5

1500 Kata
Bangkit dari kursinya, Nalaya melihat Lena berjalan dengan kepala tertunduk. Saat tatapan mereka bertemu, wajah Lena yang pucat membuatnya berdiri, dia membawa Lena duduk di hadapannya. "Kau baik-baik saja?" Lena menggangguk singkat. Dia sudah minum obat semalam. Tapi tubuhnya seolah memaksa untuk mengistirahatkan diri lebih lama di rumah. Dan Lena memiliki pekerjaan yang tidak bisa dia tinggalkan. "Haruka, ambilkan air putih hangat dari dispenser," perintah Nalaya saat Haruka sibuk memotong kain dan dia mengangguk, mengambil gelas dari rak dan membawanya ke ruang tunggu. "Ini, minum dulu," Nalaya menaruh gelas itu ke tangan Lena yang bergetar. Dia tahu sahabatnya sedang sakit dan itu membuatnya sedih karena Lena memaksakan diri untuk tetap bekerja. "Jangan dipaksakan," gelas itu berbunyi karena terantuk meja. "Biar kusuruh supir untuk mengantarmu pulang." Lena menggeleng. Menatap Nalaya. "Aku akan tetap bekerja," "Lena," Nalaya berkata lirih. "Jangan keras kepala. Kau pucat. Kau perlu istirahat sekarang," helaan napasnya terdengar. "Tinggalkan pekerjaan ini padaku. Ada Haruka dan Mara yang membantu. Jangan pikirkan apa pun. Aku benar-benar akan memaksa kau untuk pulang dan tidur." "Nalaya," Lena bersikeras tetap bekerja. Nalaya menegurnya dengan gelengan kepala saat dia menelepon supirnya. "Supir akan tiba sepuluh menit lagi setelah Sarapan," Nalaya kembali duduk. "Aku beri kau waktu tiga hari untuk istirahat." Lena menatap Nalaya yang tengah tersenyum. "Itu terlalu lama," "Tidak buatku," Nalaya menghela napas panjang. Kondisi Lena juga tanggung jawabnya. Separuh pekerjaannya ada di tangan Lena. Nalaya tidak tahu bagaimana semua akan berjalan tanpa Lena di sisinya. Dan jika dia sakit, dia harus bertanggung jawab untuk membiarkan Lena istirahat dan tidak memaksanya bekerja. Supir masuk ke dalam butik tidak lama kemudian. Nalaya berdiri, dia membantu Lena untuk berjalan ke mobil. "Jika kau butuh sesuatu, hubungi aku," Lena tersenyum membalas senyum hangat sahabatnya. Nalaya menutup pintu mobilnya, menyuruh supir untuk segera pergi. Tidak perlu menjelaskan kemana alamatnya, sang supir sudah mengetahui letak rumah Lena dengan baik karena Nalaya sering berkunjung. *** Rasa bubur ayamnya sedikit hambar di dalam mulutnya. Entah karena kondisi badannya yang menurun atau bubur ini memang tidak enak. Lena memaksakan suapan demi suapan bubur agar perutnya terisi makanan sebelum dia meminum obat. Setelah dia selesai, dia duduk di sofa. Melamun. Menatap figura-figura foto yang tertempel di dinding. Sebagian adalah kenangannya semasa kecil dulu. Rumah yang dia tempati sekarang adalah peninggalan sang nenek. Neneknya pergi saat usianya tujuh belas. Ketika Lena duduk di bangku kelas dua menengah atas. Lena tidak memiliki apa pun yang tersisa selain rumah yang dia tempati sebagai warisan satu-satunya. Ketika dia memejamkan mata sejenak, pintu terketuk lebih dari empat kali. Lena tersentak, dengan langkah tertatih dia membuka pintu dan menemukan tetangga rumahnya membawa tiga buah celana jins di kantung. "Apa kau masih membuka jasa menjahit? Aku membutuhkannya," pintanya. Lena meringis. Merasakan kepalanya yang semakin berdenyut dan dia tidak sanggup menolak tawaran orang lain. "Kapan kau bisa mengambilnya?" Wanita itu berpikir. "Besok?" Lena menggeleng pelan. "Aku tidak bisa. Kondisi badanku sedang tidak memungkinkan untuk memegang pekerjaan sekarang," Lena berpikir sebentar. "Kalau kau mengambil sabtu, bagaimana? Lima hari dari sekarang, akan kuusahakan." "Cih," wanita itu mendecih padanya. Lena mengernyit ketika mata abu-abunya memicing sinis. "Kenapa lama sekali hanya menjahit celana saja? Tidak perlu! Biar kucari penjahit lain yang lebih cepat mengerjakannya." Lena menghela napasnya saat wanita itu beranjak pergi dari teras rumahnya. Dia segera menutup pintu dan membenturkan kepalanya ke dinding. Pekerjaannya menumpuk. Lena bahkan belum memotong bahan untuk membuat gaun dan piyama. Pesanan di butik Nalaya meningkat, dan dia memiliki pekerjaan yang masih belum selesai sebelumnya. Ditambah kondisi badannya yang tidak sehat. Melemparkan diri ke ranjang, Lena menarik selimut dan mengambil guling untuk dia peluk, lalu tertidur. *** Lena menoleh saat dia melihat Nalaya masuk setelah mengetuk sekali ke dalam rumahnya. Senyum tipisnya terbit kala Nalaya terlihat kesusahan membawakan dua plastik berisikan buah dan makan malam untuknya. "Aku sudah katakan kalau kau berkunjung tidak perlu bawa apa-apa," kata Lena saat dia berdiri dan hendak mengambil kantung plastik itu dari tangan Nalaya. Wanita itu mundur dan menggeleng pelan. "Siapa yang menyuruhmu bangun? Duduklah, biar kuurus barang bawaanku ini," balas Nalaya saat dia menaruh buah ke dalam kulkas dan menaruh makan malam ke atas meja makan mungil. Lena kembali duduk. Dia kembali memotong bahan gaun yang sudah Nalaya ukur sebelumnya dan memisahkannya dengan kain yang tidak terpakai. "Lihat?" Nalaya berdecak marah. "Kubilang tidak perlu memegang pekerjaanmu saat kau sakit," Nalaya mengambil gunting dan kain itu dari tangan Lena. Menjauhkannya. "Aku akan semakin merasa bersalah karena membuatmu seperti ini." "Apa? Tidak, jangan begitu," Lena menghela napas panjang. "Aku sudah membaik karena tidur yang cukup siang tadi. Sedikit-sedikit mencicil pekerjaan tidak apa, kan?" Nalaya menggeleng dengan bibir cemberut. "Setelah kau pulih total atau kubawa semua kain-kain ini ke mobil?" Lena mendesah. "Ya, baiklah. Aku akan mendengarkanmu." Nalaya tersenyum. Dia menaruh gunting dan kain itu ke atas meja makan dan berganti membawa dua mangkuk dan piring ke depan ruang televisi. Lena duduk diam di sofa usangnya, mengamati Nalaya yang sibuk menata makanan. "Kupikir masakan cina sangat enak jika kondisi sedang dingin begini," ucap Nalaya saat dia menuang sup ke dalam mangkuk. "Aku bosan. Bertanya-tanya apa kau sudah tidur atau belum, aku ingin datang menjenguk." Lena mendengus. "Kau bisa melihatku nanti setelah aku kembali," Nalaya menggeleng. "Kupikir kita bisa makan malam bersama. Setelah bekerja, aku kembali hanya untuk mandi di rumah dan pergi kemari untuk melihatmu." "Terima kasih," Nalaya menyeringai. "Sama-sama." Mereka makan dengan tenang. Beberapa kali Lena melempar ledekan pada Nalaya yang dibalas gerutuan wanita itu. Mengenang masa-masa sekolah mereka karena Lena menempelkan foto mereka ketika masih berseragam dulu di dinding rumahnya. "Ngomong-ngomong, saat aku datang kemari, aku melihat rumah Hatta lama diisi seseorang," Nalaya mengunyah nasi di dalam mulutnya. "Sejak kapan rumah itu laku terjual?" Lena menatap Nalaya. Kepalanya menggeleng. "Aku juga baru tahu, mungkin sekitar satu minggu?" Nalaya mengangguk pelan. "Aku lewat jalan belakang karena jalan depan sini ditutup," "Ada perbaikan jalan. Akhir-akhir ini aku juga lewat jalan memutar," kata Lena menyendok supnya. Nalaya terdiam. Dia menatap Lena cukup lama sebelum akhirnya menaruh mangkuk ke atas meja dan menarik napas panjang. "Aku tidak tahu harus bicarakan ini dengan siapa, tapi kau tahu, aku sendiri benar-benar bingung sekarang," keluh Nalaya. Lena ikut menaruh piring ke atas meja. Dia menatap wajah Nalaya yang sedih dan berdeham, mengambil air di dalam gelas untuk diminum. "Sesuatu terjadi?" Nalaya memalingkan wajahnya. "Kau tahu, Raka bekerjasama dengan Mori Advan," mata Lena melebar. Nalaya menunduk. "Aku tidak sengaja mendengar ini dari Megane, sekretaris Raka