7

1080 Kata
Seharusnya Nalaya tidak memberikannya waktu istirahat cukup lama. Dia sudah merasa lebih baik dan sehat dari sebelumnya, Lena bisa kembali bekerja. Tapi kekeraskepalaan Nalaya tidak ada duanya. Dia tidak bisa membantah kata-kata wanita itu. Mau bagaimana pun, Lena menghormatinya karena Nalaya adalah pemilik butik, dan dia hanya bawahan. Walau Nalaya tidak menganggapnya begitu, Lena melihatnya demikian. Dia bekerja, bukan pemilik butik. Dan di sinilah dia sekarang. Duduk sendiri menunggu bubur kerang panas pesanannya. Karena kebutuhan pangan di kulkasnya menipis, Lena tidak bisa memasak apa pun untuk Sarapan. Dia baru bisa membeli bahan makanan saat supermarket di kota buka, dan itu agak siang. Dia harus menunggu sampai matahari benar-benar terik. "Bubur kerang medium dengan ocha hangat," salah satu anak penjual bubur itu menaruh nampan di atas meja. "Silakan dinikmati." "Terima kasih," ucap Lena pelan. Menyendok bubur itu secara perlahan, Lena merasakan kelezatan yang tiada duanya masuk ke dalam mulutnya. Dia bersyukur, akhirnya lidahnya mampu merasakan lagi setelah beberapa hari terasa mati karena tidak bisa merasakan rasa makanan apa pun. Kondisinya benar-benar menurun, beruntung dia beristirahat cukup dan meminum obat secara rutin, sakit itu perlahan hilang. Lena hanya perlu mengontrol pola tidur dan kerjanya lebih baik lagi agar tidak kembali sakit. Kepalanya terdongak saat melihat sosok yang sama dan duduk tidak jauh darinya. Karena tempat makan bubur ini sepi, hanya ada dirinya dan pria itu, Lena berdeham, kembali menunduk seolah-olah tidak melihatnya. Depan kursi kayunya berderit akibat tangan seseorang. Lena melirik, melihat Mori Advan duduk di depannya dengan wajah datar. "Hanya ada kita berdua di tempat ini," katanya. Lena mengangguk sembari meniup buburnya. "Apa ini tempat yang tepat untuk Sarapan?" Lena menatap Advan dan mengangguk pelan. Dia melihat pria itu dengan wajah baru bangun tidur yang khas. Advan mengucek matanya, terlihat berat. "Ya, ini terbaik menurutku," balas Lena. Dia kembali menunduk, mengaduk buburnya. Kepala dengan rambut legam itu mengangguk. Tidak lama pesanan Advan tiba. Dia memesan bubur ayam, Lena melihat taburan ayam yang banyak menutupi bubur di mangkuk. "Kupikir kau sudah kembali," lirih Lena pelan. Advan menggeleng. Dia meminum air putih dalam gelas. "Aku tidur di mobil, sudah terlalu larut untuk kembali," "Mobil?" Lena memekik pelan. Advan menatapnya dengan kening mengernyit. "Kau bilang kau membeli rumah, kenapa kau tidur di mobil?" "Penginapan di sini jauh, kan?" Advan bertanya. Lena mengangguk. "Rumah yang kubeli jauh dari kata layak untuk ditiduri. Aku akan mencari seseorang untuk merapikannya." Advan memakan buburnya dalam diam. Lena memundurkan tubuhnya, seakan menciptakan jarak yang memang sudah tercipta di antara mereka. Dia menatap Advan dalam diam, matanya mengerjap. "Kau benar-benar berpikir untuk pindah ke pinggiran kota?" Advan tidak menjawabnya, dia memakan bubur di dalam mulutnya sampai benar-benar tertelan. "Seseorang butuh mencari udara baru untuk melepas kepenatan, ini pilihan terbaik," jawabnya. Lena sudah mendapatkan jawabannya. Dia mengangguk, sedikit berdeham dan memilih untuk diam. Memakan buburnya. Pagi itu diisi dengan keheningan yang membentang antara dirinya dan Mori Advan, pria asing yang punya kehidupan masa lalu dengan sahabatnya. *** Karena dia membawa beberapa kain ke rumah, Lena berpikir untuk melanjutkan pekerjaan yang tidak sempat dia kerjakan nanti, setelah dia selesai membersihkan halaman dan rumahnya yang kotor. Dia menghabiskan waktu untuk membersihkan halaman, memotong rumput yang sudah panjang, memotong daun-daun kecokelatan yang mati dan menyapu daun-daun gugur yang tertiup angin. Tidak lupa menyiram kembang dan tanaman buahnya, dia menanam pohon apel di halaman rumahnya sejak dia menengah pertama. Pohon itu tidak terlalu besar, tetapi belum berbuah selama Lena menanamnya. Setelah itu, dia membereskan kamar tidurnya. Lena menghela napas panjang ketika berusaha mendorong barang-barang miliknya agar dia bisa membersihkan debu-debu yang menempel di perabotan. Matanya jatuh menatap kotak berbentuk kubus berwarna abu-abu yang tersembunyi di belakang lemari pakaian. Lena membawa kotak itu ke atas ranjang, membuka tutupnya. Tatapannya terpaku pada kumpulan kenangan yang dia miliki bersama pria itu, bersama Katoo Hatta. Lena mengambil kalung mungil yang Hatta buatkan untuknya dari bunga-bunga yang gugur, Hatta membuatkan kalung bunga miliknya dengan besi lunak yang bisa dia putar untuk dijadikan kalung. Ini adalah kenangan yang Lena ingat ketika mereka duduk di menengah pertana, sebelum Hatta memutuskan untuk pergi darinya. Saat Lena mengenang kalung ini padanya, respon Hatta benar-benar di luar dugaannya. "Buang saja. Aku tidak merasa ingat pernah membuatkan sesuatu untukmu," Lena tahu, di sana rasa sakit itu bermula. Rasa sakit yang hanya dia bisa merasakannya. Rasa sakit karena pria itu, untuk kedua kalinya dalam hidupnya. Dia memasukkan kalung yang sudah layu itu kembali ke dalam kotak, menatap satu-persatu foto dalam kenangan yang bisa dia simpan untuk seumur hidupnya. Lena tidak tahu harus diapakan kenangan yang dia miliki bersama pria itu setelah mereka memutuskan untuk bercerai. Bukan Lena, tapi Hatta. Hatta yang memilih untuk melepaskan ikatan mereka dan membuang Lena pergi. Sudut matanya berair, Lena menggeleng cepat saat dia merapikan kotak itu dan menutupnya kembali. Membawa kotak itu ke atas lemari pakaiannya dan menunduk, mengusap sudut matanya. Tidak seharusnya dia menangis. *** "Kau darimana?" Advan menoleh pada Fujita Abe yang datang membawakan selembar kertas padanya. "Aku datang pagi tadi untuk mengajakmu Sarapan bersama, kau tidak ada di rumah," kata Abe. Advan menerima kertas itu, membacanya dalam diam dan menaruhnya bersamaan dengan puluhan kertas lainnya di atas meja. "Aku punya urusan," Abe memutar mata. "Oh, ya, bos, urusan yang sangat penting," dia bosan. Advan hanya mendengus, dia melanjutkan pekerjaannya dengan menandatangani berkas-berkas yang ada. Abe menatapnya. "Advan, lusa malam aku akan melamar Keana," "Bagus," jawab Advan sekenanya. Abe mendesah panjang. Dia memijit pelipisnya. "Aku sudah memikirkan ini jauh-jauh hari di samping aku memikirkan kegilaanmu yang tidak ada habisnya," sinisnya. Advan melirik Abe, dia kembali pada kertas di atas meja. "Aku tidak memintamu memikirkan urusanku," sahutnya santai. "Aku teman terdekat yang kau miliki, aku ikut merasakannya. Penderitaanmu," Advan terdiam. "Dengar, kau harus datang nanti. Karena aku menjadikan ini pesta kejutan untuknya," Abe kembali bersuara. "Keana mengadakan pesta ulang tahun lebih cepat karena dia harus pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis kakaknya." "Berapa lama?" "Mungkin dua bulan," ucap Abe. Advan mengangguk. "Cukup lama," dia menjawab singkat. "Kau terbiasa ditinggal dirinya, ini bukan masalah untukmu." "Ya," napas berat Abe terdengar. "Keana mungkin berpikir aku tidak akan mengikatnya dalam hubungan yang lebih serius. Aku tidak pernah bermaksud demikian, aku hanya ingin membiarkannya menikmati waktu untuk mengejar impiannya sebelum fokus pada kehidupan rumah tangga." Advan mengernyitkan dahi. Dia menatap Abe. "Setelah kalian menikah, kau menyuruh Keana untuk tetap diam di rumah?" "Ya," balas Abe. "Dia akan fokus untuk merawat anak-anakku. Aku sudah memikirkan ini, tetapi belum membicarakannya dengan Keana." "Seharusnya kau bicara," Abe menggeleng. "Setelah aku melamarnya nanti," mata birunya menyala-nyala saat dia menatap Advan. "Datanglah lusa malam. Pestanya sederhana dan tertutup." "Membawa pasangan?" Abe mengerjap. Dia menyeringai. "Jangan konyol, Advan. Siapa yang kau bawa? Asisten rumah tanggamu?" Advan mendengus mendengar ejekan Abe. "Kau harus datang," kata Abe saat dia berdiri dari kursinya. "Lusa malam. Aku akan menunggumu." Setelah itu, Abe beranjak pergi dari ruangan Advan. Meninggalkan pria itu dengan pikiran berkecamuk di dalam kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN