3

787 Kata
Malam itu aku kembali menghabiskan waktuku dengan berkumpul bersama teman-temanku. Tapi berbeda dengan malam sebelumnya di mana rumah Alex yang menjadi tempat kami bersenang-senang, kali ini kami memilih untuk berkumpul di salah satu klub malam kelas atas. Musik terdengar menghentak ketika DJ memainkan kedua tangannya mengiringi tiap kesenangan yang kunikmati malam ini. Malam yang sempurna. Alkohol dan pemandangan wanita-wanita malam yang meliuk-liukkan badannya merupakan satu kesatuan yang sempurna untuk menghabiskan waktu. Kulihat dari kejauhan Alex dan Sherryl masih sibuk melantai berdua. Mereka dan beberapa orang temanku yang lainnya tampak begitu liar di atas lantai sana. Aku hanya meringai dari tempat dudukku. Entah sudah gelas yang keberapa yang kuminum, ketika akhirnya aku memutuskan untuk menyulut rokokku dan menghisapnya perlahan. Asap putih nan tebal terlihat membumbung ketika hidungku menghembus pelan. Kunikmati tiap rasa yang kuserap dari filter rokok. Sesaat membuatku melupakan apa yang sedang terjadi di hidupku sekarang. “Kau memang betah sendirian, ya?” Satu suara terdengar di telingaku.  Kubuka mataku yang sempat tertutup untuk beberapa detik dan kudapati Sherryl dengan gelasnya mengambil tempat di sampingku, setengah memutar badannya untuk lebih dapat melihat wajahku. Aku menarik satu ujung bibirku sekilas. Mengangguk tanpa minat. “Mana Alex?” tanyaku. Entah mengapa aku selalu merasa buruk kalau harus berbicara dengan wanita. Aku adalah salah satu keturunan Adam yang kurasa tercipta tanpa Hawa. Sherryl menggerakkan sedikit kepalanya. Dan kuikuti dengan pandangan mataku. Kulihat Alex tampak berkumpul dengan teman-teman kami yang lainnya, duduk bersama di bar, dan terlihat sudah sedikit kehilangan kesadarannya. Kulirik jam di tanganku, hampir 2 dini hari. Berarti kami di sini sudah hampir 6 jam. Aku bahkan tak tahu apa saja yang kulakukan hingga tak menyadari waktu yang telah berlalu. “Kau sudah lama mengenal Alex?” Sherryl kembali bertanya sembari menyesap minumnya. Aku mengangguk. “Sudah sangat lama.” Jawaban singkatku tampaknya membuat Sherryl terus mengerutkan dahinya. “Kau suka sendirian,” lanjutnya, “juga irit dengan kata-kata.” Aku menyeringai. “Apa kau benar-benar teman Alex?” Aku menoleh sejenak. “Menurutmu?” Ia menggidikkan bahunya sekilas. “Aku baru akhir-akhir ini bertemu denganmu. Dan kau tak terlihat seperti yang lainnya.” Ia tampak mengamatiku sejenak. “Kau seolah punya duniamu sendiri.” Tanpa sadar aku tertawa pelan. “Aku baru keluar dari rehabilitas.” Dan spontan kulihat wajahnya menyiratkan keterkejutan. Oh, belum terlalu terkejut sebelum perkataanku selanjutnya meluncur kembali. “Untuk yang kedua kalinya.” Kali ini wajahnya terlihat lebih kaget lagi. Tapi, untuk perkataannya yang terakhir, aku sengaja tak meresponnya. Aku memang punya duniaku sendiri. Yang kujaga agar tak ada seorangpun memasukinya. Tak peduli siapa pun itu. “Kau bukan pemakai?” tanyaku cepat sebelum Sherryl kembali melontarkan pertanyaan berikutnya padaku. Entah mengapa aku terkadang merasa bahwa wanita ini sedang menginterogasiku. Dan itu salah satu alasan yang membuatku menjadi tak suka untuk duduk berdekatan dengannya dalam waktu yang lama. “Bukan.” Sherryl menggelengkan kepalanya berulang kali dengan perlahan. “Atau kau mau mengajakku menjadi pemakai juga?” Aku menyeringai. “Aku tak pernah mengajak orang lain,” kataku. “Kau sendiri yang memutuskan untuk memakai atau tidak. Bukan orang lain.” Sherryl tertawa. Dan tanpa kuduga, kemudian ia tampak menggeser duduknya. Semakin mendekatiku. Aku melirik tingkahnya itu dengan ujung mataku. Hatiku tertawa. Apa sekarang ia bermaksud untuk menggodaku dengan rok mininya yang sangat-sangat mini itu? Tidakkah ia ingat apa yang sudah dikatakan Alex malam itu? “Beberapa hari ini kulihat kau tampak tegang, Rick.” Suara Sherryl terdengar mendesah di telingaku. “Apa kau ada masalah?” Selalu ada, tukas hatiku. Tapi, memang masalahku saat ini merupakan masalah terbesar yang pernah kualami. Dan sekarang aku jadi bertanya-tanya, apa sebesar itu masalah yang ditimbulkan oleh rencana pernikahan tersebut? Hingga orang lain saja bisa melihat masalah itu dari raut wajahku. Dan sebagai jawabanku atas pertanyaannya, aku hanya diam. Sherryl terdengar menghirup napas panjang. Kemudian ia tampak semakin mendekatiku. Aku sedikit menggidikkan bahuku ketika ia meletakkan tangannya di sana. “Kupikir kau harus sedikit rileks, Rick.” Akhirnya aku menoleh. Sherryl tersenyum padaku. Sejenak kubiarkan satu tangannya yang berusaha merayap naik ke wajahku. Kuekori pergerakan tangannya yang terlihat makin berani dari waktu ke waktu. Hingga akhirnya, tangannya kulihat mantap mengusap rahangku. “Kau pikir apa yang kau lakukan, Sherryl?” Ia semakin tersenyum. “Ayolah, Rick! Aku hanya ingin membantumu sebagai seorang teman.” Dahiku berkerut mendengar jawabannya. Teman apa yang ia maksud di sini? Wajahnya mendekat dan bibirnya terhenti di dekat telingaku. Terlalu dekat. Aku bahkan bisa merasakan deru napasnya yang hangat di telingaku. “Kupikir bukan ide yang buruk kalau aku membuatmu santai untuk beberapa jam ke depan.” Waw! Dia telah melupakan apa yang dikatakan Alex padanya. Aku menyeringai sinis. Atau justru dia memang keras kepala? “Sudahlah, Sherryl.” Aku berkata setengah mengejek padanya. “Alex sudah mengatakan hal itu padamu.” Kurasakan pergerakan Sherryl yang sontak terhenti mendengar perkataanku. “Tak akan ada yang berubah.” Aku meraih gelasku dan meminum isinya. “Aku tak tertarik padamu.” Setelah mengatakan itu, kembali kuletakkan gelasku yang sudah kosong di atas meja bundar itu. Tanpa peringatan apa-apa, kubawa tubuhku berdiri tegak. Sontak melepasskan tangan Sherryl dari wajahku. Detik selanjutnya, tanpa menoleh lagi ataupun mengucapkan satu katapun, aku meninggalkannya di sana seorang diri. Menghela napas dan kubelah lautan manusia di hadapanku. Kurasa aku harus pulang sekarang, pikirku. & bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN