Aku benar-benar tak tahu mengapa tadi aku memutuskan untuk pulang ke rumah setelah beberapa hari yang lalu aku memutuskan untuk menginap di hotel. Setelah kejadian malam itu aku tak lagi menginjakkan kakiku di rumah ini. Setidaknya sampai dini hari ini di mana kurasa aku sudah kehilangan sedikit kewarasanku dan memutuskan untuk pulang.
Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidurku yang empuk. Kedua telapak kakiku masih menyentuh lantai ketika justru mataku menerawang menatap langit-langit kamarku.
Kedua jariku mengambil tempatnya masing-masing di pelipisku. Memijat tempat itu perlahan berulang kali. Kuhela napas dan sedetik kemudian, satu tanganku yang lain terangkat ke depan wajahku.
Satu undangan itu membuat kepalaku terasa semakin memberat seketika.
Di sana jelas-jelas tertulis Enrick Rahman Adinata dan Kiandra Pramesti. Dan itu adalah undangan pernikahan kami.
Kuhembuskan napasku sepanjang yang bisa kulakukan.
Pernikahanku sebentar lagi akan terjadi. Aku harus secepatnya mengucapkan selamat tinggal pada masa-masa bebasku.
Kemarin, waktu aku memutuskan untuk menerima keputusan ini, aku berpikir bahwa tak akan ada yang berubah dengan kehidupanku. Oke, aku memang akan menikah. Tapi kupikir aku sejatinya akan tetap bebas. Kukira pernikahan itu hanya menjadi sebuah status saja. Namun aku kecele. Bagaimana bisa aku melupakan betapa liciknya pria tua itu? Dan kali ini, ia kembali membuktikan bahwa selamanya ia akan menjadi lawan yang tangguh untuk dilawan.
Kakek mengundang seluruh relasinya. Tak tanggung-tanggung, seluruh rekan kerjanya baik itu di dalam ataupun luar negeri, semua diundangnya. Dan untuk melengkapi itu, dia bahkan mengundang pers untuk meliput. Wah! Tentu saja pernikahan ini akan dimuat di halaman depan koran bisnis.
Kalau seperti ini, aku tak mungkin lagi menutupi pernikahan ini di depan teman-temanku. Cepat atau lambat, mereka semua akan mengetahui berita ini. Dan... aaargh!
Mendadak aku merasa muak dengan ini semua!
Tubuhku beranjak bangkit dan langkah kasar membawaku keluar dari kamarku. Aku harus menyelesaikan masalah ini sekarang. Aku benar-benar tak bisa menghabiskan waktuku untuk terikat pada seorang wanita. Aku tak mungkin menyia-nyiakan hidupku dengan makhluk mengerikan itu!
“Dug!”
“Dug!”
“Dug!”
Dengan sekuat tenagaku aku menggedor pintu kamar di depanku. Sesekali suaraku pun keluar memanggil namanya. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa wanita ini sampai tinggal di rumahku.
“Kiandra!” teriakku penuh emosi. “Buka pintunya, Kian!”
Aku kembali menggedor pintu itu tanpa ada rasa sabar sedikit pun.
“Kian! Keluar! Kita perlu bicara!” teriakku lagi. “Aku harus mengatakan ini padamu!”
Gedoranku pada pintu itu makin lama makin mengeras. Rasanya aku begitu meledak ketika untuk beberapa saat tak kutemui tanda-tanda bahwa pintu itu akan terbuka.
Aku bahkan sudah berpikir untuk mendobrak pintu itu sebentar lagi. Tapi, kemudian kudengar suara kunci yang terbuka.
Pintu itu perlahan terbuka dan menampilkan satu wajah yang terlihat ketakutan.
Aku meringis. Bagaimana bisa ia menerima pernikahan ini sedang ia hampir saja selalu ketakutan ketika berhadapan denganku?
“Enrick,” lirih Kiandra pelan menyebut namaku sembari menyembunyikan setengah tubuhnya di balik pintu.
Aku menahan pintu itu agar tak tertutup tiba-tiba dengan sebelah tanganku. Aku menatapnya tajam dan ia langsung terlihat meneguk ludahnya. Tapi, ia membalas tatapanku. Kedua matanya menatap milikku. Dan itu sejenak membuatku bingung. Aku tak tahu sesuatu yang tersirat di sana. Ehm. Atau apa yang ia pikirkan ketika ia menatapku.
“Ada apa, Enrick?” Kiandra bertanya dan langsung membuyarkan lamunanku.
Rahangku mengeras tatkala kuingat lagi maksud kedatanganku ke kamarnya.
“Ada yang perlu kita bicarakan.”
Mata Kiandra membulat. Setelah kupikir-pikir, wanita ini tentu punya kebiasaan unik. Membulatkan matanya kalau ia sedang heran atau terkejut.
“Malam-malam seperti ini?”
Aku mengangguk. “Kita harus bicara sekarang,” desisku dalam dengan penuh penekanan. Dan kubawa tubuhku untuk sedikit mendekati wajahnya yang membeku. “Aku mau kita bicara soal pernikahan kita. Sekarang!”
“Ehm.” Kiandra mendehem seraya spontan menutup mulut dan hidungnya.
Aku mengerti untuk refleksnya itu. Dan aku sama sekali tidak tersinggung.
“Kau mabuk, Rick.”
Aku menggeleng. “Aku tidak mabuk, Kian.” Aku mulai meradang sekarang. Entahlah. Kurasa aku punya sedikit masalah dengan yang namanya sabar. “Dan sekali lagi kukatakan. Aku ingin kita bicara.”
Kiandra mengangguk. Kemudian, ia membuka lebar pintu kamarnya. Sejenak kupikir ia tak ada bedanya dengan Sherryl, tapi ternyata tidak. Ia meraih ikat rambutnya di meja dan sambil mengikat rambut panjangnya, ia kembali berkata padaku.
“Kurasa kita bisa bicara di bawah.” Ia melewatiku tanpa menutup kembali pintu kamarnya. “Akan kubuatkan kau secangkir teh mint hangat.”
Aku berkerut.
“Kurasa itu akan membuat kau menjadi lebih baik.”
Dan ia tanpa menungguku langsung saja melangkahkan kakinya menuruni tiap anak tangga.
Ketika kupikir tak ada salahnya dengan secangkir teh mint hangat, akhirnya tanpa membuang-buang waktu aku pun mengikutinya. Ia membawaku ke dapur dan aku memilih untuk duduk di kursi sembari mengamati tangannya yang luwes dalam menyedu teh untukku.
Tak lama kemudian satu cangkir teh mint hangat tersaji di depanku. Aku segera meraih dan menyesapnya sedikit. Rasa hangat dan menyegarkan sontak menyapa syarafku. Membuat penglihatanku terasa lebih terang sekarang.
Kiandra menarik satu kursi dan duduk di hadapanku. Dengan bertopang dagu pada satu tangannya ia bertanya. “Apa yang ingin kau katakan?”
Kuhela napas dan kuletakkan kembali cangkir itu kembali di atas meja. Kutatap matanya. “Aku ingin kita membatalkan pernikahan ini.”
Dan ketika ia mendengar perkataanku, lagi-lagi, kulihat matanya membulat. Ada apa dengan kenyataan matanya yang sering membulat itu?
“Apa yang kau inginkan, Rick?” Kiandra bertanya dengan tampang sok polosnya. “Kukira telingaku sedikit bermasalah sekarang.”
Aku menggeleng. “Telingamu masih sehat.” Kutegaskan lagi padanya untuk yang kedua kalinya. “Aku ingin kita membatalkan pernikahan ini.”
Kiandra terdiam. Seolah ia sedang menungguku untuk melontarkan berbagai alasan yang sekiranya diperlukan untuk membatalkan rencana pernikahan. Hubungan yang tak dilandasi perasaan, orang ketiga, atau apa pun yang sering tokoh-tokoh novel dan film katakan. Tapi, ini kehidupan nyataku. Aku tak membutuhkan berbagai alasan klasik itu sekarang.
“Aku tak mengenalmu, Kian,” lanjutku akhirnya. “Kau pun tak mengenalku. Dan menurutmu bagaimana kita bisa menikah?”
Kiandra masih diam.
“Kau tak mungkin mengharapkan pernikahan denganku, bukan?” tanyaku lagi. “Kau tahu bagaimana kehidupanku?”
Kutunggu respon Kiandra untuk pertanyaanku yang terakhir. Lalu, Kiandra mengangguk.
“Aku tahu bagaimana kehidupanmu.”
Seringai licik muncul di bibirku. “Kalau begitu kau pasti tahu bahwa menikah denganku bukanlah pilihan yang bagus, kan?”
Mata Kiandra kembali membulat.
“Bukan seperti itu, Rick.”
Dahiku berkerut. “Apa maksudmu?”
“Aku memang tahu bagaimana kehidupanmu,” lanjut Kiandra perlahan. “Beberapa hari sebelum kau pulang aku pun sempat meragukan keputusanku.” Ia menggantung ucapannya dan membuatku harus menahan napas untuk meredakan kesal di dadaku. “Tapi, ketika pagi di mana kulihat dirimu, ehm, aku tak meragu lagi.”
Kali ini kurasa kedua alisku menyatu karena kerutan di dahiku yang semakin parah. “Apa maksudmu?”
Ia menunduk. Dan seketika membuat perasaanku menjadi tak enak.
“Kupikir aku sekarang malah menginginkan pernikahan ini.” Ia menghela napas. “Kukira aku pun sudah jatuh cinta padamu.”
Mendengar itu sontak saja tanganku memukul meja di antara kami dengan kuat. Hingga membuat teh di dalam cangkirku beriak dan membasahi taplaknya. Ia terkejut mendapati responku yang seperti itu.
“Kau bilang kau jatuh cinta padaku?” Aku tertawa sinis. Wah! Lihatlah pengaruh uang dalam membuat perasaan. Hilang sudah kesempatanku untuk membatalkan pernikahan ini.
Wanita di depanku sudah sangat terpikat dengan kekayaan yang keluargaku miliki. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi, ketika kurasa pernikahan tak mungkin dihindari maka pilihanku hanya ada satu lagi yang tersisa.
“Pernikahan itu tidak akan menjadi pernikahan yang kau harapkan, Kian. Aku memperingatkanmu sebelum semua menjadi terlambat.” Kutahan mataku untuk tetap menatapnya. “Kau lihat, bukan, bagaimana kehidupan keluargaku?” tanyaku padanya.
Dan ia bergeming.
“Pernikahan kita nanti tak akan beda jauh dengan pernikahan orang tuaku.”
Aku benci ketika aku harus membawa topik memalukan tentang keluargaku sendiri menjadi bahan pembicaraan. Aku tak pernah ingin membicarakan aib itu. Tapi, setidaknya sekarang aku harus melakukannya. Sebisa mungkin aku akan tetap berusaha agar wanita bodoh ini mengurungkan niatnya untuk menjadi istriku. Dan tentu saja, kuharap ia berpikir ulang lagi ketika ia mengatakan cinta padaku.
“Pernikahan antara kita bukanlah hal yang benar. Kalaupun kita benar-benar akan menikah, itu hanyalah satu cara agar kita bisa merasakan perceraian sebagaimana yang dialami orang tuaku. Kita menikah hanya untuk bercerai.” Kuhela napas panjang. “Sebulan kau masih bertahan, kurasa. Tapi, memasuki enam bulan ke depan kau akan tahu bahwa aku bukanlah pria yang pantas untuk menyandang status suami. Untuk wanita mana pun. Apa kau masih tak mengerti?”
Kiandra menggigit bibir bawahnya sekilas. Dan lalu, akhirnya ia kembali bersuara.
“Katakan padaku, Rick.” Ia menatapku dalam. “Apa kau memliki wanita di luar sana yang kau cintai?”
Aku melongo. Pertanyaan bodoh macam apa itu? Dan aku terkekeh lirih. Aku menggeleng.
“Aku tak butuh alasan kampungan seperti itu untuk membatalkan pernikahan kita,” jawabku. “Kalaupun aku memiliki wanita di luar sana, hal sepele seperti pernikahan ini tak akan mengubah apa pun mengenai hubunganku dengannya.” Aku tertawa sinis memikirkan pikiran kolotnya.
Kiandra menghela napas.
Menghela napas lega?
Ah, persetan!
“Kalau kau tak punya wanita lain di luar sana,” lanjutnya lagi dengan suara yang kudengar mantap, “kurasa kita tak punya alasan untuk membatalkan pernikahan ini, Rick.”
Aku menatapnya tak percaya.
“Kita sudah sama-sama dewasa. Dan tak ada salahnya untuk kita menikah.”
Wah! Kupikir aku sempat salah menilai wanita ini. Dulu kukira ia adalah tipe wanita yang akan langsung mencicit ketakutan ketika kukatakan hal yang sebenarnya. Tapi? Dia malah yakin dengan keputusan pernikahan ini?
“Kau tak mungkin bisa bertahan denganku.” Aku tertawa sinis. “Harusnya kau lihat bagaimana tampang ketakutanmu tiap kali kau melihatku. Bagaimana bisa kita hidup bersama sedang tiap saat kau ketakutan akan hadirku?”
Kiandra tersentak. Dan matanya kembali membulat.
“Maafkan aku, Rick. Aku hanya belum terbiasa dengan emosimu yang mudah meledak dengan tiba-tiba.” Ia berusaha tersenyum. “Seiring waktu, aku akan lebih menerima kebiasaanmu itu.”
Dan sekarang, semua pembicaraan antara aku dan Kiandra kurasa sudah menjadi tak berguna lagi. Dia sama keras kepalanya dengan Kakek. Aku benar-benar tak menyangka bahwa wanita dengan tampang polosnya bisa sekeras kepala seperti ini. Huh! Tentu saja lelaki tua itu telah membelah dunia untuk bisa menemukan wanita muda yang sama keras kepalanya dengan dirinya.
“Kau pun nantinya juga akan begitu, Rick.”
“Maksudmu?” tanyaku.
Oh, jangan bilang bahwa aku juga akan menerimanya. Semua orang tahu itu tak mungkin terjadi. Tapi, setidaknya itulah yang akhirnya ia katakan.
“Kau juga akan menerimaku.” Ia kembali tersenyum. “Kau hanya belum mengenalku, Rick. Ketika kau sudah mengenalku maka kau pun akan memandangku dengan cara yang lain.”
Wah! Harus kuakui aku sedikit terkesan dengan rasa percaya dirinya yang besar. Aku mendengus.
“Kukatakan padamu, Kian. Tak akan ada yang berubah di antara kita. Baik itu sekarang atau pun di waktu yang akan datang.”
Matanya kembali membulat.
“Kuharap kau ingat ini. Kau tak bisa masuk ke dalam kehidupan seseorang dan dengan percaya dirinya mengatakan bahwa kau mampu mengubah apa yang sudah membatu di kehidupan orang itu.” Aku beranjak dari dudukku. “Kau hanya membuang-buang waktumu. Dan kukatakan lagi. Hidupmu akan menjelma menjadi neraka dunia tepat di hari kau menjadi istriku.” Aku menatapnya lagi sebelum memutuskan untuk beranjak. “Kau akan menyesali keputusanmu ini. Dan aku dengan senang hati membantu kau untuk menikmati setiap penyesalan yang kau rasakan nanti.”
&
Dan begitulah yang selanjutnya terjadi. Pernikahan memang tak bisa dibatalkan. Percuma aku menyangka bahwa Kiandra itu wanita polos. Tak ada wanita polos baik-baik yang ingin menjadi istriku.
Sekarang aku bisa melihat betapa luasnya undangan pernikahanku itu akan tersebar. Aku sekarang tak bisa berbuat apa-apa lagi. Pernikahan akan terjadi dan tinggal menghitung hari. “Dan setelah itu”, aku menyeringai, “kau akan mendapatkan balasanmu, Kian,” tekadku.
“Jadi, mana Enrick yang tak pernah menyentuh wanita itu menghilang?” Alex tergelak dan sedikit menyentuh gelasku dengan miliknya. Ia meminum isi gelasnya dan kembali tergelak. Membuat aku muak melihat tingkahnya.
“Kau sama sekali tak membantu, Alex.” Aku beringsut dan merebahkan kepalaku ke belakang. Membiarkan leherku sejenak sedikit menyantai di posisi itu. “Aku tak pernah berpikir kalau aku akan menikah.”
Alex menyeringai. “Kulihat, wanita itu, ehm, Kiandra Pramesti, bukan, namanya?”
Aku mengangguk.
“Dia cantik. Menurutku tak terlalu merugikan untukmu bisa menikah dengannya. Hahaha.”
Aku tak menggubris gurauan Alex. Andai aku adalah dia, tentu saja pernikahan ini akan aku terima dengan senang hati. Dia memang tak akan menyiakan kehadiran wanita mana pun. Tapi, aku bukanlah pria seperti itu. Aku sama sekali tak berniat menyentuh wanita. Wanita adalah makhluk yang membuat seluruh sel dalam tubuhku serasa mati.
“Itu adalah hal yang selama ini tak kumengerti darimu, Rick.”
Aku mendehem. Tak berniat memancing pertanyaan Alex. Walaupun pada akhirnya ia tetap menanyakan hal yang sama padaku untuk yang kesekian kalinya.
“Mengapa kau anti wanita?”
Aku tak menjawab.
“Kau tahu? Wanita dan pria itu diciptakan untuk saling menikmati!” Alex tergelak. “Kau belum menemukan surga dunia yang sebenarnya sampai kau menyentuh makhluk yang bernama wanita.”
Aku hanya tersenyum hambar.
“Kurasa kapan-kapan aku harus berterima kasih pada Tuhan karena sudah menciptakan makhluk seindah itu.”
Mendengar celotehan Alex mau tak mau membuatku akhirnya tertawa lirih juga. Kupikir sekarang Alex sudah terlalu jauh melantur. Dan ia semakin melantur ketika Sherryl duduk di pangkuannya.
Aku melirik wanita itu sekilas dengan ujung mataku dan melihat ia mengirimkan senyum padaku. Aku tak membalasnya, melainkan kembali menengadahkan kepalaku ke posisi semula dan menutup mata.
Beberapa detik kemudian kudengar suara berdecak dan erangan mereka. Tanpa melihat pun aku tahu apa yang sedang meraka berdua lakukan.
Aku memilih tak menghiraukan mereka. Bahkan kalau pun mereka ingin bergulat di depanku pun tak jadi masalah.
Kuhela napas panjang. Sejenak aku teringat kembali dengan pertanyaan Alex beberapa saat yang lalu. Aku anti wanita? Bukan. Aku bukan anti wanita. Tapi, aku membenci wanita.
Salah satu hal yang membuat kehidupanku menjadi berantakan seperti ini adalah wanita. Aku tak akan pernah melupakan tiap perbuatan yang dilakukan wanita itu padaku. Yang akhirnya membuatku merasakan kebencian mendalam pada tiap wanita.
Aku sudah bertekad sepanjang hidupku untuk tak berhubungan dengan wanita. Bahkan memikirkannya saja membuat ususku terasa dipelintir ke semua arah.
Wanita itu makhluk yang diciptakan dengan segala keindahannya yang ia manfaatkan untuk menyakiti orang lain. Makhluk yang memegang prinsip sebagai makhluk lemah tapi justru menyakiti orang lain. Dan ketika semua itu sudah terjadi, dia akan pergi melenggang seolah yang ia lakukan adalah hal yang wajar. Seolah yang ia lakukan hanyalah untuk membela diri. Demi mengejar kebahagiaan, dalihnya.
Jadi, apa lagi yang sekarang aku harapkan dengan kehidupan rumah tangga yang akan segera menyapaku? Tak mungkin kan aku berharap bahwa aku akan memiliki pernikahan yang saling mencintai hingga maut memisahkan? Atau apa mungkin ada harapan kehidupan rumah tangga yang akan kami tempuh nanti merupakan kehidupan rumah tangga yang bahagia?
Terlepas dari itu semua, apa mungkin aku akan membiarkan Kiandra masuk dan kemudian mengubah tatanan kehidupanku yang sudah tersusun rapi sedari dulu? Membiarkan ia mengambil alih dan lantas dengan sesuka hatinya memporak-porandakan kehidupanku yang sudah aku tata selama ini? Mengacaukan semuanya?
Aku menggeleng.
Tak akan pernah.
Hal itu tak akan terjadi sampai kapan pun. Dia boleh menikmati semua harta yang keluargaku miliki, tapi aku tak akan mengizinkannya menjamah kehidupanku.
&
bersambung ....