Jadi, ketika Lena memutuskan untuk pergi meninggalkannya sendiri, Advan membiarkannya. Dia membiarkan gadis itu membawa dirinya sendiri pergi dengan kekacauan yang dia buat.
Memalukan?
Advan segera menarik dari pikirannya yang terhantui tentang masa lalu Lena. Dia tidak bisa menemukan banyak tentang Tanaka Lena yang tertutup selain wanita itu adalah istri Hatta dan sahabat dekat Itoo Nalaya.
Lena mengacaukan pesta Abe. Dia, memecahkan piring dan membuat bisik-bisik yang menyudutkan namanya menyebar ke seluruh penjuru ruangan.
Jika Advan mengajak Nalaya, mungkin tidak akan seperti ini. Nalaya wanita yang anggun dan percaya diri. Dia dibesarkan di lingkungan yang keras dan tahu sopan santun.
Dan di sinilah dia berakhir. Di dalam mobilnya dalam kemelut gamang yang tiada ujungnya. Haruskah dia berbelok ke rumah Itoo Nalaya dan meminta maaf karena membuat gadis itu berpikiran tentang dirinya yang membuat gaun untuk wanita lain dengan warna kesukaannya.
Ataukah pergi ke Lena untuk meminta maaf. Tapi meminta maaf untuk apa? Dia tidak melakukan kesalahan. Dia mengacaukan pesta, dan itu bukan salahnya.
Advan tidak memilih keduanya. Dia akan memilih untuk kembali ke rumahnya dan mengistirahatkan diri sebelum kembali bekerja besok.
***
Lena duduk termenung di mejanya. Satu jahitan sudah dia selesaikan dan dia tidak punya pekerjaan apa-apa lagi selain bersantai dan melamun.
Haruka dan Mara pergi untuk mengantar gaun di rumah dinas salah satu petugas pemerintahan. Dan Nalaya menghadiri sebuah acara penting peresmian brand baju ternama selama dua hari.
Jadi di sinilah dia berakhir. Duduk menyendiri dalam sepi yang sudah menjadi makanan sehari-harinya. Lena menghela napas panjang, mengusap telapak tangannya yang dingin ke lengan. Terus dia lakukan sampai berulang-ulang.
Lamunan Lena tentang dirinya pecah ketika lonceng berbunyi pertanda pelanggan datang ke butik mereka. Lena terpaku di tempatnya, mendapati sosok gadis cantik yang masuk ke dalam butik mereka dengan seorang pria berwajah kaku.
Katoo Hatta.
Lena membeku. Dia memberikan langkah kosong untuk pasangan itu masuk ke dalam butik dengan tatapan angkuh. Terutama dari sang gadis yang berprofesi sebagai model ternama ini. Ame, model cantik yang sedang naik daun. Namanya diberitakan hampir di seluruh televisi nasional. Prestasinya di kancah internasional tidak main-main.
"Ingin melihat-lihat?" Lena harus bersikap profesional saat Ame berjalan membelah melihat gaun koleksi Itoo Nalaya di etalase.
"Hm, tidak buruk," mata cokelat madu itu menatap Hatta dengan tatapan lembut. "Sayang, bagaimana?"
Lena mengerjapkan matanya. Dadanya sesak oleh sesuatu yang tak kasat mata. Dia memegang pegangan pintu etalase dengan tangan bergetar.
"Terserah padamu," suara Hatta yang berat memecah lamunan Lena tentang rasa sakitnya.
Saat Ame berkeliling untuk melihat rancangan Nalaya sekali lagi, dia melirik Lena yang diam.
"Kau bekerja di sini?"
"Ah," Lena mengangguk dengan senyum. "Ya," katanya pelan. Apa dia terlihat seperti patung selamat datang di butik ini?
Ame memutar matanya. Dia memegang satu gaun pendek rancangan Nalaya dan menatap Lena. "Kau melamun sejak tadi. Karena terpesona olehku atau kekasihku?"
Lena mengerjap gelisah. Dia mundur dan menggeleng dengan tawa pelan. "Tidak, ini maksudku, tidak biasanya bintang besar datang ke butik selain bertemu dulu dengan Nalaya, pemilik butik."
"Kami teman semasa kuliah dulu," kata Ame. Dia menatap Lena dengan alis terangkat. "Tidak perlu bertemu dengannya, jadikan ini kejutan." Dia mengedipkan mata pada Lena yang mematung.
"Kalian teman?"
Ame mengangguk. Mata cokelatnya berkeliling menatap interior butik yang sederhana namun terlihat elegan. "Selera Nalaya sekali, bukan?" Ame tertawa pelan.
Lena ikut mengangguk dengan senyum tipis. "Ya, ini memang seleranya."
"Aku ingin gaun model ini, serupa," kata Ame menunjuk gaun pendek dengan tali spageti di bahu dan belahan d**a terlihat. "Ini bagus untuk acara bulan depan. Bagaimana?"
Lena mengangguk. Dia mengambil memo dan pena untuk ditulis. Matanya menelusuri tubuh sintal Ame yang bagus dan sempurna bagi ukuran wanita dewasa pada umumnya.
Seolah sudah menghapal seluruhnya, Ame menyebut berat badan dan tinggi badannya. Juga ukuran lekuk pinggangnya. Lena mencatatnya cepat dalam diam.
"Sayang," Ame duduk di samping Hatta yang sibuk dengan ponselnya. "Kau tidak ingin melihat-lihat?" Ame menawarkan Hatta untuk berkeliling karena Itoo Nalaya bisa membuatkan pakaian untuk laki-laki.
Hatta menggeleng. Dia melirik Lena yang berdiri kaku agak jauh dari mereka. "Aku bosan. Bisakah kita pergi untuk makan siang?"
Ame tersenyum manis pada Hatta. "Tentu," setelah itu pasangan yang sedang dimabuk asmara pergi dari butik.
Lena duduk di sofa, memijit pelipisnya yang berdenyut dan menghela napas panjang. Tidak seharusnya dia bersikap pasif karena Hatta di satu ruangan yang sama. Pria itu bahkan tidak melihatnya. Tidak menganggap dirinya ada dan mengapa Lena sekacau ini karenanya?
Lena menunduk, mengusap wajahnya dan bergegas pergi ke tempat penyimpanan bahan membuat gaun lalu mengerjakan pekerjaannya dalam diam.
***
Kedatangan Ame ke Jepang yang tiba-tiba membuat beberapa media massa heboh. Pasalnya, gadis yang memang sedari muda itu sudah merintis karir di luar negeri memang terkenal dengan bakatnya yang luar biasa di panggung catwalk dan majalah ternama sebagai sampul.
Seperti sekarang, saat Mori Advan sedang duduk untuk makan siang bersama sahabatnya, Fujita Abe, dia melihat Ame duduk dengan Hatta tidak jauh dari mejanya. Mereka tampak berbincang hangat seolah sudah saling lama mengenal dan berhubungan.
Mata Advan menyipit tajam. Abe yang sibuk memakan lasagna di mangkuk ikut menoleh. Dia mengangkat alisnya melihat sosok Ame, si model papan atas dalam negeri kembali dan ada di satu restauran Italia yang sama dengannya.
"Ame, itu?" Abe menatap Advan yang memakan diam roti panggangnya. "Bukankah dia teman kuliahmu dulu?"
Advan mengangguk dalam diam. Dia mengabaikan tatapan Abe yang sejak tadi berceloteh tentang Advan yang bersikap kurang ajar dan tidak tahu diri pada Lena. Dan Advan mengabaikan semua omong kosong yang Abe lontarkan.
Dia ingat, Ame ada di satu kelas yang sama dengan Nalaya dan dirinya dulu. Ame termasuk gadis supel yang mudah bergaul. Dia besar di Inggris, tempat Advan dan Nalaya berkuliah dulu dan kehidupan di sana sudah melekat ke darahnya seperti kota kelahirannya sendiri, Jepang.
Ame banyak membantu mereka dalam urusan perkuliahan yang pelik dan rumit. Kemampuan Ame dalam bergaul dan mengekspresikan diri begitu bagus. Advan mengakui kehebatan gadis itu.
Mata cokelat meneduhkan itu menatap ke arahnya. Advan menyipit, menganggukan kepala singkat dan berlalu. Piring roti panggangnya lebih menarik dibanding sosoknya dengan Katoo Hatta yang duduk berbincang mesra.
Abe menoleh melihat Ame yang menyapa mereka dengan senyum lembut. Dia menggeser sedikit tempat duduknya dan Ame mengambil kursi kosong di samping Abe.
"Apa aku mengganggu kalian?"
Abe melirk Advan. "Tidak," dia berdeham. "Kami sebentar lagi selesai. Ada rapat," kata Abe.
Ame mengangguk dengan senyum tipis. Pandangannya jatuh pada Hatta yang berlalu pergi keluar dari restauran menuju mobilnya.
"Kami baru saja pergi mencari gaun yang bagus," kata Ame. Dia menatap Advan. "Kau tahu? Aku pergi ke butik Nalaya!"
Genggaman Advan pada pisau rotinya mengerat. Dia menatap Ame dengan dingin dan Abe menangkap tatapan itu. Dia menendang kaki Advan agak keras di bawah meja dan pria itu berbalik mendelik ke arahnya.
"Ngomong-ngomong, kau terlihat akrab dengan Katoo Hatta," Abe memotong topik di antara mereka yang pastinya akan berakhir canggung. Seperti Advan menyimpan rahasia antara dirinya, Ame dan Nalaya. Astaga, kenapa rumit sekali? Abe membatin.
"Ah, dia kekasihku," Ame menjawab santai. Seolah tidak terpengaruh, Advan tetap duduk dalam diam melanjutkan makan siangnya.
"Sudah berapa lama?"
"Satu bulan, mungkin?" Ame tertawa. "Hanya sebatas teman awalnya. Aku nyaman dan dia nyaman. Yasudah, berakhir seperti ini," Ame tertawa lirih. Mata cokelat madu itu berpaling pada Advan yang acuh.
Dia menunduk, menyembunyikan sorot mata terluka. Dan Abe berhasil mengabadikan sorot mata itu dalam kepalanya.
"Oke, Advan, ayo kita kembali," kata Abe memecah kesenyapan canggung di antara kawan lama. Dia berdiri. Merapikan jas abu-abunya. "Akan ada rapat. Kita tidak boleh terlambat."
Ame mengangguk. Wajah kaku itu berubah ceria saat Advan berdiri dan bersiap pergi.
"Advan,"
Advan menahan langkahnya. Dia menatap Ame datar. "Um, sebagai teman lama ... kau mau pergi makan malam? Untuk merayakan kedatanganku, mungkin?"
Advan menatapnya. Tatapan yang sama yang Advan berikan di masa kuliah dulu membawa Ame terlempar pada kenangan masa lampaunya.
"Aku tidak janji," Advan mengambil dompet di atas meja. "Sibuk."
Ame menghela napas panjang. Sikap Advan yang dingin sama sekali tidak berubah dari masa ke masa. Tangannya tanpa sadar mengepal erat. Nyatanya, kembalinya dia ke Jepang tidak membuat pria itu meliriknya.
Tidak, atau hanya belum?
Sudut bibir Ame tertarik ke atas, membentuk seringai misterius.