Kamu kenapa?

1091 Kata
"Assalamualaikum," ucapku ketika memasuki rumah. "Wa'alaikumsalam, sudah pulang ta? Adam mana?" Tanya Ibu yang menyongsong langkahku dari arah pintu. "Mas Adam langsung pulang Bu, kelihatannya capek banget makanya nggak sempat mampir," jawabku sambil berlalu menuju kamar, meninggalkan Ibu yang hanya mengangguk dan memajukan bibirnya membulat. "Belum tidur Di?" Tanyaku melihat Diani, adikku yang masih sibuk di depan televisi sambil memainkan handphonenya. Sebenarnya lebih tepat dibilang televisi yang melihat Diani berkutat dengan benda pipih itu. "Belum ngantuk," Jawabnya singkat tanpa mengalihkan perhatiannya pada kotak berlayar jernih di genggamannya. Aku hanya melewatinya kemudian lekas melangkah menuju kamarku. Rasanya tubuhku benar-benar kaku disana-sini. Ingin rasanya segera merebah di atas kasurku yang empuk dan nyaman kalau saja tidak ingat bahwa aku belum mandi, bahkan seluruh tubuhku terasa lengket. Guyuran air membasahi seluruh tubuh, rasanya segar sekali. Membuat yang tadinya mataku mengantuk mendadak seterang lampu 50 watt. Aku belum mau tidur, aku beringsut duduk di tepian ranjang, kemudian meraih smartphone berwarna hitam di meja. Ingin mengucapkan selamat malam pada mas Adam, saat ku buka ternyata dirinya pun sedang online. (Mas, sudah sampai rumah?) Pesan itu segera terkirim, akan tetapi centang abu-abu itu tidak segera berubah menjadi biru meskipun mas Adam jelas-jelas sedang online. Apa dia sedang sibuk?  Atau chatingan dengan wanita lain? Ahh kenapa mendadak aku suudhon terhadapnya, apa ini yang dinamakan godaan calon pengantin? Seperti curigaan dan cemburuan misalnya. Aku menggelengkan kepalaku sendiri mengusir pikiran jelek yang berterbangan. Ting (Sudah sayang, kamu kenapa belum tidur?) (Belum ngantuk mas, mas lagi apa?) Dan lagi-lagi, mas Adam tidak segera membuka dan membalas chat dariku. Membuatku kian bertanya dengan siapa sih dia chatting? (Mas kenapa lama balesnya, mas lagi chatting sama siapa?) Aku mengetik dengan keras, mendadak aku diselimuti rasa cemburu. Tidak biasanya aku seperti ini, tapi entah mengapa pikiranku rasanya tidak tenang. Berkali-kali kuusir, pikiran jelek itu selalu muncul kembali. (Ini lagi chatting sama temen kantor, urusan pekerjaan.) (Kamu kenapa sayang?) Ya ampun! Mendadak aku malu sendiri, dengan konyolnya aku berpikir yang tidak-tidak terhadap mas Adam, hanya karena dia terlambat membalas pesanku. Aku merutuki diriku sendiri, kenapa mendadak jadi begitu kekanakan. (Oh gitu mas, ya sudah nggak apa-apa.) (Aku tidur dulu ya mas, kamu juga jangan tidur terlalu malam. Good night sayang.) Akhirnya aku memutuskan untuk tidur, lagipula terlalu lama aku terjaga malah membuat diriku berpikir yang tidak-tidak. Dan memang tubuhku butuh istirahat juga, meskipun mataku belum bisa diajak kompromi. Aku berbaring sambil menutup mata, entah mengapa perasaanku masih tidak nyaman. Berulang kali aku berganti posisi, miring kanan kemudian berbalik kekiri. Tidak satupun posisi yang membuatku lekas terlelap. Entah berapa lama hal itu berlangsung bahkan aku tidak ingat. Yang kuingat akhirnya aku terbangun saat cahaya matahari mengintip di sela-sela tirai jendela. Astaga, aku terlambat bangun! Semalam aku kesulitan tidur, membuatku bangun sesiang ini. Jam di dinding kamar menunjukan pukul setengah tujuh. Biasanya aku sudah siap dimeja makan kemudian segera berangkat ke kantor. Yang kulakukan segera berlari ke kamar mandi untuk mandi kilat. Tidak ada ritual mandi dengan segala t***k bengek seperti biasanya. Cukup sikat gigi, dan berguyur air secepatnya. Tapi...tunggu!! "Hooeeekkkk...hoooeeekkk..." Sepertinya aku mendengar sesuatu dari kamar Diani di sebelah kamarku. Sepertinya Diani juga sedang berada di kamar mandinya. Ya, kamar mandi di kamar kami masing-masing memang berada di posisi yang berdekata hanya dibatasi oleh dinding, itu mempermudah saluran pembuangan yang searah. Jadi aku bisa mendengar Diani yang juga berada di kamar mandinya, dan sedang muntah-muntah. Apa dia masuk angin? Sebenarnya aku ingin segera berangkat ke kantor, tapi sepertinya kondisi adikku sedang tidak sehat, dan aku harus mengeceknya terlebih dahulu. Aku bergegas keluar kamar, suasana rumah sudah terlihat sepi. Mungkin ibu sudah berangkat ke toko kue bersama ayah. Ibu memang membuka sebuah toko kue kecil, dan ayah bersemangat membantunya untuk mengisi hari-hari setelah pensiunnya. Romantis sekali mereka. Hmmm, aku berharap pernikahanku akan seromantis kedua orangtuaku. 'tok..tok..tok..' "Di!" aku memanggilnya tapi tidak ada sahutan di sana. "Di, kamu nggak apa-apa? Kakak masuk ya?" Ucapku sambil membuka pintu kamarnya yang tidak terkunci. Diani tidak terlihat di kamar itu, tapi suara gemericik air yang mengalir terdengar dari balik pintu kamar mandi. Aku yakin Diani masih disana. 'tok..tok..tok..' "Di, kamu kenapa?" Tanyaku sambil mengetuk pintu kamar mandi. Beberapa saat kemudian Diani keluar dengan wajah yang basah memerah. Nafasnya terlihat terengah-engah. Adikku itu hanya mengenakan sebuah kaos longgar berwarna putih dengan celana super pendek berwarna hitam, membuat tubuhnya yang sedikit lebih berisi tampak seksi, rambutnya yang di Cepol asal tampak berantakan. Ya, dia memang adikku. Tapi secara penampilan dia memang terlihat lebih menarik dibandingkan aku yang tepos depan belakang. Ahh menyedihkan. Ya sebenarnya tidak seburuk itu sih, hehe. "Kakak ngapain di sini? Nggak kerja?" Tanyanya dengan sedikit terkejut menyeka wajahnya yang basah. "Ini mau berangkat. Kamu sakit? Kenapa muntah-muntah? Jangan-jangan kamu masuk angin ya?" Tanyaku memberondong. "Iya, kayaknya aku masuk angin" jawabnya sambil menjauh dari hadapanku. "Kamu nggak usah kuliah kalau lagi sakit, nanti aku telepon ibu biar pulang nemenin kamu" ucapku sambil melirik arloji. Waktuku tidak banyak, aku harus segera ke kantor atau aku akan dapat masalah. "Nggak usah kak, aku mau tidur saja." Jawab Diani kemudian merebah dan menutupi tubuhnya dengan selimut. "Ya sudah kamu istirahat, kakak berangkat dulu." Pamitku yang hanya dijawab dengan anggukan. Aku bergegas melajukan skuter matic berwarna putih kesayanganku. Skuter yang kubeli sendiri dari hasil kerjaku. Sebetulnya aku memiliki sejumlah uang ditabungan yang bisa saja ku gunakan untuk membayar uang muka kredit mobil. Tapi sepertinya aku rasa itu belum perlu, lebih baik tabungan itu aku gunakan nanti untuk keperluan hidupku setelah menikah bersama mas Adam. Siapa tahu kami perlu sesuatu yang lebih penting dibanding sebuah mobil, toh mas Adam juga sudah memilikinya, dia pasti akan bersedia mengantar istrinya ini kemanapun kan? Aku memacu sekuter dengan kecepatan lebih dari biasanya, aku tidak mau terlambat dan menjadi bulan-bulanan Miss Mona. Miss Mona adalah atasanku di kantor. wanita berusia hampir setengah abad yang masih betah melajang itu terlalu perfeksionis. Itulah sebabnya aku selalu berusaha berangkat pagi, atau aku akan berakhir di mejanya mendengarnya berceramah panjang lebar tentang tanggung jawab pekerjaan yang bisa dia ulang berkali-kali sampai kami hafal. Terkadang aku dan beberapa teman lain berpikir sikap perfeksionisnya itulah yang membuatnya betah melajang. Tentu saja, memangnya lelaki sempurna seperti apa yang dia mau. Tidak ada lelaki yang sempurna di dunia ini, begitu juga dengan wanita. Mungkin miss Mona tidak pernah berkaca bahwa dirinya juga tidak sesempurna itu. 'Ckiiitt kraakkk' Ya ampun, aku terlalu takut terlambat sampai aku tidak melihat lampu traffic light berubah merah. Dengan mendadak aku mengerem, tapi terlambat kaca spion skuterku membentur lampu sein bagian belakang sebuah sepeda motor sport berwarna merah yang lebih dulu berhenti disana. "Aduuhhh!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN