CHAPTER 7

3202 Kata
Sagita benar-benar tidak menyangka Orion akan menyelamatkannya. Pada awalnya dia mengira akan mati tenggelam. Memang benar, sambil meronta-ronta Sagita terus memanggil nama Orion, tapi dia memanggil Orion di dalam hatinya karena suaranya tidak bisa keluar ketika nyaris tenggelam tadi. Sagita heran, bagaimana bisa Orion menyadari keberadaannya yang nyaris tenggelam itu, padahal jarak mereka cukup jauh? Mungkinkah panggilan hatinya berhasil sampai pada Orion sehingga mendengarnya?            "Kau baik-baik saja?" Pertanyaan dari wanita itu telah mengembalikan kesadaran Sagita dari lamunan panjangnya.            "Iya, aku baik-baik saja. Terima kasih atas bantuanmu," Sagita menyahut. Dirinya kini sedang berbaring di tempat tidur karena tubuhnya masih terasa lemas efek tenggelam tadi.            "Orion sedang mencari makanan, sebentar lagi dia akan kembali."            Wanita itu sangat baik dan ramah. Berkat perkataannya, Orion berhenti memarahi Sagita. Sagita semakin penasaran ingin mengetahui hubungan wanita itu dengan Orion. Tapi rasa takut mendengar kenyataan yang mungkin saja akan menyakiti hatinya, membuat Sagita mengurungkan niat untuk menanyakannya.             "Kau pasti bertanya-tanya aku ini siapa, benar, kan?" Sagita terbelalak, tubuhnya tiba-tiba menegang di tempat karena wanita itu yang bisa menebak dengan tepat isi di dalam hati dan pikirannya.            Wanita itu terkekeh, melihat reaksi Sagita yang kentara berubah panik dan salah tingkah, "Tidak perlu terkejut begitu, hanya dengan melihat wajahmu dan cara kau menatapku, aku tahu kau penasaran ingin mengetahui hubunganku dengan Orion.” Dia yang sejak tadi berdiri di dekat pintu sambil menyandarkan punggung pada dinding, tiba-tiba berjalan menghampiri dan duduk di pinggir ranjang, tak jauh dari Sagita sedang berbaring.  “Aku akan memperkenalkan diri padamu.” Wanita itu mengulurkan tangan kanannya pada Sagita yang masih mematung di tempat. “Namaku, Livia. Aku dan Orion ... kami sedang berpacaran."  Sebenarnya Sagita sudah menduganya, tapi dia tidak menyangka rasa sakit dalam hatinya sebesar itu hanya karena mendengarnya langsung dari mulut si wanita yang kini Sagita ketahui bernama Livia.             "Se-Sejak kapan kalian berpacaran?" Tanya Sagita dengan kepala tertunduk, dia hanya menatap kesepuluh jemarinya yang saling meremas di balik selimut.            "Sudah lama. Sejak kami masih duduk di bangku SMA."            Mendengar pengakuan Livia, seketika Sagita merasa takjub. Mereka mampu mempertahankan hubungan selama itu. Sudah dapat dipastikan, Sagita tidak memiliki ruang di antara mereka berdua. Sagita sangat menyadari seharusnya tidak pernah hadir di tengah-tengah mereka. Sebagai sesama wanita, dia bisa memahami perasaan Livia saat ini. Livia yang sudah lama berpacaran dengan Orion pasti merasakan rasa sakit yang jauh lebih besar dibandingkan rasa sakit yang dirasakan Sagita. Sagita juga menyadari rasa sakitnya ini tidak sebanding dengan rasa sakit yang dirasakan Livia. Andai Sagita tahu sejak awal bahwa Orion sudah memiliki kekasih, dia pasti akan langsung menolak perjodohan itu. Sagita tidak ingin menjadi perebut kekasih orang lain. Tapi apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur. Mereka sudah terlanjur menikah dan tak mungkin bisa dibatalkan.            "Maafkan aku," ucap Sagita, tulus dari hatinya. Dia kini benar-benar bersimpati pada Livia.            "Kenapa kau meminta maaf, Sagita?" Livie menyahut dengan kening yang mengernyit.             "Hatimu pasti sakit sekali karena melihat Orion menikah denganku."            Livia mendengus, tatapannya menerawang pada jendela yang sengaja dibiarkan terbuka agar udara segar dari luar bisa masuk ke dalam kamar. "Iya. Pada awalnya, aku memang merasa sakit hati, tapi aku tahu Orion tidak mungkin mengkhianatiku. Aku tahu dia sangat mencintaiku, jadi tidak mungkin dia tertarik pada wanita lain. Sejak dulu aku selalu mempercayainya. Lagi pula pernikahan kalian hanya sebuah kesepakatan, bukan?"  Sagita terkejut bukan main mendengar ucapan Livia, rupanya Orion telah menceritakan semua padanya. Bukankah Orion sendiri yang menyuruh mereka untuk merahasiakan hal ini dari orang lain? Tapi kenapa dia mengingkari ucapannya sendiri dan menceritakan hal ini pada Livia? Meskipun Sagita sangat kesal pada Orion, tapi dia bisa mengerti alasan Orion menceritakan hal ini pada Livia. Jika Sagita berada di posisi Orion, dia pun akan melakukan hal yang sama. Rasa kesal itu pun hilang begitu saja setelah Sagita menyadari hal itu.            "Sagita, aku juga mempercayaimu.” Sagita yang sedang melamun itu, tersentak kaget begitu suara Livia kembali merasuki indera pendengarannya. Dia pun mendongak, memakukan tatapannya pada Livia yang juga sedang menatapnya.  “Aku percaya kau tidak mungkin mengkhianatiku. Kau menikah dengan Orion karena terpaksa, sama halnya dengan Orion yang terpaksa menikahimu, bukan? Sekarang kau tahu bahwa Orion itu milikku, jadi kau tidak akan merebut dia dariku atau jatuh cinta padanya, kan?"            Entah jawaban apa yang harus Sagita berikan pada Livia, karena sebenarnya Sagita memang telah mengkhianati Livia. Tidak mungkin Sagita mengakui di depan Livia bahwa saat ini dia telah jatuh cinta pada kekasihnya.            "Sagita, aku benar kan karena menaruh kepercayaan padamu?" Tanya Livia, karena Sagita yang hanya diam membisu tanpa meresponnya.             Sagita menganggukan kepala disertai senyum tipis yang dipaksakan, "I-Iya. Tentu saja," jawabnya.            "Terima kasih, Sagita."            Sagita kembali dibuat tersentak ketika Livia tiba-tiba memeluk Sagita dengan erat. Livia memang wanita yang baik hati membuat Sagita semakin merasa bersalah padanya. Sagita membalas pelukan Livia dan bertekad di dalam hatinya, dia akan berusaha untuk melupakan rasa cintanya pada Orion.    ***              Sejak kejadian hari itu, Sagita selalu ikut serta ke mana pun Orion dan Livia pergi. Sebenarnya Sagita tidak ingin hadir di tengah-tengah mereka, tapi Livia terus memaksa agar gadis itu ikut serta dengan mereka. Sikap bersahabat yang ditunjukan Livia, membuat Sagita tidak berani menolaknya.            Seperti hari ini, mereka bertiga sedang berjalan-jalan mengelilingi pedesaan yang ada di pulau. Di pusat desa sangat ramai, banyak orang yang berjualan di sana. Sagita jadi teringat pada ibu paruh baya yang ditemuinya kemarin. Ibu itu merekomendasikan tempat warga desa berjualan makanan dan souvenir, kini mereka bertiga sedang berada di tempat yang disebutkan sang ibu.  Yang Sagita lakukan sekarang hanyalah mengikuti Orion dan Livia yang berjalan sambil bergandengan tangan di depannya. Hati Sagita bagaikan ditusuk belati tajam setiap kali melihat kemesraan mereka. Livia tidak segan-segan memeluk atau mengecup Orion di depan Sagita, dan Orion pun terlihat tidak mempedulikan Sagita, seakan-akan sosok gadis itu tidak ada bagi mereka.            "Orion, coba lihat! Indah sekali gelang itu." Livia mendekati seorang penjual gelang yang terbuat dari kerang laut. Orion dan Sagita tentu saja mengikutinya melihat gelang-gelang itu.            "Apa kau menginginkan gelang itu?" Orion bertanya dan Livia meresponnya dengan anggukan penuh semangat.           "Pilihlah yang kau suka."            "Kau saja yang pilihkan untukku, Orion," pinta Livia dengan manja.            Orion tersenyum kecil, dengan gemas dia menyentil ujung hidung Livia membuat gadis itu memberengut, pura-pura merajuk. Sagita memalingkan wajahnya ke arah lain, tak sanggup lagi melihat kedekatan mereka.  "Hm, baiklah kalau begitu," balas Orion, memilih mengabulkan permintaan kekasihnya. Orion tampak sedang melihat-lihat gelang yang dipajang rapi di etalase kaca, ada beberapa gelang yang dia pilih lalu meminta Livia mengenakannya. Dia memperhatikan dengan seksama setiap kali Livia mengangkat tangannya yang sudah dilingkari gelang pilihan Orion. Beberapa kali Orion menggelengkan kepala, pertanda belum menemukan gelang yang pas untuk Livia. Hingga pada gelang keempat yang dicoba Livia, Orion pun akhirnya mengangguk disertai senyuman puas. Sagita memperhatikan gelang yang dipilihkan Orion untuk Livia. Sebuah gelang yang terlihat begitu indah. Kerang-kerang yang melilit gelang itu berwarna merah muda dan tampak sempurna saat dikenakan di pergelangan tangan Livia yang memiliki kulit yang putih bersih.            "Bagaimana kalau yang ini? Kau suka, kan?" Tanya Orion, memastikan pendapat Livia. "Ini indah sekali, aku menyukainya," balas Livia disertai senyuman lebar. Kedua matanya berbinar saat menatap gelang yang tengah melingkar di pergelangan tangannya.              "Baiklah, aku belikan yang ini saja." "Oke!" Livia dengan semringah, mengangkat ibu jarinya.  Saat Orion sedang membayar gelang, Livia mendekati Sagita. Dia memperlihatkan gelang pemberian Orion itu pada Sagita seolah sedang meminta pendapat. “Gelang ini sangat cantik. Benar kan, Sagita?" Tanyanya. Sagita mengangguk sambil tersenyum tipis. "I-Iya. Gelangnya sangat cantik. Pas sekali di tanganmu." “Begitulah, Orion. Dia sangat memahamiku, bukan?”  Sagita sempat terenyak, dengan bangga Livia berkata demikian seolah tak mempedulikan bagaimana perasaan Sagita saat mendengarnya. Livia tidak berhenti tersenyum sambil memandangi gelang yang terpasang di pergelangan tangannya. Begitu pun dengan Sagita yang menatap pilu gelang itu.  “Kau juga menginginkannya?”  Baik Sagita maupun Livia sama-sama tersentak kaget, suara baritone Orion tiba-toba menginterupsi, seketika membuyarkan lamunan mereka berdua.  “Kau sedang bertanya padaku?” Tanya Sagita sambil menunjuk dirinya sendiri karena dari yang dia lihat, tatapan Orion kini sedang tertuju padanya.  “Ya. Apa kau juga menyukai gelangnya?” Mulut Sagita memang tak mengeluarkan suara sekecil apa pun, tapi dalam hatinya, dia sedang menjerit girang. Orion ternyata masih peduli padanya. Lihatlah, bahkan pria itu bertanya padanya. Memang ini sangat sederhana, tapi bagi Sagita, sekecil apa pun perhatian Orion padanya, sudah sangat membuatnya senang.  “Kalau ada yang kau suka, pilih saja. Nanti sekalian aku yang bayar,” tambah Orion.  Sagita masih menatap Orion dalam diam, gadis polos itu sedang mengatur detak jantungnya yang tiba-tiba menggila.  “Aku rasa Sagita tidak terlalu menyukainya.”  Yang tiba-tiba menyahut itu adalah Livia, membuat atensi Orion dan Sagita kini tertuju padanya.  “Karena sejak tadi Sagita hanya diam. Jika dia suka mengenakan gelang, pasti dia ikut antusias saat aku melihat-lihat tadi.” Livia menjelaskan alasannya berpikir demikian. “Selain itu, coba lihat, Sagita tidak mengenakan satu pun aksesoris di tubuhnya.”  Livia memperhatikan penampilan Sagita yang polos dan sederhana. Memang tidak ada aksesoris apa pun yang melekat di tubuh gadis itu. Jika diperhatikan baik-baik, Sagita hanya mengenakan anting-anting di telinganya dan cincin pernikahan yang melingkar di jari manis tangan kanan.  “Apa tebakanku benar?” Tanya Livia pada Sagita. “Maaf, jika aku salah dan sok tahu.”  Sagita menggelengkan kepala, dia pun tersenyum kecil sebagai jawaban. “Tebakanmu benar. Aku memang tidak terlalu suka mengenakan aksesoris,” jawab Sagita.  “Sudah kuduga.” Livia berjalan mendekati Orion, lalu merangkul lengannya manja, “Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Kita cari restauran. Aku lapar sekali.”  Orion tak mengatakan apa pun lagi, dia mengikuti kemana pun Livia membawanya pergi. Sedangkan Sagita, untuk sesaat sebelum dirinya ikut melangkah pergi, dia menatap pada deretan gelang indah yang terpajang di etalase. Sagita berbohong tadi, sebenarnya dia menyukai gelang-gelang itu. Hanya saja perkataaan Livia tadi seolah menyiratkan agar mereka cepat pergi dari tempat ini. Dan ya, tebakan Sagita tepat karena kini Livia langsung melangkah pergi untuk mencari restauran.  Mereka pun melanjutkan perjalanan dan berhenti di sebuah kedai makanan seperti keinginan Livia. Mereka memesan beberapa seafood yang menjadi menu andalan di kedai tersebut. Nyaris semua menu mereka pesan, sehingga kini meja mereka penuh dengan makanan.  “Apa kau sedang kelaparan, Livia? Kau memesan terlalu banyak.” Orion yang melontarkan protes, kening pria itu mengernyit begitu melihat meja mereka penuh dengan makanan bahkan nyaris tak muat.  Livia terkekeh pelan, “Tidak apa-apa, kita kan makan bertiga. Biar kita puas makannya,” sahutnya, tak merasa bersalah.  “Sagita, kau juga pasti sudah lapar sama sepertiku, kan?” Ditanya seperti itu oleh Livia, Sagita sempat terperangah. Hingga akhirnya dia mengangguk pelan, “Ya. Aku juga lapar. Makanan-makanan ini terlihat lezat,” jawabnya. “Tuh, apa kubilang. Untung aku memesan banyak makanan. Porsi makan kami memang lebih banyak darimu, sayang.” Livia mengusap rahang tegas Orion setelah berujar demikian, membuat Orion mendengus dan menggeleng tak percaya.  “Wanita dan hobi makannya memang mengerikan.”  Livia dan Sagita saling berpandangan, sebelum keduanya tergelak dalam tawa karena mendengar gerutuan Orion. Mereka pun mulai menyantap makanan dalam diam.  “Sagita.”  Sagita yang sedang menunduk sambil sibuk menyantap cumi bakar itu pun seketika mendongak begitu namanya dipanggil oleh Livia. “Ya. Kenapa?” Tanyanya.  “Apa kau memiliki kekasih?”  Tanpa sadar kedua bola mata Sagita membulat sempurna, mulutnya pun terbuka sedikit pertanda betapa terkejutnya dia mendengar pertanyaan Livia yang tiba-tiba itu. Beberapa detik lamanya Sagita hanya terdiam, hingga akhirnya dia pun menggeleng.  “Serius kau tidak memiliki kekasih?” Livia mengulang pertanyaannya. “Iya. Aku tidak memiliki kekasih,” sahut Sagita. “Tapi kalau pria yang kau sukai, pasti ada, kan?”  Sagita kembali dibuat mematung, sedikit kesal karena Livia tiba-tiba membahas masalah pribadinya.  “Untuk saat ini, tidak ada.” Itulah jawaban yang diberikan Sagita. Memilih berbohong karena mustahil dia mengakui Orionlah pria yang kini dicintainya. “Tapi kau pernah berpacaran, kan?”  Saat untuk kedua kalinya Sagita menggeleng, Livia berekspresi heboh hingga membekap mulutnya yang menganga dengan telapak tangannya sendiri. “Serius? Kau tidak pernah berpacaran?” “Aku tidak pernah dekat dengan pria mana pun karena aku ingin fokus belajar.” “Kau ini sudah dewasa, seharusnya kau mulai serius menjalani hubungan dengan seorang pria. Lihatlah kami.” Livia mendekatkan tubuhnya pada Orion lalu meletakan kepalanya di bahu tegap pria itu. “Kami sudah menjalin hubungan dengan serius. Kelak kami pasti akan menikah. Benar kan, Orion?”  Orion yang fokus menatap Sagita itu pun refleks menoleh pada kekasihnya, dia mengangguk disertai gumaman, tak membantah ucapan Livia.  “Kau tidak iri melihat kami, Sagita?” Livia kembali melontarkan tanya. “Iri. Tentu saja iri.”  Dan jawaban Sagita itu rupanya sukses membuat Livia maupun Orion tertegun di tempat. Tatapan mereka tertuju pada Sagita yang sedang menebar senyum lebar.  “Aku iri melihat kalian yang begitu mesra. Aku juga jadi ingin seperti kalian,” tambah Sagita. Livia pun tersenyum lebar, “Maka dari itu, kau harus mulai mencari kekasih. Jangan mau kalah dengan kami.”  “Tentu saja. Aku pasti akan mencarinya suatu hari nanti.” “Jangan ditunda-tunda, carilah kekasih secepatnya.” Livia masih mencerca Sagita dengan nasihatnya. Sagita mengangguk-anggukan kepala hingga tiba-tiba dia menatap jari manisnya, lalu mengangkat jari manis itu dimana sebuah cincin tersemat di sana. “Tidak, selama cincin ini masih melingkar di jariku,” kata Sagita membuat Livia terbelalak, sedangkan Orion hanya menatap gadis itu dalam diam.  “Aku sudah bersuami sekarang. Jadi aku harus menjaga nama baik suamiku. Aku tidak ingin ada orang yang membicarakannya karena istrinya tertangkap basah berhubungan dengan pria lain.”  Di tengah senyuman lebar yang sedang disunggingkan oleh Sagita, Livia tak mampu berkata-kata lagi. Dia dibuat bungkam dan hanya mampu menatap Sagita dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.  Orion berdeham untuk menarik atensi dua wanita di depannya. Suasana di meja mereka tiba-tiba terasa panas dan tegang. "Aku ke toilet sebentar," ucapnya, meminta izin.           "Oke!" Livialah yang menanggapi perkataan Orion karena Sagita kembali menunduk untuk melanjutkan makannya. Orion pun benar-benar pergi, meninggalkan mereka berdua.  “Sagita, maaf ya. Tidak seharusnya aku menanyakan hal yang terlalu pribadi seperti tadi.”  Sagita menggeleng, masih dengan wajah tertunduk karena tengah fokus pada makanannya. “Tidak masalah. Aku juga minta maaf jika jawabanku ada yang salah tadi.” Livia terkekeh pelan, “Tidak ada yang salah dengan jawabanmu.” Sagita mengangkat kepalanya, “Baguslah, kalau begitu,” ujarnya disertai senyum. “Sekarang, mari makan hidangan ini dengan tenang.”  Senyum Livia luntur seketika, memahami betul makna tersirat dari Sagita yang memintanya untuk tak lagi banyak bertanya. “Tentu,” balasnya sambil mengangguk, paham.  Yang terdengar di meja mereka kini hanya sendok dan piring yang saling beradu. Baik Sagita maupun Livia tak ada yang mengeluarkan suara. Hingga beberapa menit kemudian, sosok Orion kembali muncul.             "Oh Orion, kau sudah kembali,” ucap Livia seraya mengembuskan napas lega karena melihat kekasihnya telah kembali bergabung di meja. “Aku sudah selesai makan. Jika kalian sudah selesai, lebih baik kita lanjutkan jalan-jalannya. Lihat, cuacanya mendung.”  Sagita dan Livia dengan serempak mendongak menatap langit yang tadi begitu cerah, kini berubah mendung.  “Oh iya, kau benar. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.” Livia dengan cepat meneguk minumannya. “Aku sudah selesai,” katanya lalu melirik ke arah Sagita yang duduk di seberangnya. “Kau masih mau makan, Sagita?”  “Aku juga sudah selesai.” Sagita pun bangkit berdiri. “Aku sudah membayar makanannya, jadi kita bisa langsung pergi.” Orion melangkah pergi setelah mengatakan itu, namun dengan cepat Livia menyusulnya dan kembali menggandeng tangannya mesra. Mereka meninggalkan Sagita berjalan seorang diri di belakang dengan hati yang kembali menahan luka.  Cukup lama mereka berjalan-jalan seharian itu, karena rupanya hujan turun rintik-rintik dan hanya sebentar. Tanpa mereka sadari langit sudah mulai berubah gelap pertanda malam akan segera tiba.             "Sagita, malam ini kau tidurlah bersama kami di penginapan yang kami pesan," ajak Livia, saat mereka memutuskan untuk mengakhiri acara berkeliling itu. "Tidak perlu. Aku akan tidur di rumah kayu saja," tolak Sagita. Cukup seharian ini hatinya sakit melihat kemesraan suaminya dan wanita lain. Sagita tak akan sudi jika harus melihat kemesraan mereka lagi malam ini. Membayangkan Orion dan Livia yang mungkin selalu memadu cinta setiap malam sudah cukup membuat Sagita tersiksa, apalagi jika melihatnya secara langsung, jelas Sagita tak akan sanggup.            "Hm, Livia. Sepertinya malam ini aku harus tidur di rumah kayu."            Livia tersentak mendengar ucapan Orion yang tiba-tiba ini. "Kenapa?" Tanyanya sambil memasang raut wajah kecewa dan tak setuju. "Aku harus mengemasi pakaianku, besok kita akan pulang." "Oh iya, aku lupa." Livia menepuk keningnya sendiri.            "Kau tidak apa-apa kan tidur sendirian di penginapan?"            "Iya. Tidak apa-apa."            "Besok pagi-pagi, aku akan menjemputmu. Kita bertiga pulang sama-sama."            "Baiklah," sahut Livia disertai anggukan kepala.            Orion dan Sagita pun mengantar Livia sampai di penginapan. Setelah itu,  pasangan suami istri itu berjalan menuju rumah kayu mereka. Mereka berjalan tanpa bicara sedikit pun, membuat suasana terasa canggung dan hening.             Sesampainya di rumah kayu, Orion segera membereskan pakaian-pakaiannya. Setelah selesai mengemasi koper dan mandi, dia membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Begitu pula dengan Sagita, dia ikut merebahkan diri di tempat tidur, di samping Orion.            "Orion, terima kasih karena telah menyelamatkanku hari itu ketika aku nyaris tenggelam," ucap Sagita, memecah keheningan. Dia memang belum sempat mengucapkan terima kasih.            "Sejak pertama bertemu denganmu, kau memang selalu merepotkan,” sahut Orion. Dirinya yang terlentang, kini merubah posisi berbaringnya menjadi miring, memunggungi Sagita. “Sudahlah. Tidak perlu mengingat-ingat hal itu. Tidur dan beristirahatlah, besok pagi-pagi kita harus berangkat. Selamat tidur," tambah Orion, sebelum dirinya memejamkan mata.  Mereka pun tidur saling membelakangi. Sagita tahu Orion tidak mungkin mau tidur berdekatan dengannya, sehingga dia menaruh guling yang berukuran cukup besar di tengah-tengah mereka, seperti yang dilakukan Orion saat pertama kali mereka tidur bersama di ranjang itu. Untuk kedua kalinya sejak menginjakkan kaki di pulau, Sagita berduaan dengan Orion dan bisa tertidur dengan pulas malam ini. Sagita tak perlu menangis meratapi nasibnya yang dicampakan sang suami lagi. Karena malam ini, suaminya tidur bersamanya.    ***             Keesokan harinya ... sesuai rencana, pagi-pagi sekali Sagita dan Orion sudah bangun. Sesaat lagi mereka akan meninggalkan pulau itu dan kembali ke rumah.            Orion membawa kopernya dan berjalan meninggalkan rumah kayu, begitu pula dengan Sagita yang berjalan di belakang pria itu. Namun, tiba-tiba Orion menghentikan langkah, sehingga Sagita yang berjalan di belakangnya tidak menyadari dan tanpa sengaja menabrak punggungnya.            "Ah, maaf. Kau tiba-tiba berhenti," ucap Sagita sembari mengusap-usap keningnya yang cukup sakit karena berbenturan cukup keras dengan punggung tegap Orion. "Ini." Orion memberikan sebuah benda di tangannya pada Sagita. Benda itu berbentuk kotak kecil. Sagita langsung menerimanya sambil mengernyitkan dahi, bingung, "Apa ini?" Tanyanya.            “Aku tidak tahu apa maksudmu bicara seperti kemarin.”  Sagita semakin mengernyit bingung, dia benar-benar tak paham maksud ucapan Orion.  “Tidak akan berdekatan dengan pria lain selama cincin pernikahan itu melingkar di jarimu, kau bilang? Jangan membuatku tertawa.” Orion terkekeh di akhir ucapannya. Sedangkan Sagita tersentak, kini dia mengerti arah pembicaraan pria itu.  “Mungkin kau sedang menyindirku dan Livia. Tapi perlu kau tahu, pernikahan kita bukan apa-apa bagiku. Tidak pula akan menjadi penghalang hubunganku dan Livia.”  Sagita meremas kotak dalam genggamannya tanpa sadar. Untuk kesekian kalinya, kata-kata Orion membuat hatinya berdenyut sakit. "Sudahlah. Terima saja, anggap benda itu sebagai hadiah dariku karena kata-katamu kemarin membuatku cukup terkesan." Orion melanjutkan langkahnya, meninggalkan Sagita.  Sagita masih mematung di tempat, tidak ada keinginan untuk mengejar Orion. Yang dia inginkan sekarang adalah mencari tahu benda apa yang ada di dalam kotak itu. Dengan jantung berdebar kencang, Sagita membuka kotak dengan begitu perlahan. Dia pun terbelalak saat menemukan sebuah gelang dengan dikelilingi kerang laut berwarna biru muda berada di dalam kotak. Gelang itu sangat cantik membuat Sagita tidak bisa berhenti menatapnya. Tanpa ragu, Sagita segera memasang gelang itu di pergelangan tangannya. Entah kapan Orion membeli gelang itu? Saat ini, Sagita benar-benar bahagia. Dia tidak menyangka Orion yang selalu bersikap dingin dan ketus padanya, melakukan ini. Namun di sisi lain, hal ini membuat Sagita semakin sulit melupakan perasaan cintanya pada Orion.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN