BAB 2

746 Kata
Tatapan Ethan begitu tajam sampai-sampai Dira bisa merasaka lututnya tiba-tiba goyah. Ia harus berpegangan pada kusen pintu agar tidak jatuh. “Katakan Dira, bukan kebetulan anak itu bermata biru dan bukan kebetulan jika anak itu berumur 4 tahun!” Dira tersentak mendengar kemarahan mendidih Ethan. Mata birunya begitu gelap seolah Ethan ingin menelannya hidup-hidup. Dira memejamkan mata. Ia tahu rahasia ini tidak mungkin bertahan selamanya, tapi ia tidak pernah menduga bahwa pria itu akan tahu dengan cara seperti ini. “Se-sebaiknya kita bicara di dalam.” Ethan sudah akan menolak. Namun, di detik terakhir ia berjalan mengikuti wanita itu. Rasanya seolah ada yang ingin meledak dalam dirinya. Kenyataan yang baru saja ia temukan berhasil menguras habis kesabarannya. Kedua tangannya terkepal erat saat Dira membawa Ethan menuju dapur. “Biarkan pintunya tetap terbuka!” tekannya dengan gigi gemertak. “Tapi…” “Kubilang biarkan pintunya tetap terbuka!” Dira mendesah, menuruti keinginan Ethan setengah hati. Ia hanya berharap putranya tidak akan mendengar pembicaraan ini. “Jadi katakan apa yang sebenarnya terjadi.” Kata-kata itu diucapkan dengan begitu dingin dan tajam hingga sesaat yang mengerikan Dira benar-benar ingin melarikan diri. Ia memilin-milin jarinya, pasrah pada ledakan kemarahan yang sebentar lagi akan Ethan limpahkan padanya. “Dia memang anakmu.” Saat kalimat itu terucapkan tercipta keheningan yang membekukan udara. Jika sebelumnya tatapan Ethan begitu dingin sekarang bahkan lebih dingin lagi hingga Dira berpikir benua antartika tidak ada apa-apanya dengan tatapan menusuk Ethan. “Wanita sialan!” “Aku tidak—“ “Jangan mengatakan apa pun!” geram Ethan. Matanya melotot. “Satu kata lagi dari mulutmu aku mungkin akan melakukan sesuatu yang membuatku menyesal, jadi tutup mulutmu!” Ethan berjalan mondar-mandir. Tubuhnya kaku dan tegang. Rahangnya mengeras dan otot-otot di wajahnya mencuat. Jika saja tatapan bisa membunuh saat ini Dira pasti sudah mati karenanya. “Satu pertanyaan,” ujar Ethan kaku, menatap Dira tepat di matanya. Tidak ada emosi di mata biru itu selain kemarahan yang bisa membuat udara berderak. “Apa ini alasanmu melarikan diri dariku? Untuk menyembunyikan putraku?” tekannya emosi. “Tidak, tentu saja tidak.” Tapi Ethan sama sekali tidak memercayainya. “Jika hari ini aku tidak datang, apa aku tidak akan pernah tahu tentang anak itu? Putraku sendiri?” Dira membuka mulut, menutupnya, dan membukanya kembali. “Aku… aku tidak tahu.” “Dasar wanita b******k!” Makian itu sudah cukup menyulut kemarahan Dira. Keberaniannya muncul. “Kau bilang kau tidak menginginkannya!” tekan Dira marah. “Kapan aku mengatakannya?” “Kau bahkan tidak ingat hal itu bukan? Selalu hanya aku yang mengingat semuanya! Itu yang kau katakan sejak awal pernikahan kita. Kau. Tidak. Menginginkan. Anak. Sejak awal pernikahan kita itu yang selalu kau ingatkan!” Ethan melangkah maju dengan kemarahan dan kekejaman yang membuat Dira tanpa sadar mengambil langkah mundur. “Alasan itu tidak bisa membenarkan tindakanmu, Dira. Dia putraku, entah aku menginginkannya atau tidak bukankah seharusnya aku berhak mengetahui kalau aku memiliki seorang putra? Dan menurutmu apa yang akan kulakukan seandainya tahu kau hamil? Menyuruhmu membunuhnya mungkin? Kau selalu berpikiran yang terburuk tentangku bukan?” Dira terpojok. Ia tidak bisa mundur lagi sekarang. Dengan berpegangan pada tepi meja yang ada di belakangnya Dira membalas ucapan Ethan. “Kau hanya peduli pada dirimu sendiri, kau tidak pernah peduli pada siapapun,” balasnya pahit. “Dan alasan itu memberimu hak untuk bertindak sebagai Tuhan antara aku dan putraku?” Dira mendongak, memberanikan diri menatap Ethan. “Ethan kumohon,” bisiknya tercekat. “Sekarang bukan waktu yang tepat, Noah akan mencariku. Aku… kita bisa membicarakan ini di tempat lain. Aku akan…” “Mommy, kapan kita akan menonton kartun kesukaanku?” Noah tiba-tiba muncul. Anak berusia 4 tahun itu mengerjap, menatap Dira dan Ethan bergantian. “Dia siapa Mommy?” Satu alis Ethan terangkat angkuh, menantang Dira. Dira menelan ludah yang rasanya seolah menelan duri. Ia berjongkok, mengusap kepala putranya. “Dia teman,” balasnya, bisa merasakan dingin yang menusuk tulang belakangnya. “Kenapa dia belum pulang Mommy?” “Sebentar lagi dia akan pulang, iya kan?” Dira menatap Ethan dengan tatapan memohon, tapi jika pria itu melihatnya ia memutuskan untuk mengabaikannya. “Pergilah, Mommy akan datang sebentar lagi.” “Okkey Mommy,” balas bocah menggemaskan itu riang, meninggalkan Dira begitu saja. Dira tidak berani menatap Ethan, sama sekali tidak berani. “Ini belum selesai, Dira,” bisik Ethan mendesis. “Aku akan kembali dan kuharap saat itu kau punya alasan yang cukup masuk akal agar aku tidak perlu mencekikmu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN