Seorang lelaki yang duduk di atas motor itu tampak sama terkejutnya denganku. Bedanya aku sedikit ketakutan, karena bagaimanapun disini aku adalah pihak yang salah, dan dia adalah pihak yang dirugikan.
Dia membuka kaca helm fullface yang dikenakannya, kemudian memutar tubuhnya untuk melihat lampu seinnya yang kini sudah pecah karena ulahku. Hey, tapi aku kan tidak sengaja.
Matanya kemudian beralih menatapku yang masih mematung akibat insiden bodoh ini. Aku bisa melihat sorot matanya benar-benar menusuk, sebentuk mata elang yang tajam diantara helaian rambut yang tergerai di dahinya. Hanya itu yang aku lihat, karena wajahnya tertutup helm fullfacenya itu.
"Ati-ati dong mbak! Kalau gak bisa bawa motor jangan naik motor, lihat lampu saya jadi pecah gini!" Ucapnya setengah berteriak sambil menunjuk-nunjuk lampu seinnya yang remuk.
Aku maju dan menyejajarkan sekuterku disamping motornya.
"Maaf ya mas, saya gak sengaja. Saya buru-buru banget soalnya, ini aja udah hampir telat," ucapku
sambil menangkupkan kedua tanganku.
"Buru-buru sih buru-buru, tapi ati-ati dong! Kaya jalanan punya mbak sendiri aja! Gimana nih lampu sein saya?" Katanya lagi, sambil menatapku.
Meski aku belum melihat keseluruhan wajahnya, tapi jujur ku akui matanya itu benar-benar bagus. Sepasang mata elang dengan iris hitam legam, alisnya yang tebal membingkai sempurna. Dengan anakan rambut yang tergerai menutupi dahinya, keluar melalui celah helm itu.
"Gini aja deh mas, ini nomer hape saya, mas bisa hubungi saya nanti, saya pasti tanggung jawab. Tapi sekarang saya buru-buru banget, maaf ya!" Kataku sambil mengeluarkan kertas dan menulis nomer handphone ku, sesekali aku melirik traffic light.
Benar saja, lampu berubah warna menjadi hijau sesaat setelah lelaki itu menerima kertas berisi nomer ponselku padanya.
Tanpa banyak bicara lagi aku bergegas melajukan sekuterku. Meski aku takut terlambat tapi aku sedikit mengurangi kecepatanku dibanding sebelumnya.
Kulihat pria yang tadi kutabrak menyalip dari samping kananku, lelaki yang mengenakan Hoodie berwarna abu-abu itu menatapku sekilas dengan mata elangnya kemudian melajukan motornya dengan kencang.
Aku sudah beriktikad baik kan, kenapa dia masih menatapku dengan sorot mata seperti itu?
***
Aku beruntung sampai di kantor tepat waktu, Miss Mona hanya melirikku sebentar saat melewati mejaku.
Hari ini akan menjadi hari yang sibuk, pekerjaanku lumayan menumpuk karena kemarin aku ambil cuti dua hari untuk mempersiapkan pernikahan ku.
Setidaknya aku harus bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaan ku sekarang.
"Ta makan siang yuk, aku laper nih." Vani, sahabatku sekaligus rekan kerjaku melongok dari balik partisinya membuatku mengalihkan mata dari layar laptop dan memandang wajah dengan senyum khas itu.
Aku mengangguk, benar saja perutku memang sudah keroncongan. Pagi tadi aku melewatkan sarapan, pantas saja kepalaku sedikit pusing.
Sesampainya di kantin kantor, aku memesan sup ayam dengan sepiring nasi dan honey lime.
Ah, aku benar-benar kelaparan. Sementara Vani memesan mie goreng seafood.
"Ganteng banget kan, kemarin aku foto dia diam-diam"
Aku bisa mendengar beberapa pegawai wanita tampak asyik menggosipkan sesuatu sambil saling memperlihatkan ponselnya.
"Ada gosip apaan sih, Van? Kok mereka pada heboh gitu?" Tanyaku pada Vani yang asyik menekuri sepiring mie goreng pesanannya.
"Oh, itu pada heboh ngomongin OB baru. Sumpah ganteng banget lho, Ta," ujar Vani tak kalah bersemangat dibanding penggosip-penggosip itu.
"OB? Office Boy?" Tanyaku memastikan, yang benar saja mereka heboh cuma gara-gara Office Boy??
"Iya, tapi asli ganteng banget, lebih pantes jadi anggota boyband deh daripada office boy," jawab Vani yang menurutku terlalu lebay.
"Nanti aku tunjukkin orangnya, tapi awas jangan naksir dia jatah aku," ancam Vani disertai senyum tertahan.
"Jatah, emangnya sembako? Lagian siapa yang mau naksir, mau dia seganteng Lee min ho juga aku gak bakalan naksir, cinta Sita cuma buat mas Adam seorang," jawabku sambil mencebik.
"Hmm, iya iya yang udah mau nikah sama mas Adam," goda Vani sambil menyuapkan sisa mie kedalam mulutnya.
Aku hanya menggelengkan kepala, meski sedikit penasaran juga setampan apa sih sampai membuat hampir semua kaum hawa di tempatku bekerja begitu heboh.
***
Rasanya tubuhku sangat pegal, aku melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah kaki gontai.
Seharian berkutat dengan komputer dan pekerjaan yang harus dikebut membuat punggungku terasa kaku.
Baru jam sembilan belas lebih empat puluh menit.
Aku segera meraih handuk dan menuju kamar mandi.
Kalau terlalu sering mandi semalam ini bisa-bisa aku rematik.
Selesai mandi aku merebahkan tubuh di atas kasur yang empuk.
Aku melirik ponsel disampingku, ah aku baru ingat seharian ini mas Adam bahkan tidak menghubungiku.
Kemana dia? Apa sesibuk itu?
Aku menekan nomornya, kemudian menghubungi calon suamiku itu.
Ah manis sekali, hatiku mendadak berbunga-bunga hanya dengan menyebutnya calon suami.
Beberapa kali aku menghubunginya, tapi tidak ada satupun panggilanku yang dia terima.
Sedang apa sih? Kenapa perasaanku mendadak tidak enak begini.
Aku akui akhir-akhir ini aku lebih sensitif dan curigaan. Pikiran-pikiran buruk dan aneh sering terlintas di kepalaku tentang mas Adam.
Aku mengiriminya pesan, tapi lagi-lagi dia belum membalasnya.
Daripada pikiran-pikiran buruk semakin mengganggu, aku memutuskan untuk keluar dan menonton televisi.
Meskipun sedikit capek, tapi aku belum mengantuk sama sekali.
Kuambil setoples camilan dan membawanya ke ruang televisi.
Saat tiba-tiba aku mendengar suara pintu depan terbuka, aku menoleh.
Kudapati Diani berjalan masuk sambil menenteng sesuatu di kantong kresek berwarna putih.
"Dari mana Di? Kamu udah sembuh, bukannya tadi pagi sakit?" Tanyaku ketika dia melintas di belakangku.
"Dari rumah temen kak, lagian siapa yang sakit sih aku cuma masuk angin kok," jawabnya sambil menuju dapur.
Aku bangkit dan membuntutinya ke dapur, Diani mengeluarkan beberapa buah mangga yang masih mengkal dari kantong keresek bawaannya.
Adikku itu mulai mengupas mangga yang masih muda dan berwarna hijau itu. Mendadak air liurku mengucur, meski belum mencicipinya tapi aku bisa merasakan mangga itu pastilah sangat asam.
"Kamu malem-malem begini mau ngerujak?" Tanyaku sambil menelan ludah, hii asam!
"Iya, kakak mau?" Tanyanya sambil memotong-motong mangga itu dan membuat sambel rujak sederhana.
Diani memasukan potongan-potongan mangga itu kedalam mulutnya dengan lahap.
Wajahnya tampak biasa saja, apa segitu enaknya?
Aku mengambil sepotong mangga kemudian mengunyahnya, dan rasanya hii sangat-sangat asam.
Membuat lidahku rasanya mengkerut dengan sendirinya.
"Ya ampun asem banget Di," ucapku sambil melepehkan mangga yang sempat mampir ke dalam mulutku.
"Enak kak," jawabnya sambil terus mengunyah dengan lahap seperti makan keripik kentang saja.
Aku menggeleng, kemudian berlalu meninggalkan adikku yang masih asyik dengan mangga mudanya.
Lagi-lagi kulirik ponsel, menanti kabar dari mas Adam yang tak kunjung membalas pesanku.
'ting'
Sebuah pesan masuk.
(Sayang, maaf aku hari ini sibuk banget, banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum pernikahan kita, besok aku telfon kamu ya, sekarang aku mau istirahat aku capek)
Sebenarnya aku ingin protes, sesibuk apapun seharusnya kamu jangan menghilang tanpa kabar mas. Tapi membaca kembali alasannya bahwa dia lembur untuk menyelesaikan semua sebelum pernikahan kami membuat aku tersenyum.
Yah, mungkin memang sebaiknya aku harus mengerti dan mengenyahkan pikiran aneh dari otakku.