira menunggu sampai Gen menghilang dari pandangan sebelum kembali memusatkan perhatian pada putra kecilnya, replika dari Ethan.
“Sekarang waktunya tidur siang, Sayang.”
“Bagaimana dengan kartunnya, Mommy?”
Dira menggendong putranya dan membawanya ke kamar. “Kan tadi sudah ditemani sama Mbak Gen, sekarang waktunya istirahat.”
“Apa Mommy akan membacakan Noah dongeng?”
“Tentu saja.”
Dira ikut berbaring di samping putranya. Ia menarik buku yang ada di samping ranjang dan mulai membacakan cerita untuk putranya.
***
Tidak ada tanda-tanda kedatangan Ethan dan Dira mulai gelisah karenanya. Apa pria itu menyerah? Dira sangat meragukannya. Sebagai pebisnis Ethan orang yang ambisius dan penuh tekad dan ia ragu pria itu akan menyerah semudah itu. Lalu kenapa sampai sekarang Ethan tidak menunjukkan diri?
Dira menatap jam dinding di tokonya. Masih jam 10 pagi, mungkin saja Ethan belum bangun? Tidak adanya tindakan pria itu justru membuat tingkat kegelisannya semakin memuncak. Dira membersihkan tokonya hanya kerana ia butuh melakukan sesuatu.
“Dira.”
Seruan itu membuatnya berbalik. “Bu Hani,” serunya, menatap wanita pemilik gedung yang ia sewa dengan keheranan.
“Bagaimana tokomu? Baik-baik saja semua?”
Dira mengangguk. “Sejauh ini sudah lumayan. Apa Ibu datang hanya untuk menanyakan hal itu?” tanyanya memastikan. Dira sudah membayar sewa selama 1 tahun penuh. Rasanya tidak mungkin wanita paruh baya itu datang untuk menagihnya.
“Bisa kita bicara di dalam?”
Meski bingung Dira mengangguk. Ia membawa induk semangnya duduk di salah satu kursi yang ia sediakan bagi para pembeli.
“Apa teradi sesuatu?” tanyanya begitu keduanya duduk nyaman.
Bu Hani yang biasanya selalu ramah dan berkepribadian menyenangkan itu tampak gelisah dan tidak nyaman. Lipatan di kening Dira melebar melihatnya. Ada yang salah, pikirnya.
“Kurasa kalian harus pindah dari sini.”
Dira mengerjap, yakin pendengarannya bermasalah.
“Apa Bu?” tanyanya memastikan.
Bu Hani mendongak, kali ini memberanikan diri menatap wajah Dira.
“Seseorang sudah membeli gedung ini, Dira dan dia ingin penghuni lama yang berarti kalian angkat kaki dari tempat ini secepatnya. Paling lambat besok.”
Dira berdiri, syok mendengarnya. “Saya sudah membayar biaya sewa ini selama setahun,” pekiknya terkejut. “Dan ini belum setahun,” tambahnya.
“Aku tahu, itu sebabnya aku akan mengembalikan semua uangmu, Dira. Semuanya.”
“Kenapa tiba-tiba?” tanyanya bingung. Membayangkan mereka harus pergi dari tempat ini sudah cukup membuatnya panik dan sekarang bukan hanya pergi Dira juga harus segera menemukan tempat jika tidak ingin hidup menggelendang. Dira memijit pelipisnya, mencoba menenangkan diri meski rasanya mustahil.
Ia dan putranya menyukai tempat ini, pikirnya sedih.
Di sini nyaman dan sepi, suasana yang benar-benar ia butuhkan.
“Ada seorang pembeli yang tertarik dengan gedung ini, dia membelinya dengan sangat mahal dan aku langsung menyetujuinya. Bagaimana pun aku membutuhkan uang itu. Kau tahu sendiri, anakku sebentar lagi akan masuk perguruan tinggi. Kami butuh uang untuk biaya sekolah dan lainnya.”
Dira tidak benar-benar mendengarkannya. Membayangkan harus angkat kaki sudah cukup membuatnya kalang kabut. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Sebua ide tiba-tiba terbesit di benaknya. Dira menatap induk semangnya lekat.
“Siapa yang membeli gedung ini?” tanyanya. Mungkin ia bisa minta tolong pada pemilik baru yang sekarang agar memberi mereka sedikit waktu sampai ia menemukan tempat yang cocok.
“Dia…”
Suara mobil yang meraung membuat keduanya menoleh. Dira bahkan tidak perlu mengangkat kepala untuk mencari tahu siapa pemilik mobil tersebut. Hanya satu orang yang memiliki mobil mahal di tempat kumuh ini.
Dira menahan napas saat melihat Ethan keluar mobil dengan penuh gaya. Kekuasaan dan keangkuhan memancar dari tubuhnya seperti lampu jalan. Ethan adalah satu dari sedikit pria yang bisa membuat seseorang merasa terintimidasi hanya dengan menatapnya. Jantungnya yang malang bahkan tidak bisa menyelamatkannya. Tapi kata-kata berikutnya yang ia dengar membuat kemarahannya tersulut.
“Pria itu yang membeli gadung ini Dira. Namanya Ethan.”
Tidak mungkin!