Aku ikhlas!

1014 Kata
Duniaku rasanya hancur menimpaku begitu saja, aku seperti kapal yang kehilangan arah di tengah badai. Pengkhianatan mereka terlalu kejam dan menyakitkan untukku. Mas Adam menghancurkan kerajaan mimpi yang sudah ku bangun bertahun-tahun dalam sekejap. Lelaki yang paling aku cintai tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang asing. Dan adikku? Ya, Tuhan kenapa Diani Setega ini? Aku menyayanginya sejak dulu. Dia satu-satunya saudara yang aku miliki, tega sekali dia mengkhianati kakaknya sendiri seperti ini. Apa salah jika aku membenci mereka saat ini? Bukan aku yang menginginkannya tapi mereka sendiri yang memaksaku menjadi seperti ini. Sudah satu Minggu ini aku hanya mengurung diri di kamar, aku tidak mau keluar dan menemui siapapun. Berkali-kali Vani bahkan datang ke rumah, aku tahu dia khawatir dengan keadaanku. Aku bangkit dari ranjang, kepalaku rasanya begitu berat. Perlahan aku menyibak tirai putih yang selalu menutupi jendela kamarku selama hampir satu Minggu. Seolah mempersilahkan cahaya mentari menyeruak masuk berkejaran, menyilaukan mataku yang telah terbiasa dalam temaram. Temaram seolah sudah menjadi sahabat bagiku sejak hari naas itu. Aku duduk menghadap cermin di meja rias, menatap lekat-lekat refleksi diriku yang terpantul disana. Seorang gadis menyedihkan yang seolah kehilangan sari kehidupan. Sekuntum mawar layu bahkan sebelum berkembang. Wajah sayu yang memucat, rambut berantakan, dan oh--lihatlah kantung mata yang menghitam itu. Mataku sembab dan bengkak, rasanya berdenyut pening di sekitar dahi. Lengkap sudah. Bagaimana tidak, aku tidak berhenti menangis meski aku sangat ingin. Rasanya air mataku otomatis tumpah begitu saja setiap kali mimpi buruk itu berputar di kepalaku. Ah mimpi buruk? Itu bukanlah sebuah mimpi, itu kenyataan yang sangat buruk melebihi apapun. Jangankan bermimpi, bahkan rasa sakit ini tidak membiarkanku untuk bisa tidur dengan nyenyak barang sekejap saja. Aku meraih ponsel yang tergeletak di laci meja riasku, menghidupkan benda yang kumatikan sejak kejadian hari itu. Layar jernih itu menyala, mendadak puluhan notifikasi bahkan hampir ratusan pesan dan panggilan tak terjawab di aplikasi w******p. Vani mengirimiku puluhan pesan, bahkan berusaha mengubungiku. Ah, sahabatku itu pasti sangat mengkhawatirkan ku. Dan, puluhan pesan dari mas Adam, panggilan tak terjawab dari lelaki yang sudah merobek hatiku itu. Aku tidak berniat membukanya, bahkan aku memutuskan memblokir kontak lelaki pengkhianat itu. 'Ting' Sebuah notifikasi pesan masuk, dengan setengah hati aku melirik layar jernih yang menyala itu. Menampilkan sebuah nama Miss Mona disana. [ Sita saya cuma mau mengingatkan cuti yang kamu ambil Minggu ini sudah habis, saya tunggu kamu di kantor Senin depan ] Aku menghela nafas berat, seolah pasokan udara di rongga paru-paruku begitu menipis. Aku mengambil cuti dengan alasan sakit Minggu ini, sungguh aku tidak berbohong pada siapapun. Aku memang sakit, bukan ragaku tapi hatiku. Dan kini aku harus bagaimana? Pekerjaanku memanggilku untuk kembali ke realitas kehidupan. Tapi untuk apa aku menjalani hidup ini sekarang, bahteraku karam bahkan sebelum berlayar. 'Ting' Layar ponselku kembali menyala, lagi-lagi pesan dari Miss Mona. [ Saya tahu kamu masih bersedih akan apa yang terjadi, saya turut bersedih mendengarnya. Tapi kamu harus profesional dan bertanggung jawab atas pekerjaan kamu ] [Baik Miss] Aku meletakkan benda itu menelungkup di bangku, bahkan Miss Mona si perfeksionis dan terkenal tegas pun kini mengasihani ku. 'tok tok tok' "Sita...Sayang, ibu masuk ya...ibu bawa sarapan buat kamu, nak." Suara ibuku di balik pintu, wanita paling lembut yang menyerahkan cintanya tulus untukku. Benar, hanya cinta ibu yang kurasakan paling tulus dan tak berkhianat. Hanya padanya aku bisa menumpahkan semuanya, meski hanya mendengarkan aku menangis dan terisak. Namun belaian lembut tangannya di kepalaku bisa mengurangi beban yang menyesakkan jiwa. Hanya ibu yang kuijinkan masuk ke kamarku, itupun karena ibuku bersikeras memintaku untuk memakan sesuatu, meski nafsu makanku telah terbang disapu badai patah hati. Aku membalikkan badan saat ibu membuka pintu, tangannya menopang sebuah baki berisi makanan. Aku hanya melirik sekilas, sepiring nasi goreng dan mangkok berisi potongan buah serta segelas jus berwarna kuning, mungkin jus jeruk. Ibu tersenyum lembut, pandangnya mengarah pada tirai jendela yang telah tersibak. "Makan nak," ucapnya lembut bagai obat penenang di telingaku. Beliau kemudian duduk di tepian ranjang milikku, aku menatap lekat wajahnya yang telah dihiasi garis keriput di mana-mana. Bibirnya tersenyum, tapi matanya menyimpan luka. Ya, aku bisa melihat itu dengan sangat jelas. Aku menghambur ke arahnya, kemudian merebahkan kepalaku di pangkuannya. Setiap hari ibu datang padaku, memastikan aku tetap hidup. Tapi belum sekalipun kami berbicara tentang masalah ini. Kemarin aku belum siap, dan aku tahu ibu menghargai dan memberiku waktu. Tapi kini aku harus bicara. Tenggorokanku tercekat ketika aku hendak berucap. "Bu...Sita ikhlas...," Ucapku akhirnya bersamaan dengan mataku yang mulai mengabur oleh genangan airmata. Ibu mengelus puncak kepalaku, dan cairan yang menggenang di mataku terus mengalir membasahi rok yang ibu kenakan. Tangan ibu bergetar saat kembali mengelus rambutku, aku mendongak menatapnya, wajah yang mulai menua itu telah basah. Segera aku bangkit dan memeluknya, kami menangis tanpa berucap apapun. Seolah kata-kata tidak ada artinya lagi. Kami berpelukan dan menangis cukup lama. Aku melepaskan pelukanku dan kembali menatap ibu lekat. "Sita ikhlas melepaskan mas Adam, sita iklhas mas Adam menikahi Diani," ucapku sambil menatap mata ibu. Ibu tidak menjawab apapun, beliau hanya mengangguk kemudian mencium keningku. "Ibu tahu semua ini sangat berat dan tidak adil untuk kamu, ibu minta maaf karena semua berakhir seperti ini." Kembali ibuku menangis, bahunya tersentak naik turun. Aku tidak sanggup melihat ibu sedih seperti ini, biarlah aku saja yang hancur karena masalah ini, jangan ibuku. "Kenapa ibu minta maaf, ini bukan salah ibu," aku menggeleng kuat-kuat. Tangannya mengusap lembut airmata yang luruh membanjir dipipiku. "Ibu minta maaf karena kamu harus seperti ini, merelakan kebahagiaan kamu demi adikmu, ibu salah karena tidak bisa mendidik Diani dengan baik," suara ibu bergetar menyayat hatiku. "Mungkin mas Adam memang bukan jodoh Sita Bu, Sita ikhlas...yang terpenting sekarang mas Adam harus menikahi Diani secepatnya," ucapku. Dan kalian tahu, betapa sakitnya aku ketika mengucapkan hal tersebut. Hal yang bertentangan dengan hatiku, hatiku tidak rela setelah tiga tahun ini hari-hari di hidupku terisi dengan impian-impian tentang kebahagiaan bersama mas Adam. Tapi nyatanya semua itu hilang secepat angin yang menggugurkan daun kering. Tapi sudah kuputuskan, ini jalan yang harus kuhadapi tidak mungkin selamanya aku menghindar. Walau bagaimanapun Diani adalah adikku, aku tidak mau hidupnya hancur meski itu artinya aku yang harus mengalah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN