Advan menoleh ke sumber suara yang tidak asing di telinganya. Saat dia berpaling, dia melihat Lena sedang duduk di kursi menunggu pesanan ramennya datang.
Gerakan jemari Advan di atas meja terhenti. Otaknya sedang berpikir keras untuk memilih haruskah dia menyapa wanita itu atau memilih berpura-pura tidak tahu?
Lena sedang mengusap-usap telapak tangannya yang pucat karena di luar hujan deras. Dia berteduh sekaligus membeli ramen untuk makan malam di bawa pulang. Advan melihat tabel pada menu pesanan Lena.
Kakinya berdiri spontan, melangkah mendekati Lena yang menegang melihat sosoknya. Setakut inikah Lena padanya?
Advan menarik kursi di depan wanita itu. Lena memalingkan mukanya, menatap lukisan abstrak yang menjadi daya tariknya dibanding wajah kaku Mori Advan.
"Aku ingin bicara," uap karbondioksida keluar dari dua lubang hidungnya. Advan menunduk, mengusap tengkuk belakangnya. "Kemarin ..."
"Tidak perlu dibahas," Lena mengibaskan tangannya di udara. Dia melirik Advan sinis. "Aku tidak akan menuntut penjelasan apa pun padamu yang tiba-tiba," Lena menoleh. Dia melihat pesanannya belum selesai diracik.
"Aku butuh teman untuk menemaniku datang ke pesta ulang tahun sahabatku," kata Advan pelan. "Tidak ada nama yang kupikirkan selain dirimu."
Gerakan tangan Lena yang saling meremas terhenti. Matanya menyipit dingin oada Advan. "Kau bercanda? Bukankah bos besar sepertimu memiliki banyak kenalan yang jauh lebih baik dibanding aku?"
Advan menatapnya dalam kedipan kejut. Dia memundurkan tubuhnya, menipiskan bibirnya ketika sepasang iris hutan itu menyala-nyala marah.
"Aku bukan Nalaya yang pantas ada di sampingmu," kata Lena lirih. "Kelas kau dan aku berbeda. Kau tahu ibarat langit dan tanah? Umpama kasar yang bisa kupikirkan saat ini adalah itu," Lena mengusap anak rambut yang jatuh ke dahinya. "Aku minta maaf," dia menunduk. "Tidak seharusnya aku bicara dengan nada tinggi padamu. Aku benar-benar kelewat batas sekarang."
Advan bereaksi spontan dengan gelengan kepala. Dia menatap Lena yang kini menunduk, menyembunyikan wajah lelah dan terluka.
Lena pastilah mengalami pengalaman pahit bersama Hatta. Itu yang bisa Advan tangkap. Lena tidak nyaman berada di pesta kaum jetset, dan ini ada kaitannya dengan nama besar Katoo Hatta.
"Tidak, jangan meminta maaf," Advan menahan tangan wanita itu saat Lena ingin berdiri dari kursinya. "Ini salahku. Aku yang seharusnya meminta maaf padamu."
"Lupakan saja," Lena berlalu menuju meja kasir dan membayar pesanan ramennya. Dia tidak lagi melirik Advan yang duduk membisu di kursinya. Melepas kepergian dirinya.
Lena berjalan menuju halte bus yang sepi. Hujan membasahi separuh isi Jepang yang dilanda awan mendung sejak sore tiba. Seakan memuntahkan bebannya, jalanan yang berdebu dan kotor seketika bersih. Aroma tanah karena air hujan menguar menusuk hidungnya.
Merapatkan mantelnya, Lena menatap kosong ke sisi jalan yang sepi. Masih ada sekitar tiga bus lagi yang membawanya pulang ke rumah. Lena menghela napas, mengusap belakang tengkuknya yang meremang karena udara dingin.
Suasana yang mendukung ini membuat kenangan Lena kembali luntur dalam kepalanya. Kepingan demi kepingan yang tersimpan erat di dalam kepalanya seolah meledak keluar. Hujan, malam hari dan halte.
Tangan Lena berjalan untuk mengusap sisi yang kosong di kursi halte yang panjang. Napasnya memberat kala ingatannya tentang cintanya membuat dadanya sesak.
Neneknya selalu bilang untuk melepas semua beban yang membuat Lena merasa tidak lagi sanggup melihat dunia tanpa dirinya. Seperti sekarang, Lena melihat dunia seolah-olah dia sendiri dan terasingkan. Padahal tidak. Masih banyak yang mencintai dan menghargainya.
Nyatanya, Hatta membuatnya terpukul hingga sejauh ini. Membuat Lena tidak bisa melihat dunia dari kacamatanya sendiri. Awan mendung yang menggumpal pekat selalu terbang di atas kepalanya. Dia selalu berharap pelangi ada untuk mengusir awan mendung itu, dan dia masih berharap.
Sudut matanya berair. Lena menggelengkan kepalanya ketika dia melihat sinar lampu yang menyilaukan berasal dari bus menyadarkannya. Dia berdiri di tepi halte. Menunggu sampai bus itu benar-benar berhenti dan dia masuk ke dalam. Mencari tempat kosong untuk dirinya melepas lelah barang sebentar saja di perjalanan.
***
Begitu kontras pagi ini dengan kedatangan Ame dan teman satu profesinya, Kara. Mereka berdua sama-sama model papan atas. Walau pun karir Ame jauh melejit di atas Kara yang baru tiga tahun merintis, tapi nama mereka sama-sama menjadi favorit model kelas atas yang diincar para pencari iklan dan direktur majalah.
Ame sedikit bosan dan Kara tampak antusias karena dia menyukai gaun rancangan Nalaya. Berulang kali dia kebingungan dengan gaun yang ingin dia pesan dan model lain yang begitu menarik perhatiannya.
"Bisa cepat tidak?" Ame menguap bosan. Beda pandangan antara Mara dan Haruka. Ketika Mara menatap keduanya dengan binar bahagia dan kagum bagai penggemar bertemu idola, yang ditunjukkan Haruka justru berbeda. Wajah bosan dan mengantuknya lebih dominan. Seakan yang dia hadapi adalah ibu-ibu berisik yang cerewet meminta ini itu padanya.
Kara mendelik pada Ame yang duduk menyilangkan kaki di atas sofa. Lena menatap mereka dengan alis terangkat dan memilih untuk diam.
"Ini dan yang ini," Kara tersenyum pada Mara. "Bagus?"
"Cocok," Mara memberikan dua jempolnya dan dia membantu Kara untuk mengukur tinggi dan berat badannya. Agar lebih pas dengan gaun sesuai pesanan mereka.
Ame menatap Lena yang sibuk memotong bahan. Haruka merapikan gaun yang sempat Kara ambil dan meninggalkannya begitu saja. Dia memutar mata bosan.
"Di mana Nalaya?"
Gerakan gunting Lena terhenti. "Dia pergi untuk sebuah acara di luar kota," jawabnya.
Ame mengangguk pelan. Dia memainkan ponselnya dan tiba-tiba ponsel mahal keluaran terbaru itu berbunyi. Senyum Ame merekah seperti apel masak di musim gugur.
"Sayang,"
Lena menunduk, dia memilih untuk fokus pada garis pakaian dan gunting.
"Aku di butik Nalaya. Kenapa? Kau ingin bertemu?"
Mata Ame jatuh pada Lena. Dia mengambil cola dari dalam kulkas mini dan kembali duduk dengan santai. Seolah adanya Lena tidak ada.
Sambungan telepon tertutup. Lena pergi dari meja itu menuju mejanya. Dia mulai menjahit, mengabaikan Ame sepenuhnya.
Lena melirik dari sudut matanya ketika sepatu hak milik Ame mendekat ke arahnya. "Kau tahu, Mori Advan sering kemari menemui Nalaya?"
Lena menggeleng pelan. Dia tidak ingin menjawab apa pun yang berbau tentang Advan dan sahabat baiknya.
