6

1507 Kata
Advan menatap rumah mungil yang sepi di depannya. Pagar itu tampak kecil dan halamannya sangat kotor. Terlihat sekali penghuni rumah di dalamnya tidak mencintai kebersihan. Mengambil ponsel dari saku celana, Advan menekan nomor yang sudah dia hapal. Sampai sambungan ke lima, panggilan itu tetap berjalan. Tidak ada sambutan. Advan mundur dua langkah ketika dia mendengar langkah kaki seseorang tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Dia menoleh, melihat Tanaka Lena berjalan dengan kepala menunduk. Lena mengangkat kepalanya mendengar dehaman seseorang. Matanya melebar melihat Advan yang berdiri tidak jauh darinya. "Kau?" Lena menipiskan bibirnya. "Kenapa di sini?" "Apa aku terlihat aneh jika ada di sini?" Advan balik bertanya. "Tidak," Lena menggeleng. Dia menatap pakaian formal Advan. Terlihat bagaimana berkuasanya pria itu dari cara berpakaiannya yang rapi. "Ini sedikit jauh dari kota. Kalau kau tidak punya kepentingan, tidak seharusnya ada di tempat ini." Mata Advan menyipit mendengar balasan dari Lena. Dia mendengus kemudian. "Kau sudah menebaknya dengan baik. Ya, aku punya kepentingan di sini." Kepala Lena tertoleh pada rumah mungil bercat hijau tosca. "Oh?" Dia kembali menatap Advan. "Kenapa dengan rumah ini?" "Kau mengenal pemiliknya?" Tubuh Lena menegang seketika. Dia melirik rumah yang tampak sepi itu dan menggeleng kemudian. "Tidak," katanya ragu. Advan menangkap keraguan itu. Dia mengalihkan tatapannya pada rumah yang terlihat buruk dari dugaannya. Tidak apa, dia akan membayar seseorang untuk membersihkannya. "Aku dengar rumah ini dilelang karena pemiliknya hutang judi," kata Advan. Mata Lena melebar. "Apa?" Dia terkejut. "Kurasa dia belum tinggal di sini terlalu lama. Kenapa sudah timbul masalah?" "Mana kutahu," sahut Advan. Dia menatap sekitar rumah yang asri. "Udara di sini cukup bagus dibanding di kota. Ini bagus untuk rumah cadangan. Sebagai pelepas penat dari kehidupan kota yang padat dan melelahkan." Alis Lena terangkat. "Perjalanan ke kota memakan waktu," ucapnya sedikit sinis. Advan tampak tidak peduli. Dia memandang wanita berambut merah muda di depannya datar dan mengangkat bahu. "Gunanya mobil apa? Aku rasa, pemerintah setempat juga telah membeli banyak armada transportasi umum untuk mempersingkat waktu. Sekadar memberimu informasi. Semua dipermudah." Lena menghela napas. "Kau benar," dia merapatkan tas selempangnya. Lalu, kembali berjalan menjauhi Advan yang berdiri terpaku di tempatnya. Advan menatap kepergian wanita itu dalam diam. Lena berbelok di pertigaan jalan kecil dan menghilang setelah melewati pohon apel yang besar. Helaan napas berat Advan terdengar. *** "Kau gila?" Abe lagi-lagi mengumpat pada Advan. "Di mana akal warasmu?" "Di sini," Advan menunjuk kepala miliknya dengan pena. "Aku hanya membantu mereka yang terlibat hutang judi. Rumah itu terlalu sayang untuk dilewatkan. Tidak ada hal lain yang ingin aku lakukan selain membeli rumah itu. Kenapa denganmu?" "Oh, ya, b*****h, bisa sekali alasanmu," kata Abe sinis. "Itu rumah masa kecil Hatta! Apa yang coba kaupikirkan sekarang, sialan? Kau membuatku ingin memaki sekarang." "Selangkah lebih baik, Abe, diamlah," sahut Advan pelan. "Sekarang kau tahu kalau Lena dan Hatta adalah teman masa kecil. Benar-benar niat yang pantas sekali," Abe duduk di sofa, menatap Advan dingin. "Coba pikirkan ini sekali lagi, Advan. Kau mengejar objek yang samar dan tidak pasti. Sekeras apa pun kau berusaha, Nalaya tidak akan jatuh ke dalam pelukanmu. Kau boleh cinta, tetapi jangan terlalu bodoh! Menyebalkan. Benar-benar." Advan mendesah panjang. "Usaha tidak pernah mengkhianati hasil," Abe semakin menggeram mendengar kalimat ejekan Advan padanya. "Tiga tahun kalian berhubungan. Dan apa yang Nalaya lakukan padamu? Kalian memiliki hubungan dan terlihat hanya kau saja yang mencintainya," sahut Abe sinis. Advan membeku selama beberapa saat. "Apa kau pernah mendengar Nalaya mengatakan cinta padamu? Pernah? Untuk sekali seumur hidupmu?" Abe mendengus keras. "Dari tampangmu sekarang, aku sudah mendapatkan jawaban yang kumau. Diamlah, Advan. Tidak ada gunanya sekarang." Advan memalingkan wajahnya. Pemandangan di luar jendela lebih bagus ketimbang wajah masam Abe yang duduk agak jauh darinya. Kesabaran Abe habis. Dia berdiri dari sofa, membuka pintu ruangan Advan dan terkejut melihat Satoo Raka berdiri dengan satu tangan di saku celana. Sebuah senyum terbit di wajah pucatnya. "Selamat sore," sapa Raka. Abe sedikit gusar. Dia memundurkan tubuhnya dan mengusap rambut kuningnya yang berantakan. "Selamat sore. Kau datang tanpa mengabari sebelumnya." "Benarkah?" Raka sedikit tidak percaya. "Megane bilang padaku kalau Advan bisa bertemu sore hari. Aku datang sesuai janji kami," katanya. Abe menatap iris pekat yang memiliki warna sama dengan sahabatnya. Kepalanya terangguk kecil, meminta maaf dalam isyarat mata saat Abe mendorong pintu ruangan Advan agar lebih lebar. "Masuklah. Biar kuambilkan proposal kalian," Abe berlalu pergi ke ruangannya. Meninggalkan Raka yang berjalan santai masuk ke dalam ruangan Advan. Advan memutar kursinya mendengar langkah asing di telinganya. Dia tidak terkejut dengan kedatangan Satooi Raka di sini, di kantornya. Mata Advan menyipit. "Aku tahu kau sudah datang sepuluh menit yang lalu," Advan tersenyum dingin. "Kau mendengar sesuatu dari pembicaraan kami?" Raka menaruh dirinya untuk duduk di sofa panjang yang nyaman. Ruangan Advan sungguh indah dan terlihat mahal. Sesuai selera pria itu, gumamnya. Raka sudah menduga-duga tentang pria ini. "Kau ingin aku menyimpulkan apa?" Raka berkata tenang. "Kau ingin Nalaya kembali padamu, begitu?" Pandangan Advan menajam. Tapi dia tidak bisa lakukan apa pun. Dilihat dari sudut mana pun, Raka akan menang. Abe datang, menghentikan pembicaraan mereka sejenak saat pria berambut kuning itu sedikit membanting map berisikan proposal pekerjaan mereka ke atas meja kerja Advan. Raka melihatnya, dia hanya tersenyum. "Jika yang kalian berdua bicarakan tentang omong kosong, ini bukan waktunya," kata Abe. Dia duduk di kursi lain. Berhadapan dengan Raka. "Kau ada di sini. Itu berarti kau bicara tentang bisnis, bukan tentang yang lain." Advan mendengus mendengar kalimat sindiran Abe. Tetapi dia memilih untuk diam, saat Raka datang untuk menjelaskan kelanjutan proyek mereka, perRakangan pribadi itu mereda. *** Lena berdiri di depan rumah mungil itu yang kini menyisakan lampu-lampu halaman dan teras yang menyala. Pemiliknya sudah resmi meninggalkan rumah tanpa kabar. Lena bahkan tidak tahu siapa yang menghuni rumah setelah rumah ini dibiarkan kosong bertahun-tahun. Ingatan Lena terlempar pada sosok Hatta. Rumah ini adalah rumah Hatta bersama orang tuanya. Sebelum malam menyakitkan itu merenggut kebahagiaannya. Hatta, menjadi pribadi yang lain. Mereka teman kecil. Itu yang bisa Lena simpulkan selama dia mengenal Hatta dengan baik. Mereka duduk di sekolah yang sama sampai menengah pertama. Dan Hatta pergi meninggalkannya ketika dia duduk di menengah atas. Hatta pergi tanpa kabar. Lelaki itu menghilang bagai di telan bumi setelah kedua orang tuanya meninggal. Lena mengingat benar bagaimana dirinya yang berusaha untuk tegar karena kehilangan sosok berarti di hidupnya. Dia tahu, teramat tahu. Hatta sudah memiliki hatinya sejak saat itu. Saat Lena masih memandang dunia dengan naif dan polos. Lena pernah mengenal kehilangan, dan rasanya menyakitkan. Saat Hatta pergi, rasa sakit itu jauh terasa menyakitkan berkali lipat. Lena menunduk, mengusap sudut matanya yang berair. Dia mencoba untuk tidak lagi menangis. Menangis hanya untuk orang yang lemah, dia selalu menguatkan dirinya untuk itu. Tetapi terkadang menangis diperlukan. Dia juga manusia biasa, memiliki hati untuk merasa. Hatta sudah pergi. Perceraian mereka disahkan negara. Itu artinya, Lena tidak lagi menjadi milik siapa pun. Dia sendiri. Seumur hidupnya akan berjalan seperti itu. Kepala Lena kembali terangkat. Dia terisak pelan, mengusap wajahnya dan berjalan berbalik saat dia memilih untuk menikmati udara malam di saat kondisi badannya mulai sedikit membaik. Lampu-lampu jalan yang menemani langkahnya yang sendu. Lena menatap langit, melihat bulan yang bersinar terang malam ini. Advan ada di sana. Saat wanita merah muda itu berdiri di depan pagar rumah kenangan lamanya, dia ada di sana. Dia hanya diam, mengamati dari kejauhan. Advan tidak tahu apa yang membuat Hatta dan dirinya bercerai. Advan bahkan tidak tahu berapa lama mereka menjalani hidup rumah tangga. Tetapi jika melihat ekspresi wanita itu, Advan menebak-nebak perjalanan kehidupan mereka sulit. Dia hanya mampu memandang punggung itu ketika Lena berjalan menjauh di jalanan yang sepi. Menikmati udara malam dan kesendiriannya. Advan masuk, membuka pagar kotor itu dan berjalan ke dalam. Halaman kotor menyambutnya, dia menendang dedaunan yang gugur dan sampah kering yang berterbangan karena tertiup angin. Memutar kunci rumah, Advan melihat isi di dalamnya. Tidak terlalu besar. Rumah ini sesuai dengan bentuk luarnya. Mungil. Saat Advan masuk semakin dalam, dia melihat rumah biasa pada umumnya. Memiliki dapur, ruang tengah yang bisa dijadikan tempat bersantai dan ruang tamu sekaligus, kamar mandi dan kamar tidur yang ada di lantai dua. Advan menaiki tangga kayu putar yang menghubungkan antara lantai satu dengan kamar tidur. Kamar tidur itu hanya mampu diisi oleh ranjang kecil berukuran untuk satu orang. Advan menghela napas, saat dia duduk di tepi ranjang yang kotor, dia menatap ke luar jendela berbentuk persegi panjang dengan kacanya yang berembun. Kamar tidur ini kecil dan sempit. Sangat kontras dengan miliknya di rumah yang besar dan bisa menampung apa pun. Rumah ini memang tidak bisa dibandingkan dengan rumah mewahnya yang mahal. Tapi untuk ukuran rumah di pinggir kota, ini cukup baik. Jika ada seseorang yang mau membersihkannya, rumah ini akan terlihat lebih hidup. "Tidak buruk," gumam Advan saat dia duduk di kursi kayu. Dia menatap pemanas ruangan yang tidak berfungsi lagi. Sudah tua dan berkarat. Beberapa sisi kayu sebagai penopang terlihat menghitam. Dia mungkin harus merombak seluruh isi rumah ini agar lebih baik karena rumah ini menjadi miliknya sekarang. Setidaknya, udara dan pemandangan di sini menjual. Dia bisa beristirahat dari kepenatannya di kota untuk sementara waktu jika dia ada di sini. Walau Advan tahu dia punya tujuan lain untuk dia jalankan. Membeli rumah ini adalah ide terbaik. Tidak ada lagi rumah kosong yang tersisa dari bangunan di pinggir kota yang menjual dengan harga lumayan karena pemilik sebelumnya terlibat hutang judi. Advan berjalan ke luar, menutup pintu rumah itu dan pergi setelah menutup pagar. Dia menatap rumah bercat hijau tosca itu sekali lagi, kemudian pergi dengan mobilnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN