4

1014 Kata
Ada dua bangku yang kosong menciptakan jarak di antara mereka ketika Lena menunggu obat atas resep dokter agar tubuhnya kembali sehat. Advan diam tidak menjawab. Dia melihat Lena yang berdiri dan membayar obatnya sendiri. Di depan matanya. Wanita itu mengucapkan terima kasih dengan suara kecil dan menatap Advan. "Maafkan kecerobohanku," kata Lena saat dia kembali duduk. Tapi kali ini di seberang Advan. Dia perlu menjaga jarak dari pria itu. Advan menatapnya datar. "Anggap saja pelajaran untukmu," Lena mengangguk. Merasa bersalah. "Maaf karena mengotori mobilmu. Mantelku basah, dan—" "Lupakan," Lena menahan kalimatnya tetap di ujung lidahnya. Dia menutup bibirnya rapat-rapat mendengar selaan singkat dari Advan. Dia hanya bisa mengangguk dan mereka terjebak dalam keheningan yang canggung. Advan hanya diam. Dan Lena tidak tahu harus berkata apa dengan mantan kekasih sahabatnya. Ini sangat tidak nyaman karena Lena tahu siapa Advan. Saat Lena mengangkat kepalanya, dia melihat sosok Hatta berjalan dengan luka lebam di wajah dan tangannya. Darah itu mengalir. Terlihat telapak tangan Hatta robek. Lena berdiri tiba-tiba. Secara spontan. Mengejutkan Advan yang mendongak melihat tatapan Lena yang mengarah pada sesuatu di belakangnya. Advan menoleh, melihat Katoo Hatta yang berbelok ke ruang Unit Gawat Darurat seorang diri. Mata Advan menyipit, dia menatap Lena yang menampilkan ekspresi bingung dan sedih secara bersamaan. Sesuatu tidak bisa dia dipikirkan sekarang. Melihat ekspresi Lena, dia tidak tahu apa yang dipikirkan wanita itu. Advan tahu Lena bekerja bersama Nalaya sejak butik pribadi Nalaya dibangun. Mereka berteman. Terlihat sekali bagaimana akrabnya Nalaya dengan dirinya. Advan tidak mengenal Lena secara pribadi selain pertemuan mereka yang singkat di butik Nalaya beberapa kali. Dia tahu nama wanita itu karena Nalaya sering memanggilnya saat dia di butik. "Siapa namamu?" Lena tersentak dari lamunannya akan Hatta yang terluka. Dia menatap Advan dengan alis terangkat. "Lena," Advan tiba-tiba berdiri. Pria itu mengusap rambutnya yang sedikit basah dan mengangguk. "Kau bisa pulang dengan taksi. Ada taksi di depan rumah sakit. Kembalilah dengan taksi," kata Advan. Lena menyipit padanya. "Tidak, aku akan pulang dengan bis." "Kau gila?" Mata Lena melebar mendengar hinaan Advan padanya. "Kenapa kau menyebutku gila?" Advan menatapnya datar. "Ini malam. Lihat jam," Advan menunjuk jam besar di rumah sakit. "Kau pikir kau bisa menemukan bis lewat di jam malam begini?" Lena tidak bisa mendebat Advan karena pria itu benar. Menunggu bis adalah sia-sia. Lena yakin bis terakhir sudah lewat dan dia tidak punya cara lain selain pulang dengan taksi atau tidak sama sekali. "Oke," kata Lena pelan. Respon Advan hanyalah alis terangkat saat Lena berjalan pergi melewatinya. "Terima kasih untuk bantuanmu," Lena kembali berbalik. "Maaf merepotkanmu." Menatap mata gelap pria itu sekali lagi dan berbalik pergi. Berjalan menjauh dengan berlari kecil. Advan menatapnya dingin. Wanita itu tidak seharusnya berlari menghindar darinya. Apa karena dia tahu siapa dirinya? Dia bersikap canggung padanya? Advan bisa menebak itu dengan mudah. *** Mata biru Abe menelusuri seisi ruangan guna mencari sosok Advan yang mengirimkan pesan padanya untuk turun dan Sarapan bersama di kafe seberang kantor. Abe tanpa pikir panjang menyusul pria itu. Dia menarik kursi di depan Advan yang menatap luar jendela. Melamun adalah kegiatan yang Advan sukai sepertinya. Mengenal Advan sejak lama, tidak membuat Abe banyak tahu tentang pria itu. "Bagaimana ibumu?" Advan melirik dari ekor matanya. "Membaik," jawabnya singkat. Abe mengangguk dengan senyum. Merasa lega mendengar jawaban Advan. Dia melepas jas abu-abunya, menggantung jas itu di kursi samping yang kosong. "Pagi ini dingin karena semalam hujan deras. Tokyo benar-benar mencintai hujan," gumam Abe. Menikmati kopi panas di meja dan camilan roti isi yang renyah. Advan menghela napas panjang. "Kapan kau akan melamar kekasihmu?" Abe menggeleng tipis. "Masih kupikirkan. Biarkan ini jadi kejutan," Abe menatap Advan. "Kau bahkan mau mengambilkan tiga pesanan bajuku dari butik Itoo," Abe mendengus. "Berlebihan." "Bukan masalah," kata Advan pelan. "Selama aku bisa melihatnya ..." "Oke, cukup sampai di sini pembicaraan kita tentang dirinya," ucap Abe dingin. Advan hanya mendengus sebagai respon. Seseorang datang. Dan dia berhenti di samping Advan. Abe mendongak, melihat sosok asing yang berbicara sopan pada Advan. "Aku sudah mencarikannya sesuai permintaanmu, Tuan Mori," pria itu memberikan selembar map cokelat pada Advan. "Kau boleh pergi," setelah pria itu mengangguk dan Advan menyuruhnya, dia segera pergi. Menaruh map cokelat itu di atas meja dengan tatapan bingung Abe yang jelas terlihat. "Apa itu?" Mata Abe melebar melihat profil seseorang di dalam map yang diberikan pria asing tadi. Dia terkejut karena Advan berani menyewa seseorang untuk mencari info tentang orang lain. "Tanaka Lena?" Mata Abe menyipit melihat nama yang tertulis dalam kertas. "Kenapa dengannya?" Advan memilih untuk diam dan mengabaikan pertanyaan Abe. Sedikit menggeser tempat duduknya, Abe ikut membaca tulisan yang terketik di dalam kertas dalam hati. "Kau gila, Advan," bisik Abe tidak percaya. Advan melipat kertas itu dan memasukkannya kembali ke dalam map. Mengabaikan Abe yang memandangnya marah dan berdecak. "Tanaka Lena, mantan istri Katoo Hatta. Sahabat dekat Itoo Nalaya," ucap Abe membacakan tulisan yang ada di kertas itu. "Ini bukan sesuatu yang coba kau mainkan, Advan," Abe mendesis. "Apa yang kau tahu?" Advan balas bertanya. Tatapan Abe mengeras. "Jangan bercanda," tangan Abe terkepal. "Apa karena Satooi Raka mengancammu? Ini yang coba kau lakukan?" Advan tertawa pelan. "Satoo itu tidak akan bisa menghalangi jalanku," katanya dingin. Kepala pirang Abe menggeleng. Merasa tidak berguna karena tidak bisa menyadarkan Advan. "Aku tahu apa yang terlintas di kepalamu," Oniks itu menajam menatap sepasang mata biru pekat yang tak kalah tajamnya. "Kau mencoba mendekati Tanaka Lena agar kau bisa lebih dekat dengan Itoo Nalaya," kata Abe sinis. "Kau bisa memanfaaatkan sahabat baiknya agar kau tidak kehilangan cintamu." Advan terdiam. "Juga, kau bisa mencari celah darinya untuk menghancurkan Hatta. Kau bisa bertanya tentang Hatta semaumu lalu kau membalaskan harga dirimu yang tercoreng." Advan mendengus mendengar ucapan Abe. "Tidakkah kau berpikir kalau kau bertindak kelewatan dengan menyakitinya? Seseorang yang tidak bersalah?" Advan menatap Abe datar. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. "Itu bukan urusanku. Selama apa pun yang kuinginkan tercapai, aku tidak peduli." Rahang Abe mengetat. Dia memukul meja agak keras karena melihat kelakukan Advan yang membuat emosinya naik. "Oke, bagaimana jika nanti, di masa depan nanti, kau jatuh cinta padanya? Apa yang akan kaulakukan?" Mata Advan menyipit mendengar kalimat Abe. "Itu tidak mungkin," ucapnya. Abe mendengus sinis. Dia memakai jas abu-abunya kembali dan bersiap meninggalkan Advan seorang diri. "Aku dan kau sama-sama tidak tahu," bisik Abe pelan. "Dan jika itu terjadi, jangan menyesal dengan apa yang akan terjadi padamu. Takdir mungkin akan membalas keburukanmu jauh lebih dari apa yang kaulakukan pada wanita ini nanti." Setelah itu, Abe benar-benar pergi. Meninggalkan Advan yang sekali lagi bergelut dengan pikirannya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN