Lena tersedak pelan minumannya sendiri saat mendengar pintu rumahnya terketuk agak keras. Dia berteriak, berjalan agak cepat saat dia membuka gagang pintu dan menemukan sosok Advan berdiri menjulang dengan jas hitam dan pakaian formal di depan rumahnya.
"Ya Tuhan," Lena terkejut. "Kenapa ini?" Dia menatap Advan bingung.
Advan menyerahkan kantung bertuliskan Itoo Boutique's padanya. Mata Lena sontak melebar melihat kantung yang sama saat Nalaya berikan sore tadi.
"Ini ..." Lena tidak sanggup melanjutkan ucapannya. "Untuk apa?"
"Kuberi waktu dua puluh menit untuk mengganti pakaianmu, sekarang,"
Lena menyipit tidak suka. "Untuk apa? Kenapa kau menyuruhku seenakmu?"
Advan menatapnya datar. "Akan kujawab pertanyaanmu setelah kau memakai gaun pesta itu," balasnya.
Lena menggeleng tegas. "Aku tidak akan memakainya," kata Lena.
Advan menyeringai padanya. "Oh, kau menyia-nyiakan kerja keras teman-temanmu kalau begitu," sahut Advan santai. "Aku memesan gaun pesta itu untukmu."
Lena membeku selama beberapa saat. Dia menatap Advan tak percaya. "Untuk apa?"
Advan berdecak. Dia kehabisan waktu karena Lena terlalu lama dan bertele-tele. "Cepat, waktumu hanya dua puluh menit."
Lena berbalik ke dalam rumahnya setelah menutup pintu agak keras. Advan mendengar bantingan pintu itu tepat di depan matanya. Dia mendesah, menepi ke mobilnya dan bersandar. Menatap pintu kayu itu datar.
Lena menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun pesta berwarna biru langit yang Haruka dan Mara kerjakan hingga mereka tidak pulang ke rumah adalah ini, gaun pesta ini.
Lena tidak tahu kenapa Advan lakukan ini padanya. Dia tidak akan mendapatkan jawaban kalau tidak menuruti kemauannya. Jadi, Lena akan ikuti kemana Advan membawanya selama dia merasa yakin pria itu tidak akan melukainya.
Dia tersentak, menyadari warna gaun ini adalah warna yang menjadi kesukaan Nalaya selama ini. Wajah Lena memucat, dia memegang gaun pesta selutut dengan hiasan renda di pinggang. Baju ini tidak terlalu seksi dan mengumbar beberapa lekuk tubuh. Ini terkesan sederhanan namun mewah. Ciri khas Nalaya dalam membuat pakaian.
Napas Lena terasa berat saat dia menyelipkan jepitan di rambut panjangnya. Lena hanya menyisir rambutnya yang tumbuh sampai pinggang dan tidak memberikan hiasan apa pun untuk mempercantik diri. Walau Lena tidak tahu apakah dia pantas berjalan bersama pria kaya itu.
Memutuskan untuk tidak lagi berlama-lama, Lena keluar dari rumahnya, mengunci pintu dan berjalan mendekati Advan yang kini menatapnya.
"Apakah ini ..."
"Masuklah," Advan membukakan pintu mobil untuknya. Lena mengangguk pelan, mengucapkan terima kasih dalam bisikan saat Advan mengendarai mobilnya sedikit mengebut ke jalanan bebas.
"Kita akan pergi kemana?"
"Nanti kau tahu," hanya itu balasan Advan. Dan Lena memilih untuk diam, menutup rapat mulutnya dan tidak lagi bertanya.
***
Ruangan ini tampak penuh dihiasi pernak-pernik khas ulang tahun pada umumnya. Meskipun di d******i dengan warna putih dan merah hati, ruangan kecil ini disulap menjadi tempat menarik dan terlihat elegan di setiap sisinya.
Fujita Abe memang terbaik dalam hal kejutan untuk kekasihnya. Dia tidak perlu menunggu sampai hari itu tiba, tetapi dia bisa memberikan kenangan berharga untuk gadisnya sebelum dia pergi.
Saat Abe menyesap anggurnya, dia mendengar bisik-bisik wanita yang berkumpul untuk bergosip tentang seseorang. Dia menoleh, mendengar bisikan itu semakin terdengar jelas di telinganya.
Mata birunya menyipit kala melihat Advan datang bersama seorang wanita berambut merah muda panjang. Abe tersentak, mengenali warna rambut dan mata hijau hutan itu.
"Bukankah itu ..." Abe terdiam selama beberapa saat. Dia merasakan tangan lain menyentuh lengannya. "Sayang, siapa dia?"
Abe melirik Keana. "Aku tidak tahu," Abe menarik tangan Keana untuk mendekat. "Ayo, sapa dia,"
Advan mendengus saat Abe datang dengan Keana di gandengannya. Lena melemparkan tatapan kakunya pada Abe yang tersenyum ramah padanya.
"Fujita Abe, ini kekasihku, Shita Keana," kata Abe pada Lena.
"Aku, Lena," Lena mengulurkan tangannya dan Abe langsung menjabat tangan itu, begitu pula Keana yang menyunggingkan senyum manisnya.
"Silakan dinikmati pestanya," ucap Keana. Dia menatap Advan. "Teman kencanmu yang baru, Advan?" Godanya.
Lena menggeleng mendengar godaan Keana. "Aku bukan teman kencannya," kilah Lena. Atensi Advan dan Abe mengarah padanya sekarang. "Kami hanya kenalan."
"Kenalan?" Keana mengernyit bingung. "Hm, aku tidak pernah melihat Advan bersama wanita sebelumnya. Jadi kupikir, ini sangat langka," mata perak Keana melirik Abe yang membeku.
Lena tersenyum kikuk. Dia menatap Advan, berharap pria itu mau melakukan sesuatu untuknya. Tetapi Advan tidak lakukan apa pun selain diam.
Tatapan Lena jatuh pada Abe yang entah mengapa terlihat marah dan tidak suka. Apa karena dia buruk? Advan pasti merasa malu karena dirinya. Kenapa pula Advan harus membawanya ke tempat pesta mahal ini?
Lingkungan Advan sama sekali bukan lingkungannya. Lena tidak akan bisa berbaur dengan baik. Dia dan Advan tidak akrab, ini benar-benar canggung. Lena ingin melarikan diri dari tempat ini secepatnya.
"Nikmati makananya, Lena," Abe berdeham. Sedikit kesulitan menyebut namanya. Mata birunya menatap Advan. "Dan kau, aku akan bicara padamu nanti. Dasar gila,"
Lena menatap Abe kebingungan. Matanya melebar polos karena Abe barus saja mengumpat pada Advan. Kenapa pria itu? Apa mereka bertengkar sebelumnya?
"Jadi dia yang bernama Fujita Abe," bisik Lena pelan. "Kau sering mengambil pakaian yang dia pesan. Dia sahabatmu?"
"Ya," jawab Advan.
Advan meninggalkannya sendiri. Tanpa bisa Lena mencegahnya. Lena menunduk, menatap penampilannya yang jauh dari kata layak mungkin membuatnya jauh dari kata pantas ada di sini. Dia berjalan, pergi ke tempat meja makanan untuk mengambil puding.
Bisik-bisik mulai terdengar. Lena berdiri tidak nyaman, saat dia sedikit bergeser agar kumpulan wanita kelas atas itu berhenti memperhatikan dirinya dengan tatapan mencela.
Lena memakan pudingnya dalam diam. Dia menatap Advan yang bergabung bersama teman prianya. Lena menunduk, merasakan perasaan lain yang menghujamnya karena ingatannya tentang masa lalunya bersama Hatta kembali terulang.
Hatta pernah menempatkannya dalam posisi yang sama. Mengajak Lena pergi dan membiarkan dia bersama dunianya sendiri. Ketika orang-orang mulai membicarakannya, Lena akan menghadapinya seorang diri. Tanpa Hatta mau membelanya.
Dan Advan lakukan ini padanya.
PRAAAANG!
Abe menoleh mendengar bunyi pecahan piring. Dia melebar melihat Lena yang berlutut membereskan pecahan piring itu.
Keana mendekatinya, dia ikut berlutut membantu Lena merapikan pecahan piringnya sebelum pelayan membantu mereka dan bersigap menggantikan tugasnya.
Ketika mata perak Keana melihat mata hijau itu berkaca-kaca dia tersentak, merasa tersentuh. "Kau baik-baik saja?"
Lena menatap Keana. Matanya menggenang. "Maafkan aku karena mengacaukan pestamu," lirih Lena. Dia menatap tangan Keana dan memegangnya. "Maafkan aku. Aku harus pergi."
Keana terkejut. Dia memandang kepergian Lena dengan Abe yang menggeram dalam suaranya. Lena berlari ke luar ruangan diikuti tatapan mencemooh lainnya. Dia menatap kekasihnya dan Abe benar-benar tampak marah.
Keana mendekatinya, saat Abe ingin menghampiri Advan, Keana menahannya.
"Abe, ada apa dengannya? Kenapa dia terlihat ingin menangis? Apa dia memiliki masalah?"
Abe menatapnya. "Biarkan aku bicara dengan si b******k itu," Abe melepaskan tangan Keana yang menahannya. Dia mendekati Advan yang tahu akan kedatangannya, Advan mundur.
"Advan,"
"Diam," napas Advan memberat. "Biarkan dia pergi."
"Apa yang coba kaulakukan?" Abe mendorong Advan kasar tanpa dilihat tamu lainnya.
"Cepat kejar dia! Minta maaf!"
"Untuk apa?"
Abe menggeram. "Jangan buatku harus memukulmu di sini,"
"Kau tidak mungkin mengacaukan pestamu sendiri, kan?" Advan menyeringai. Dia mundur dan beranjak pergi. Meninggalkan tatapan bingung Keana di belakang Abe.
Lena melepas sandalnya dan berjalan menyusuri jalan yang sepi untuk mencari bis. Dia harus berjalan agak jauh agar sampai di jalan raya dan menemukan halte terdekat.
Langkah Lena semakin berat saat kepingan masa lalu demi masa lalunya tersusun di dalam kepalanya. Dia menunduk, menahan isakannya sendiri saat dia mengusap wajahnya kasar dan mempercepat langkahnya.
Lena mendengar bunyi rem mendadak dari mobil yang berhenti tepat di depannya. Mori Advan keluar dari kursi kemudi, tubuh Lena menegang. Dia mundur dan berlari menghindari pria itu.
Advan menutup pintu mobilnya. Melihat Lena yang berlari menghindarinya. Wanita itu jelas-jelas marah padanya. Advan tidak bisa lakukan apa pun selain memanggil namanya.
"Lena,"
Satu hal yang tidak pernah dia lakukan;
Memanggil nama wanita itu.