Ame menggeram. Tatapan jijiknya dia layangkan untuk Lena. "Aku serius," dia berbisik.
Lena menghela napas panjang. Memutar kursinya, manik hijau hutan itu menyipit. "Aku tidak tahu yang mana Mori Advan. Lagipula, tamu di butik ini banyak. Aku tidak bisa mengingat dengan baik siapa saja yang datang untuk berkunjung. Kau mungkin bisa bertanya dengan Nalaya sebagai pemilik butik ini."
Ame menggerutu mendengar jawaban Lena. Pegangan tangannya pada cola dingin mengepal erat. "Begitukah?"
"Aku mendengar kabar kalau Advan sering kemari untuk melihat Nalaya. Jadi aku ingin memastikan kalau ..."
Ucapan Ame terputus dengan nada dingin Lena. "Coba kau tanya langsung pada Nalaya. Aku yakin dia akan memberi jawaban yang memuaskan untukmu," Lena menghela napas lelah. "Aku hanya karyawan. Aku tidak tahu apa pun."
"Tapi kau terlihat akrab?"
Lena menggangguk singkat. "Kami teman semasa sekolah dulu. Sudah lama."
"Oh," Ame tampak tidak peduli. "Dia merekrut dari orang sekitar, rupanya," Ame berjalan pergi meninggalkan Lena yang sibuk menjahit satu bahan ke bahan lainnya. Mengabaikan Ame yang sejak tadi sibuk melihat-lihat dan pergi setelah Kara menyeleRakakan pesanan bajunya.
Haruka duduk di kursinya. Dia menatap Lena dengan lirihan kecil. "Aku mendengar obrolanmu dengan dia," kata Haruka.
Lena mendorong kursinya ke belakang. Dia menatap gadis itu dengan helaan napas berat. "Lupakan saja. Aku tidak mau berurusan dengan siapa pun," ucap Lena acuh.
Haruka menganggukan kepalanya. "Kau benar. Aku tidak terlalu suka dengan Ame. Reputasi dia bagus di televisi dan publik mengenalnya seperti dewi dari langit," Haruka menggelengkan kepalanya miris. "Tapi kau lihat sendiri kelakuannya, bukan? Dia terlihat seperti manusia berhati iblis."
Lena melotot mendengar ucapan Haruka. Kali ini gadis itu serius. Lena tidak menangkap adanya nada bercanda dari bibir Haruka yang biasa melempar lelucon padanya.
"Jangan buatku bertaruh kalau dia akan menghancurkan hidup seseorang di sini."
Lena tidak tahu mengapa kata-kata Haruka seakan menamparnya telak dan menyakitkan.
***
Advan menurunkan ponsel dari telinganya. Uap yang mengepul akibat udara yang terlalu dingin terlihat dari bibirnya yang pucat. Advan merapatkan mantel yang berlapis kemeja tebal di dalamnya.
Nyatanya, mencari udara di malam hari benar-benar ide buruk. Dia tidak tahu kalau udara malam sebelum badai akan sangat membunuh seperti ini.
Ibunya menelepon untuk menanyakan kabar. Advan merasa dia seperti anak tak berbakti karena terlalu sibuk sampai lupa mengabari ibunya tentang keadaannya di sini.
Sesuai permintaan sang ibu, Advan meninggalkan ibunya ada di luar negeri. Ibunya menyukai tempat itu, di mana dia dan suaminya bertemu.
Advan tidak bisa menolak apa pun yang ibunya katakan padanya.
Advan menunduk, mencoba berjalan di kencangnya angin malam. Dia mencari-cari letak mobilnya yang terparkir di parkiran tempat makan dekat taman sebelum dia turun untuk berkeliling melepas penat di dalam kepalanya.
Matanya jatuh pada kafe kecil yang menjual aneka camilan mengganjal perut yang berguna untuk menahan perutnya berbunyi sampai besok pagi.
Advan mendorong pintu kayu itu dan melepas mantelnya. Netranya jatuh pada sosok merah muda yang duduk melamun dengan gadis berambut merah terang sedang bermain ponsel di tangannya. Dia berdeham, mengusap telapak tangannya dan memesan satu piring takoyaki dan ocha hangat lalu mencari tempat duduk.
"Aku harus pulang, Lena,"
Lena menoleh pada Haruka yang berdiri dan memasang jaket kulit di tubuhnya. "Sebelum badai datang. Ibu akan menegurku,"
"Ah," Lena tersenyum samar. "Kembalilah. Hati-hati di jalan."
Lena melambai saat Haruka memasang sepatu sandalnya dan berjalan ke luar kafe. Dia melihat Haruka meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja dan kepala Lena menggeleng pelan.
Mata hijaunya berpendar ke seluruh ruangan dan mendapati Advan sedang menunduk memegang sumpit di tangan. Lena memutar matanya. Kenapa akhir-akhir ini dia seperti magnet negatif yang mencari-cari magnet positif? Advan selalu ada di dekatnya.
Lena tidak peduli, dia membuang wajahnya ke luar jendela dan mengabaikan pria itu. Saat pintu kayu terbuka, Lena menoleh untuk melihat siapa pelanggan yang masih nekat untuk datang saat badai mulai tiba.
Ame.
Lena menatap dari kursinya ketika Ame menaruh tasnya di atas meja. Mereka duduk berhadapan. Advan menopang dagunya dan tatapan pria itu teramat datar pada Ame yang menggebu-gebu berbicara banyak hal padanya.
Lena menunduk, dia menghabiskan sisa terakhir takoyakinya dan mengabaikan keduanya. Dia harus kembali. Jika bus tidak ada, dia akan pulang dengan taksi.
Memakai mantelnya, Lena berjalan menuju kasir. Membayar makanan mereka sebelumnya dan berjalan ke luar. Tanpa terbesit sedikit saja di benaknya ingin tahu ada apa di antara Advan dan Ame, kekasih baru Hatta?
Lena menghela napas panjang. Belum saja langkahnya menuruni anak tangga, ada tangan lain yang menahannya.
"Aku akan mengantarmu pulang,"
Lena mengerjap. Dia menepis tangan Advan dari tangannya. Melemparkan tatapan tak bersahabat. "Apa-apaan kau?"
Advan bergeming di tempatnya. Tidak terpengaruh dengan kalimat Lena. Dia membawa wanita itu menuruni anak tangga dan berjalan menuju mobilnya.
"Advan!"
Kepala Lena menoleh pada Ame yang menatap datar ke arah mereka. Tidak, sebelum wajah itu berubah tidak suka dan jijik padanya. Lena menepis tangan Advan dari tangannya.
"Lepas," geram Lena.
Advan tidak mendengarkannya. Dia membuka pintu mobilnya untuk Lena dan matanya yang dingin menusuk pada wajah Ame yang marah.
"Jangan ganggu, Nalaya. Ingat kata-kataku," Advan memberinya peringatan sekali lagi dan Ame terdiam. Sudut bibirnya tertarik melihat Advan.
"Ada apa antara kau dan karyawan rendahan itu, eh, Advan?"
Advan terdiam sebentar. Mungkin dia bisa mendekati Lena sebagai pengalihan rasa cemburu Ame yang belum berubah padanya sejak dulu untuk tidak menyakiti Nalaya?
Ah, bisa saja.
Ame akan berpikir Advan mendekati Lena, dan gadis itu akan marah dan membenci Lena. Menyakiti wanita itu dengan cara yang Advan benci dari seorang Ame Sora.
Terlebih mereka menjalani hubungan dengan Hatta dan Advan yakin Ame belum tahu siapa Lena di hidup Hatta dulu, kan?
Ah, menarik.
Dan mobil hitam itu melesat menjauhi jalanan dengan Ame yang menggeram seraya menghentakkan kakinya di atas tanah dan berbalik masuk ke dalam.
Masih dengan wajah yang tertekuk dalam.