kemarin saat kami makan malam bersama." Ingatan Lena terlempar saat Advan mengantarnya ke rumah sakit dan dia yang hampir mati karena mobil pria itu. Atau Advan yang akan masuk penjara karena menabrak orang. "Lalu?" "Megane menceritakan semuanya padaku saat Raka pergi ke toilet. Aku terkejut," Nalaya mengusap wajahnya. "Bagaimana bisa? Apa yang dia coba pikirkan?" Lena menghela napas. Sejujurnya dia juga tidak tahu tentang masalah bisnis dan saham. Lena bodoh dalam hal itu. "Apa yang Megane ceritakan selain itu?" Kepala Nalaya menggeleng. "Tidak ada. Advan langsung menerimanya begitu saja. Selebihnya tidak ada yang dia ceritakan," "Kau yakin? Tidak ada lagi yang coba Megane beritahu padamu?" Nalaya menatap Lena gusar. "Ya," dia mulai gelisah. "Apa menurutmu ada sesuatu lain yang Megane sembunyikan dariku? Tentang kekasihku? Kerjasama ini?" Lena terdiam sebentar. Lalu, kepalanya menggeleng. "Aku tidak yakin sebenarnya. Bukankah bisnis memang membutuhkan kerjasama erat untuk menciptakan keuntungan besar?" Nalaya memalingkan wajahnya. "Tidakkah dia bisa meminta tolong orang lain saja? Kenapa harus terlibat dengan Advan setelah sekian lama?" "Nalaya," Lena memanggilnya. "Kalau terjadi sesuatu, aku harus bagaimana," mata Nalaya menggenang. "Tidak menutup kemungkinan kalau mereka akan adu argumen dan membahas hal yang tidak kuinginkan," "Seperti masa lalu kalian?" Lena menebak dan Nalaya mengangguk. "Aku rasa itu tidak akan terjadi. Jika Advan dan Raka profesional, tidak seharusnya mereka lakukan itu." Nalaya mendesah panjang. Dia memegang kepalanya dengan kedua tangan. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Saat Raka kembali, aku pergi tanpa bicara padanya. Dia kebingungan dan aku bilang kepalaku sakit." "Kau berbohong?" "Aku harus pergi untuk menenangkan diri," balas Nalaya lirih. Lena menatap Nalaya yang tertunduk. Ada isakan kecil lolos dari bibirnya. Lena tidak bisa lakukan apa pun selain ikut menunduk. "Anggap saja kerjasama ini tidak pernah ada. Aku tidak terlibat lagi dengan Advan setelah sekian lama," kata Nalaya. "Aku akan menghindar darinya." "Apa hubungan kalian berjalan buruk saat itu?" Nalaya menatap Lena saat dia bicara. "Ya," Nalaya tertawa pahit. "Aku berpikir Advan seperti Raka. Fisik mereka hampir mirip dan kami tinggal di negara yang sama. Aku dan Advan terlibat banyak kegiatan bersama. Lalu, kami berkencan." "Tiga tahun," sela Lena. "Tiga tahun," ulang Nalaya. "Dan aku menyadari kalau aku mencintai Raka, bukan dirinya." "Kau menyakitinya?" Nalaya menutup wajahnya. "Aku mungkin egois karena kesepian saat itu. Advan selalu ada untukku. Dia pria yang baik, aku tidak seharusnya bersikap buruk padanya." Lena menghela napas panjang. "Ini sudah berlalu," air mata Nalaya tumpah. "Tidak seharusnya kau menyalahkan dirimu sendiri." "Advan bilang dia mencintaiku, dan rasa bersalah itu semakin besar karena aku bersamanya bukan karena aku mencintainya." Nalaya mengusap air matanya. "Aku dan Raka putus karena aku berpikir menjalani hubungan jarak jauh sangat sulit. Raka bersikeras untuk menahanku tetap di sisinya dan aku memaksa untuk memutuskan hubungan kami walau dia bilang dia akan menungguku," Nalaya tersenyum. "Dia membuktikan ucapannya." "Nalaya," Lena mendengar tawa lirih darinya. "Sudah berlalu. Sudahlah," tangan Nalaya terkibas di depan wajah. "Lupakan saja. Kau jadi tidak berselera makan, ya?" Lena menatap sisa gulungan udang, telur goreng sosis dan aneka makanan lainnya yang masih tersisa. Dia menghela napas, kemudian menggeleng. "Kalau begitu, simpan untukmu saja. Kau bisa panaskan ini untuk Sarapan," Nalaya bergegas membereskan meja dengan Lena membantunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN